Mohon tunggu...
Iffat Mochtar
Iffat Mochtar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profesional - Wiraswasta

Country Manager di sebuah Perusahaan Swasta Asing yang bergerak di sektor Pertambangan. Berdomisili di kota minyak Balikpapan, Kalimantan Timur. Memiliki banyak ketertarikan di bidang marketing, traveling, kuliner, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menjelajah Negeri Genghis Khan

23 Oktober 2020   07:42 Diperbarui: 12 November 2020   06:53 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Pembangunan Silo PLTU di Ulaanbaatar

Mengenal Lebih Dekat Negara Mongolia


Perjalanan kami menuju Negara Mongolia sangatlah menarik untuk dipublikasikan kepada siapa saja yang tertarik untuk menjelajahi tempat-tempat yang cukup ekstrim dan bisa dijadikan sebagai sebuah referensi untuk berpetualang. 

Biasanya orang-orang memilih destinasi wisata berdasarkan kemajuan suatu kota atau negara untuk berbelanja, melihat pemandangan yang indah atau untuk menikmati atraksi-atraksi yang sangat menarik, jarang sekali yang tertarik dengan destinasi yang ekstrim dan sulit untuk ditempuh.

Mongolia, negara yang terletak di tengah-tengah benua Asia berbatasan langsung dengan negara China dan Rusia. Negara dengan luas sekitar 1,5 juta km2 dengan hampir 70% wilayahnya ditutupi oleh padang rumput gurun Gobi dan merupakan salah satu negara yang tidak memiliki batas laut atau sama sekali tidak memiliki pantai. 

Dokpri.  Padang Rumput di Gurun Gobi
Dokpri.  Padang Rumput di Gurun Gobi

Berpenduduk hanya sekitar 3 juta jiwa dan hampir 50% di antaranya bermukim di ibukota negara Ulaanbaatar atau Ulan Bator. Bandingkan dengan jumlah penduduk yang tinggal di Jakarta saat ini yang berjumlah sekitar 10 juta jiwa dengan luas wilayah hanya sekitar 660 km2, berarti penyebaran penduduk di Mongolia ini sangatlah jarang.

Negara Mongolia sangat identik dengan seorang tokoh legendaris yang sangat terkenal dan dipuja oleh rakyatnya yaitu Kaisar Genghis Khaan yang hidup di abad ke-12. Kekaisaran Mongolia saat itu sangatlah besar menguasai hampir seluruh daratan benua Asia termasuk daratan China.

Jalan-jalan di Kota Ulaanbaatar


Kami tiba di kota Ulaanbatar pada sore hari tanggal 16 Juli 2017 setelah melalui penerbangan yang cukup melelahkan dari Jakarta transit di bandara Incheon Seoul dan dilanjutkan penerbangan ke Chinggis Khaan International Airport di Ulaanbaatar dengan menggunakan pesawat Mongolian Air. 

Bulan Juni hingga Agustus termasuk musim panas di Mongolia walaupun suhu siang hari masih tetap lumayan dingin bagi kita yang biasa tinggal di daerah tropis, suhu siang hari di sana pada musim panas berkisar 18 hingga 20 derajat celcius. 

Dibandingkan dengan suhu siang hari di Indonesia pada musim panas berkisar di angka 30 derajat celcius berarti di sana masih lebih sejuk. Jika pada puncak musim dingin pada bulan-bulan Desember hingga Februari suhu di Mongolia cukup ekstrim dingin berkisar -30 hingga -40 derajat celcius.

Bagi kita, mungkin akan merasa sulit untuk bernafas karena sudah berada di bawah titik beku tetapi bagi orang-orang Mongolia mereka sudah terbiasa dan masih bisa beraktifitas di luar rumah.

Dokpri.   Berpose di Tengah Gurun Gobi
Dokpri.   Berpose di Tengah Gurun Gobi

Tujuan kami ke Mongolia dalam rangka memenuhi undangan dari rekan bisnis kami di Ulaanbaatar untuk memberikan training berkaitan dengan produk yang kami jual di sana yaitu Rim / Wheel atau Velg untuk kendaraan alat berat yang digunakan di tambang batubara di Mongolia.

