Dalam perjalanan pulang ini penumpang di mobil kami bertambah satu orang lagi yaitu seorang wanita yang menjadi translater kami pada saat training beberapa hari yang lalu, dia kembali ke Ulaanbaatar karena dia memutuskan untuk resign dari proyek untuk bekerja di perusahaan lain di kota Ulaanbaatar.
Pemandangan yang kami temui di sepanjang perjalanan kembali tersebut tidak jauh berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Kawanan domba, kuda dan unta tetap menghiasi perjalanan kami.Â
Sesekali kami harus berhenti di gurun untuk istirahat sebentar dan buang air kecil, walaupun salah satu penumpang kami wanita tersebut tidak ikut buang air kecil selama perjalanan melintasi gurun. Saya membayangkan betapa menderitanya dia menahan rasa ingin buang air kecil setelah berjam-jam di jalan, mungkin dia sudah terbiasa perjalanan jauh atau mungkin juga ditahan karena malu dengan kami yang semuanya laki-laki.
Karena perjalanan pulang tidak terlalu buru-buru kami memutuskan untuk berhenti di beberapa tempat seperti di ibukota propinsi Mandalgovi untuk menikmati makan siang sekaligus melihat beberapa spot rekreasi yang ada di sana. Walaupun namanya ibukota propinsi tetapi jangan dibayangkan sama dengan ibukota propinsi yang ada di Indonesia.Â
Kota Mandalgovi tidaklah terlalu besar mungkin hanya sebesar kota kecamatan yang ada di Indonesia. Kebetulan di kota Mandalgovi ini merupakan kota kelahiran dari orang tua Jerry Rinchin dan dia menyarankan kami untuk mampir sejenak melihat-lihat kota Mandalgovi.Â
Dulunya orangtuanya tersebut adalah Kepala Kepolisian di Mandalgovi atau bisa dikatakan sama dengan tingkatan Kapolda namun sekarang ini orang tuanya sudah pensiun dan sudah berpindah ke ibukota Ulaanbaatar.
Daegi juga mengajak kami berhenti di salah satu titik berupa Monumen yang menjadi semacam pusat persembahan kepada dewa bagi orang asli Mongolia. Monumen tersebut hanya berupa 2 buah batu yang disusun berdiri (standing stones) mungkin tingginya hanya sekitar 2,5m dan diikat dengan kain yang berwarna biru, kuning dan merah.Â