Tiba di Bandara International Chinggis Khaan, kami mengalami sedikit hambatan karena ada barang bawaan kami yang tertahan oleh bea cukai di bandara. 

Setelah menunggu hampir sekitar 1 jam belum juga keluar akhirnya kami menanyakan ke petugas bandara kemudian kami diarahkan untuk menanyakan ke bagian pemeriksaan barang. Setelah kami jelaskan mengenai barang tersebut akhirnya barang tersebut bisa diloloskan untuk bisa kami bawa keluar. Kami pun merasa lega setelah keluar dari bandara tersebut.

Di pintu keluar kami disambut oleh penjemput dari hotel tempat kami menginap. Dengan sedikit keahlian bahasa Inggris yang dimiliki oleh driver yang membawa kami ke hotel di sepanjang jalan yang kami lewati kamipun bisa bertanya mengenai kota Ulaanbaatar.

Ibukota Ulaanbaatar kelihatannya tidaklah terlalu besar dan pengaturan lalu lintasnyapun masih kurang teratur, traffic light belum terlalu banyak dan kemacetan masih nampak terjadi dimana-mana. Kelihatannya sikap pengendara kendaraan pribadi maupun kendaraan umum masih belum terlalu disiplin untuk mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

Di tengah kota terlihat bangunan tinggi menjulang yang sepertinya sedang dibangun semacam silo untuk tempat pembakaran batubara untuk dijadikan pembangkit listrik di kota Ulaanbaatar. Hal ini tentu saja nantinya akan berdampak kepada tingkat polusi udara di kota tersebut. 

Sangat kontras sekali jika dibandingkan dengan daerah yang dinamakan dengan Inner Mongolia yang menjadi bagian dari negara China, di perbatasan antara negara Mongolia dengan negara China tersebut dari pesawat udara kita bisa melihat cukup banyak baling-baling raksasa yang dibangun di sepanjang garis perbatasan untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga angin atau kalau di Indonesia dinamakan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu)

Malam harinya kami dijemput oleh mitra bisnis kami Jerry Rinchin yang tinggal di Ulaanbaatar untuk diajak makan malam bersama setelah itu diajak untuk sighseeing di salah satu spot destinasi di kota Ulaanbaatar yaitu di alun-alun Sukhbaatar Square.

Walaupun suasana malam itu agak gerimis tetapi suasana di alun-alun Sukhbaatar Square cukup ramai oleh  orang-orang yang menikmati pemandangan malam hari di depan istana Presiden yang di dekat pintu masuknya duduk dengan gagahnya patung Genghis Khaan dan di depan istana Presiden tersebut berjarak sekitar 100 meter ada patung seorang Pahlawan Revolusioner Mongolia yang gagah berani sedang duduk di atas pelana kudanya yaitu Damdin Sukhbaatar yang meninggal pada tahun 1923.

Perjalanan Ekstrim di Tengah Gurun Gobi

Keesokan harinya kami memulai perjalanan menuju gurun Gobi dimana di tengah gurun Gobi tersebut ada beberapa proyek pertambangan batubara yang menjadi tujuan kunjungan kami untuk memberikan training di sana. 

Bayangan saya sebelumnya bahwa gurun Gobi itu adalah padang pasir yang sangat luas seperti yang pernah saya lihat pada film-film yang mengambil lokasi shooting di padang gurun Sahara. 

Namun kenyataannya tidak demikian, gurun Gobi jika pada musim panas adalah padang rumput berwarna kehijauan sedikit kecoklatan yang sangat luas tanpa adanya pepohonan besar yang tumbuh dan juga tidak kelihatan adanya sungai ataupun danau sehingga kelihatan sangat gersang. 

Tetapi jika pada musim dingin yang nampak di sepanjang penglihatan kita hanya padang luas yang berwarna putih yang di selimuti oleh es salju yang sangat dingin. 

Beruntungnya kami ke sana pada musim panas sehingga tidak menjadi masalah besar bagi kami walaupun angin yang berhembus di padang gurun Gobi tersebut cukup kencang mungkin hal tersebut dikarenakan karena tidak adanya penghalang berupa pohon maupun rumah-rumah penduduk.

Kami berangkat dari hotel tempat kami menginap yaitu The Corporate Hotel di kota Ulaabaatar sekitar pukul 5;30 pagi hari, dijemput oleh seorang driver yang bekerja sebagai teknisi di perusahaan tempat kolega kami di Ulaanbaatar, namanya Delgertsog Aleksandr seperti nama seorang Rusia dengan nama panggilan Daegi. 

Di sepanjang jalan yang lurus banyak kami jumpai hewan-hewan ternak seperti kuda, domba hingga unta. Mereka bergerombol cukup banyak di padang rumput dan kadang-kadang kawanan hewan tersebut dengan tenangnya melintasi jalan sehingga kami terpaksa harus menghentikan perjalanan mobil kami untuk memberikan kesempatan mereka lewat.

Ada hal yang baru saya ketahui di sini yaitu mengenai unta. Unta yang hidup di Mongolia ini ternyata berbeda bentuk fisiknya dengan unta yang hidup di daerah Timur Tengah. Unta Mongolia memiliki 2 punuk di pundak dan di atas pinggulnya serta ukuran badannya lebih kecil sementara unta yang hidup di daerah Timur Tengah hanya memiliki 1 punuk di punggungnya dan ukurannya lebih besar. Saya sendiri tidak tahu persisnya kenapa itu berbeda.

Dokpri. Ger Rumah Khas Asli Mongolia
Dokpri. Ger Rumah Khas Asli Mongolia

Sesekali kami bisa melihat rumah khas asli penduduk Mongolia yang tinggal di gurun yang dinamakan rumah Ger, mereka dikenal dengan cara hidup Nomaden atau sering berpindah-pindah dari lokasi satu ke lokasi lainnya tergantung dengan kondisi alam yang mereka tinggali. 

Kami sempat berhenti sesaat untuk melihat langsung seperti apa rumah Ger tersebut. Penghuni rumah sangat ramah menerima kami dan bahkan mereka menyuguhkan permen untuk kami. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan bagi kami.

Setelah itu kami terus melanjutkan perjalanan dan kadang-kadang berhenti untuk mengisi bahan bakar dan juga untuk makan yang sudah kami bawa dari Ulaanbaatar untuk bekal kami di jalan. Stasiun pengisian bahan bakar dari satu stasiun ke stasiun lainnya jaraknya cukup jauh sehingga kita harus mengisi full tank agar tidak kehabisan bahan bakar di jalan karena perjalanan yang cukup jauh.

Kejadian yang cukup lucu dan juga tidak kami prediksi sebelumnya, di tengah perjalanan kami harus berhenti untuk buang air kecil di padang gurun tersebut karena sangat jauh dari pemukiman penduduk. Angin berhembus sangat kencang saat itu sehingga pada saat berdiri buang air kecil, airnya bisa terbang mengenai teman yang berdiri di samping dan menjadi bahan sumpah serapah sekaligus bahan tertawaan kami di sepanjang jalan. 

Hal aneh yang kami temui juga di sana adalah dengan tanpa sengaja saya melihat ada batu yang tidak terlalu besar hanya seukuran jempol kaki dan tentu saja itu menarik hasrat saya untuk memungutnya. Ketika pada saat dipegang batu tersebut terasa hangat dan agak berat seperti besi berbeda dengan batu-batu lainnya yang terasa dingin dan ringan saja.

Dokpri. Batu Meteorit Ditemukan Di Gurun Gobi
Dokpri. Batu Meteorit Ditemukan Di Gurun Gobi

Menurut driver kami yang orang Mongolia itu, dia mengatakan bahwa batu tersebut adalah batu meteorit yang jatuh ke bumi sambil dia memperagakan tangannya menunjuk ke arah langit dan menjatuhkannya ke bumi dan hal itu katanya seringkali terjadi, mungkin dikarenakan gaya gravitasi bumi di gurun Gobi cukup besar dibandingkan daerah lainnya seperti halnya di ekuator. 

Namun alasan ini pun belum tentu benar adanya karena saya sendiri tidak terlalu memahami teori gravitasi Newton yang pernah dipelajari di pelajaran Fisika pada saat masih di bangku sekolah dulu.

Saya sebetulnya sangat tertarik untuk mengambilnya untuk dibawa pulang tetapi kami dicegah oleh Daegi karena menurut dia nanti kemungkinan akan timbul masalah di bandara pada saat pemeriksaan atau biasanya menurut orang-orang Mongolia jika mengambil sesuatu di gurun Gobi maka akan timbul sakit hingga barang yang diambil dikembalikan ke tempat asalnya, ini tentu saja cukup menakutkan buat saya untuk mengambilnya walaupun mungkin itu hanya cerita bohong belaka.

Pemandangan di padang gurun Gobi memang terlihat monoton karena hampir semuanya sama yaitu padang rumput dan sesekali menemukan kawanan kuda, domba dan unta tetapi hal ini merupakan pengalaman yang belum tentu semua orang bisa mendapatkannya. 

Saya merasa sangat beruntung bisa berada di tengah gurun Gobi dan bisa menyaksikan langsung hamparan padang rumput yang begitu sangat luas, sungguh sangat mempesona. Tak ingin saya menyia-nyiakan  momen yang sangat langka ini dengan sesekali mengambil beberapa foto karena saya pikir belum tentu saya bisa kembali lagi di sini nantinya.

Dokpri. Jalan Tanah Tanpa Petunjuk Arah
Dokpri. Jalan Tanah Tanpa Petunjuk Arah

Memasuki persimpangan menuju proyek pertambangan tidak ada lagi jalan yang beraspal hanya hamparan tanah yang tanpa ada penunjuk arah, patokan kami hanyalah bekas jalanan mobil sebelumnya.

Saya iseng bertanya kepada Daegi, "How do you know that we are going on the right path?"
Dan dengan spontan dia menjawab, "I am just guessing!"
 "Whatttt???" teriak saya kaget.

Daegi tertawa terbahak melihat saya kaget, rupanya dia hanya bercanda saja. Dia mengatakan bahwa sebenarnya di mobilnya sudah dilengkapi dengan Kompas penunjuk arah yang menjadi acuan dia mau mengarahkan kemana. 

Mendengar itu membuat saya sedikit agak lega walaupun masih sedikit ada perasaan was-was juga karena saya melihat jam tangan saya waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore dan saya lihat bekas jalanan mobil semakin banyak arahnya yang tentu saja agak sedikit membingungkan bagi pengendara baru. 

Untungnya tidak berapa lama kemudian dari kejauhan sudah terlihat beberapa bangunan permanen yang berdiri di tengah gurun dan bangunan itu semakin lama semakin banyak. Ternyata pemukiman itu sudah menjadi semacam perkampungan atau mungkin calon pusat perkotaan di tengah gurun bagi orang-orang yang bekerja di proyek pertambangan tersebut.

Nama daerah tersebut adalah Tsotseisi dan kelihatan sudah mulai ramai dihuni bahkan sudah ada beberapa bangunan menyerupai hotel-hotel kecil atau mess karyawan sayapun tidak begitu memahaminya dan juga banyak berdiri restoran dan beberapa bar tempat hiburan bagi pekerja tambang. Mungkin sudah bisa dikatakan seperti kota kecamatan karena sudah nampak ada bangunan kantor pemerintah lokal di sana.

Dokpri. Mess Karyawan Energy Resources di Tsotseisi
Dokpri. Mess Karyawan Energy Resources di Tsotseisi

Akhirnya tibalah kami di mess karyawan Energy Resources yang menurut saya fasilitasnya cukup bagus dan ternyata di dalamnya hampir mirip dengan sebuah kamar hotel kelas melati. Di dalam mess tersebut juga sudah dilengkapi dengan kantin untuk tempat kami makan dan ruangan tempat karyawan bersantai. Cukup bagus untuk ukuran sebuah mess karyawan dan tempat menginap untuk tamu-tamu perusahaan yang berkunjung ke sana.

Pada musim panas di semua bagian belahan bumi utara biasanya matahari bersinar agak panjang dibandingkan di negara-negara yang terletak di ekuator dan baru mulai tenggelam sekitar pukul 9 hingga 10 malam. 

Demikian juga yang terjadi di Mongolia, tetapi waktu terbitnya matahari tetap pada sekitar pukul 5 pagi dini hari. Dan malam itu karena merasa cukup kelelahan di perjalanan, sayapun bisa tidur dengan cukup pulas walaupun di tempat tidur yang baru yang biasanya perlu penyesuaian dulu. 

Pagi harinya sekitar pukul 5 pagi saya sudah bangun untuk mandi dan menikmati sarapan pagi di kantin. Menu sarapan pagi kami cukup bervariasi karena ada disediakan roti berikut dengan selainya dan nasi dengan lauk soup daging domba, ada susu dan jus juga yang disimpan di kulkas. 

Ternyata baru kami sadari setelah menginap selama 3 malam di sana bahwa setiap hari mulai sarapan pagi, makan siang sampai makan malam menunya selalu ada daging dombanya karena banyak peternakan domba di gurun tersebut. 

Mau tidak mau kami harus menyesuaikan diri dengan kondisi di sana walaupun sebenarnya saya memiliki riwayat hypertensi jika terlalu banyak mengkonsumsi daging, khususnya daging domba tapi saya sudah membawa obat anti hypertensi untuk menetralisirnya.

Sekitar pukul 8 pagi kami sudah memasuki area pertambangan tetapi kami tidak bisa langsung ke tempat tujuan kami karena harus mengikuti prosedur yang berlaku untuk memasuki wilayah pertambangan. Biasanya standar safety diberlakukan dengan ketat di setiap proyek pertambangan dimanapun itu berada. Kami pun harus berhenti di check point dan menemui security yang bertugas untuk meminta izin memasuki wilayah tambang.

Daegi kelihatannya sudah terbiasa dan dia terlihat cukup lincah untuk berkomunikasi dengan petugas jaga check point tersebut. Kami disuruh menunggu hingga penjemputan dari tambang tiba di lokasi check point untuk meng-escort kami masuk ke wilayah tambang. Tak berapa lama kemudian kami sudah ditemui oleh driver yang mengendarai mobil pickup untuk meng-escort kami masuk.

Tibalah kami di kantor klien kami di area tambang, di sana kami di-briefing sebentar mengenai safety induction dan diperkenalkan dengan tim maintenance. 

Dan betapa kagetnya saya ternyata satu diantara tim maintenance yang diperkenalkan tersebut adalah teman bule saya yang dulu sama-sama pernah bekerja di proyek Kaltim Prima Coal di Sangatta namanya William Gibbs yang biasa kami panggil Billy dia menjadi Maintenance Superintendant di sini. 

Ternyata dunia ini begitu sempit walaupun menurut saya gurun Gobi sudah cukup jauh memisahkan jarak dan sulit ditempuh, tapi ternyata ada teman saya juga yang terdampar di sana.

Saya kemudian membuka sessi training yang terkait dengan cara maintenance yang benar terhadap produk yang kami supply yaitu Rims / Wheels untuk dipasang di roda alat berat seperti dump truck dan wheel loader. 

Kemudian dilanjutkan proses training oleh teman saya dari Indonesia yang ikut serta berkunjung ke Mongolia yaitu Slamet Rahardjo. Karena sebagian besar teknisi adalah orang asli Mongolia yang belum terlalu menguasai Bahasa Inggris sehingga perlu didampingi dengan seorang interpreter atau translater dari bahasa Inggris ke bahasa Mongolia demikian juga sebaliknya. 

Nampak semua peserta training begitu antusias untuk mengikuti training yang kami sampaikan ke mereka. Mungkin ada beberapa hal baru yang mereka bisa dapatkan dari hasil training tersebut.

Semua peserta yang mengikuti training tersebut saya berikan sertifikat keikutsertaan dan juga souvenir yang kami bawa dari Indonesia agar mereka selalu ingat dengan materi yang kami sampaikan pada training tersebut.

Pada hari terakhir sessi training, kami diberikan kesempatan untuk meninjau langsung lokasi penambangan batubara di Proyek Thiess UHG Mongolia. 

Proses penambangan batubara tidak jauh berbeda dengan tambang terbuka (open pit) yang ada di Kalimantan yang sudah biasa kami temui setiapkali berkunjung ke tambang-tambang batu bara. Di sana kami berkesempatan untuk mengambil beberapa foto kegiatan penambangan dari jarak jauh.

Dokpri. Training di Lapangan
Dokpri. Training di Lapangan

Perjalanan Kembali yang Tak Kalah Ekstrim


Setelah berada 4 hari di proyek pertambangan Thiess UHG Mongolia di Tsotseisi kamipun memutuskan untuk kembali lagi ke Ulaanbaatar mengendarai kendaraan yang sama yang membawa kami di gurun Gobi ini.

Saya kembali membayangkan betapa lamanya perjalanan kembali yang sebelumnya sudah pernah kami tempuh dengan waktu hampir 10 jam. 

Dalam perjalanan pulang ini penumpang di mobil kami bertambah satu orang lagi yaitu seorang wanita yang menjadi translater kami pada saat training beberapa hari yang lalu, dia kembali ke Ulaanbaatar karena dia memutuskan untuk resign dari proyek untuk bekerja di perusahaan lain di kota Ulaanbaatar.

Pemandangan yang kami temui di sepanjang perjalanan kembali tersebut tidak jauh berbeda dengan perjalanan sebelumnya. Kawanan domba, kuda dan unta tetap menghiasi perjalanan kami. 

Sesekali kami harus berhenti di gurun untuk istirahat sebentar dan buang air kecil, walaupun salah satu penumpang kami wanita tersebut tidak ikut buang air kecil selama perjalanan melintasi gurun. Saya membayangkan betapa menderitanya dia menahan rasa ingin buang air kecil setelah berjam-jam di jalan, mungkin dia sudah terbiasa perjalanan jauh atau mungkin juga ditahan karena malu dengan kami yang semuanya laki-laki.

Karena perjalanan pulang tidak terlalu buru-buru kami memutuskan untuk berhenti di beberapa tempat seperti di ibukota propinsi Mandalgovi untuk menikmati makan siang sekaligus melihat beberapa spot rekreasi yang ada di sana. Walaupun namanya ibukota propinsi tetapi jangan dibayangkan sama dengan ibukota propinsi yang ada di Indonesia. 

Dokpri. Patung Kuda di Kota Mandalgovi
Dokpri. Patung Kuda di Kota Mandalgovi

Kota Mandalgovi tidaklah terlalu besar mungkin hanya sebesar kota kecamatan yang ada di Indonesia. Kebetulan di kota Mandalgovi ini merupakan kota kelahiran dari orang tua Jerry Rinchin dan dia menyarankan kami untuk mampir sejenak melihat-lihat kota Mandalgovi. 

Dulunya orangtuanya tersebut adalah Kepala Kepolisian di Mandalgovi atau bisa dikatakan sama dengan tingkatan Kapolda namun sekarang ini orang tuanya sudah pensiun dan sudah berpindah ke ibukota Ulaanbaatar.

Daegi juga mengajak kami berhenti di salah satu titik berupa Monumen yang menjadi semacam pusat persembahan kepada dewa bagi orang asli Mongolia. Monumen tersebut hanya berupa 2 buah batu yang disusun berdiri (standing stones) mungkin tingginya hanya sekitar 2,5m dan diikat dengan kain yang berwarna biru, kuning dan merah. 

Dokpri. Monumen Persembahan di Tengah Gurun Gobi
Dokpri. Monumen Persembahan di Tengah Gurun Gobi

Di bawah batu tersebut terlihat semacam bekas barang-barang sesajian yang berserakan untuk persembahan kepada dewa. Anehnya di seputaran kedua batu tersebut tidak ditemui ada batu-batu lainnya seperti kedua batu tersebut. 

Menurut Daegi, kita bisa berdoa meminta keselamatan kepada dewa dan tidak boleh berlaku tidak sopan atau mengambil sesuatu dari tempat itu karena dikhawatirkan akan timbul sakit yang berkepanjangan dan harus kembali lagi ke sana untuk mengembalikannya. 

Ini katanya sudah pernah terjadi sebelumnya dimana ada seorang wanita yang sakit karena mengambil barang yang ada di situ. Hal ini cukup membuat kami sedikit khawatir untuk mendekati tempat yang dikeramati tersebut.

Diperjalanan pulang, setelah memasuki kota Ulaanbaatar kami juga dibawa oleh Daegi untuk melihat pusat souvenir di kota Ulaanbaatar karena kesempatan kami berada di Mongolia tidak banyak lagi, besoknya kami harus kembali lagi ke Bandara International Chinggis Khaan untuk selanjutnya terbang kembali ke Indonesia.

Tempat penjualan souvenir yang kami kunjungi adalah sebuah Nomadic Souvenir Shop yang bangunannya berbentuk Ger rumah khas Mongolia. Tidak terlalu ramai oleh pengunjung mungkin karena sudah terlalu sore atau mungkin tidak banyak turis yang berkunjung ke Mongolia. Biasanya yang membeli souvenir adalah para turis yang ingin mengkoleksi barang-barang khas suatu daerah atau negara tertentu. 

Saya hanya membeli sebuah patung perunggu kecil Genghis Khaan dan beberapa souvenir lainnya yang kelihatannya menarik. Sementara itu teman saya Slamet Rahardjo membeli baju hangat yang terbuat dari kain tenun kasmir yang sangat terkenal di Mongolia, harganyapun lumayan mahal.

Malam harinya kami diajak oleh kolega kami Jerry dan keluarganya untuk makan malam di sebuah restoran di atas sebuah bukit yang kelihatannya cukup mewah dimana dari restoran tersebut kita bisa melihat pemandang kota Ulaanbaatar di malam hari. 

Di tempat itu pula beberapa bulan sebelumnya dijadikan tempat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) beberapa Kepala Pemerintahan termasuk Presiden Indonesia Bapak Joko Widodo juga ikut menghadiri acara konferensi tersebut. Pada kesempatan yang sangat indah ini kamipun tidak melupakan untuk mengabadikan beberapa foto di depan bendera negara-negara yang menjadi peserta konferensi.

Perjalanan Kembali Ke Tanah Air

Tibalah saatnya kami harus kembali lagi ke tanah air Indonesia. Pagi-pagi sekali sekitar pukul 5 pagi kami sudah dijemput oleh Jerry Rinchin untuk diantar ke bandara. 

Jarak dari hotel ke bandara memakan waktu hanya sekitar 40 menit saja dan pagi itu jalannya juga tidak terlalu ramai sehingga kami bisa tiba di Bandara International Chinggis Khaan lebih cepat. Proses check in dan imigrasi berjalan dengan lancar dan tidak ada kendala apapun sehingga waktu kami di ruang tunggu bisa lebih lama. 

Kami memanfaat waktu yang cukup lama tersebut untuk berfoto-foto ria di patung-patung Genghis Khaan dan patung kuda yang banyak kami temui di dalam bandara. Entah kenapa mereka begitu bangga dan sangat menghormati pemimpin mereka Genghis Khaan dan juga patung kuda sehingga patung-patungnya ada dimana-mana.

Kami menggunakan pesawat yang sama yang membawa kami ke Mongolia beberapa hari sebelumnya yaitu Mongolian Air. Perjalanan udara memakan waktu sekitar 3 jam 40 menit untuk tiba di bandara Incheon Korea Selatan. 

Di atas ketinggian sekitar 30,000 kaki saya masih bisa melihat baling-baling raksasa yang berjejer dipasang di sepanjang perbatasan China dan Mongolia. 

Baling-baling raksasa tersebut dipasang oleh Pemerintah China sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Angin yang menjadi sumber energi bagi penduduk China yang tinggal di Inner Mongolia yang merupakan bagian dari otoritas China. Teknologi membedakan kedua negara tersebut walaupun sama-sama tinggal di padang gurun Gobi.

Kami hanya transit sekitar 2 jam saja di Incheon Airport selanjutnya kami harus terbang kembali ke Jakarta menggunakan pesawat Korean Air dan tiba malam harinya.

Inilah perjalanan saya yang sangat mengesankan karena sangat berbeda dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Semoga suatu saat bisa ada kesempatan lagi untuk berpetualang ke suatu tempat yang tidak kalah mengasyikan.

This is a wonderful trip.... See you again on my next trip!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun