Al-Qur'an merupakan kitab pedoman yang sangat sempurna untuk menjadi pengangan hidup manusia. Di dalamnya, Allah menjelaskan setiap permasalahan secara kompleks dan aktual. Kesempurnaan Al-Qur'an tentang tuntunan dan pedoman kehidupan mendorong para ulama berusaha memahaminya, sehingga tuntunan dan pedoman tersebut dapat diaplikasikan di dunia. Upaya dalam memahami wahyu tersebut melahirkan sebuah disiplin ilmu yang biasa disebut dengan tafsir.Â
Sebagai hasil ijtihad terhadap wahyu, penafsiran Al-Qur'an tidak terlepas dari latar belakang atau bahkan subjektivitas para mufassir. Hal ini terbukti dengan munculnya berbagai corak atau kecenderungan dalam penafsiran Al-Qur'an. Mufassir yang memiliki latar belakang bahasa melahirkan tafsir lughawiy, mufassir berlatar belakang filsafat melahirkan produk tafsir falsafiy, mufassir yang memiliki latar belakang science melahirkan tafsir ilmiy. Corak atau kecendrungan penafsiran Al-Qur'an juga dipengaruhi perbedaan mazhab baik di bidang teologi maupun fikih. Perbedaan mazhab teologi melahirkan corak tafsir kalamiy atau 'aqaidy, sedangkan perbedaan mazhab fikih melahirkan berbagai tafsir dengan corak fiqhiy atau tafsir fikih. Di abad modern juga muncul corak tafsir hida'i, yaitu corak tafsir yang mengutamakan pembahasan bimbingan Al-Qur'an untuk kehidupan sesuai dengan kriteria dan syarat-syaratnya.[1]Di antara corak tafsir yang banyak berkembang dalam historis penafsiran Al-Qur'an adalah tafsir fikih. Perkembangan tafsir ini lebih pesat dibandingkan tafsir lain disebabkan banyaknya ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang hukum fikih. Menurut Al-Gazali ayat yang membahas tentang hukum fikih berjumlah kurang lebih lima ratus ayat. Sedangkan menurut Ibn al-'Arabiy jumlahnya mencapai sekitar delapan ratus ayat. Menurut mayoritas ulama jumlahnya bisa mencapai ribuan apabila yang dimaksud dengan ayat-ayat fikih tidak hanya ayat yang secara langsung membahas fikih, tetapi juga setiap ayat yang darinya bisa di-istinbath-kan hukum fikih, seperti ayat kisah.
Pesatnya perkembangan tafsir fikih dalam historis penafsiran Al-Qur'an mendorong penulis untuk membahas dan meneliti tafsir ini untuk mendeskripsikan tentang makna tafsir fikih, yang berkecimpung di dalamnya.
Pembahasan
 1. Penafsiran Fikih dalam Penafsiran Al-Qur'an
 Menurut istilah, dalam kitab al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an, Imam al-Zarkasyi menjelaskan tafsir adalah
 "Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muuhammad SAW dan menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum hukumnya dan hikmah hikmahnya."
Fikih seacara bahasa adalah al-fahm wa al-ilmu (pemahaman dan pengetahuan). Secara istilah fikih adalah:Â
 "Ilmu tentang hukum-hukum yang syar'i 'amaliy (yang terkait dengan amal perbuatan manusia) yang disimpulkan dari dalil-dalil yang rinci".[2]
Tafsir dan fikih merupakan dua disiplin ilmu yang penting dalam Islam dan keduanya memiliki kaitan sangat erat. Tafsir merupakan ilmu yang dijadikan sarana menggali makna dan kandungan Al-Qur'an secara umum. Sementara fikih merupakan ilmu yang mengelaborasi penafsiran Al-Qur'an, khususnya ayat-ayat fikih, menjadi produk hukum, yakni ayat yang menjelaskan tentang hukum agama yang terkait dengan manusia (mukallaf), seperti hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Definisi pertama mengisyaratkan bahwa tafsir fikih adalah penafsiran yang memberikan perhatian khusus atau mengutamakan penafsiran ayat-ayat hukum, meskipun mufassir tetap menafsirkan selain ayat-ayat hukum. Hal ini dapat disimpulkan dari penggunaan kata ( ) yang dalam bahasa Indonesia berarti memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Defenisi kedua menjelaskan bahwa tafsir fikih adalah tafsir yang hanya membahas ayat-ayat hukum, dan tidak menafsirkan selain ayat hukum. Sedangkan definisi ketiga, mendefinisikan tafsir fikih dengan ruang lingkup yang sangat luas, yaitu setiap penafsiran yang berhubungan hukum-hukum syar'i.Â
Pada dasarnya tafsir fikih telah ada sejak turunnya ayat tentang hukum-hukum fikih. Rasulullah SAW merupakan mufassir pertama dalam tafsir ini. Rasulullah SAW telah menafsirkan ayat perintah melaksanakan shalat dengan puluhan bahkan ratusan hadis yang bersifat qauliah dan fi'liyah. Demikian juga ayat tentang zakat, puasa, haji, hudud dan masalah-masalah fikih lain yang dijelaskan dengan ratusan hadis dengan kompilasi para ulama dalam berbagai kitab hadis.
Ketika Rasulullah wafat, para sahabat berusaha menafsirkan bahkan meng-istinbath-kan hukum dari ayat-ayat Al-Qur'an dan beramal dengannya. Dalam prakteknya, tidak jarang para sahabat berbeda pendapat dalam penafsiran dan formulasi hukum sebuah ayat. Sebagaimana perbedaan antara imam Ali ibn Abu Thalib dengan Umar ibn Khattab tentang batas minimal 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal. Umar ibn Khattab berpendapat bahwa masa 'iddah-nya habis dengan melahirkan, sedangkan imam Ali berpendapat iddah-nya adalah masa 'iddah yang paling lama antara 'iddah wafat (empat bulan sepuluh hari) dengan 'iddah hamil.[3] Perbedaan ini terjadi adalah karena umumnya ayat yang berbicara tentang iddah thalaq (QS Thalaq [65]: 4) dengan iddah wafat (QS Al-Baqarah [2] :234).
Demikian juga perbedaan antara Ibn Abbas dan Zaid ibn Tsabit tentang pembagian harta warisan seorang wanita yang meninggal, dengan ahli warisnya suami, ayah dan ibu. Menurut Ibn Abbas, suami mendapat bagian setengah, untuk ibu sepertiga, sedangkan bapak sisa ('ashabah), berdasarkan firman Allah QS.an-Nisa [4]: 11. Sedangkan Zaid ibn Tsabit berpendapat bagian ayah dan ibu adalah sisa ('ashabah) dengan prinsip pembagian; "bagian untuk laki-laki dua kali bagian perempuan" berdasarkan firman Allah QS. an-Nisa'[4]:11.[4]
 Setelah generasi sahabat, perkembangan tafsir fikih secara khusus berjalan semakin pesat seiring dengan perkembangan umat Islam dan dinamika kehidupan yang mereka hadapi. Dimasa tabi'in muncullah madrasah-madrasah tafsir yang dikembangkan oleh murid-murid mufassir di kalangan sahabat. Di Mekkah muncul madrasah tafsir yang dikembangkan oleh Sa'id ibn Jubair, Mujahid, 'Ikrimah, dan 'Atha' ibn Abi Rabah yang merupakan murid-murid Ibn Abbas. Di Madinah muncul para mufassir, seperti Abu al-'Aliyah al-Riyahiy, Muhammad ibn Ka'ab al-Qarzhiy, Zaid ibn Aslam yang merupakan murid-murid Ubay ibn Ka'ab. Di Irak muncul mufassir 'Alqamah, Masruq, Hasan al-Bashriy dan Qatadah yang merupakan murid dari mufassir sahabat Abdullah Ibn as'ud.[5] Mereka semua adalah para mufassir yang sekaligus fuqaha', yang dalam penafsirannya juga menjelaskan berbagai masalah-masalah fikih.
Setelah masa itu, hadirlah para mufassir dan fuqaha' yang memberikan perhatian intensif terhadap tafsir fikih dengan melahirkan kitab yang secara spesifik membahas tentang ayat-ayat fikih. Menurut sebagian ulama, mufassir pertama yang menulis kitab tafsir fikih adalah Imam Syafi'i (204 H) dengan kitabnya Ahkam al-Qur'an. Selanjutnya tafsir fikih semakin meluas, baik dalam bentuk lahirnya kitab-kitab tafsir yang hanya membahas ayat-ayat fikih, yang dikenal dengan kitab Ahkam Al-Qur'an, atau tafsir fikih yang menjadi bagian tafsir secara umum, namun memberikan penafsiran yang lebih luas tentang ayat-ayat fikih.
Di saat munculnya era mazhab-mazhab fikih, para ulama yang merupakan pengikut setia dari masing-masing mazhab melahirkan karya-karya tafsir fikih sesuai dengan mazhab yang mereka ikuti. Namun fenomena fanatisme terhadap mazhab memberikan dampak negatif terhadap perkembangan tafsir. Mufassir dari masing-masing mazhab sering berupaya "menundukkan" penafsiran Al-Qur'an dengan konsep fikih atau formulasi hukum fikih yang mereka ikuti. Seperti Abdulllah al-Karkhiy (340 H) salah seorang mufassir yang fanatik dengan mazhab hanafi mengatakan, "setiap ayat dan hadis yang berbeda dengan mazhab kami, maka akan ditakwilkan atau dinilai nasakh.[6]Â
Demikian juga, Imam al-Suyuri dalam pengantar tafsirnya, Kanzul Irfan fi Fiqh Al-Qur'an, menjelaskan bahwa ia melakukan penafsiran ayat-ayat fikih secara tematik, dan akan mengungkapkannya sesuai dengan mazhab fikih Imamiah. Beliau juga membahas pendapat-pendapat fikih yang berbeda dengan mazhab Imamiah dan menjelaskan bantahan terhadapnya.
Dengan meredupnya fanatisme mazhab setelah abad pertengahan, tafsir fikih berkembang dengan wujud yang lebih objektif. Tafsir fikih hadir dengan membahas ayat-ayat fikih secara komparatif. Menggambarkan berbagai perbedaan pendapat ulama fikih tentang sebuah ayat, kemudian melakukan tarjih secara objektif, tanpa terikat dengan mazhab-mazhab yang telah ada. Seperti tafsir Nail al-Maram min Tafsiir Ayat al-Ahkam karangan Abu al-Thayyib Shadiq ibn 'aliy al-Husainiy (1307 H), tafsir Rawai' al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam karangan Syekh Ali al-Shabuniy.
Â
- Metode dan Karakteristik Tafsir Fikih
 Para mufassir menerapkan beberapa metode dalam penulisan tafsir fikih, antara lain:
- Tafsir fikih dengan metode penafsiran Al-Qur'an secara utuh, namun sangat rinci dalam menafsirkan ayat-ayat fikih. Tafsir fikih dengan metode ini terlihat hampir sama dengan kitab tafsir secara umum karena membahas semua ayat Al-Qur'an dengan berbagai aspeknya, namun dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, mufassir membahasnya secara rinci. Seperti kitab tafsir Jami' al-Bayan li Ahkam Al-Qur'an karangan Imam al-Qurtubi. Dalam tafsinya, ia berusaha membahas secara rinci masalah demi masalah hukum yang terdapat dalam sebuah ayat, sehingga dalam satu ayat dapat diuraikan menjadi belasan bahkan puluhan masalah hukum.
- Tafsir fikih dengan metode penafsiran ayat-ayat fikih secara khusus, berurutan sesuai dengan urutan surat dalam Al-Qur'an. Tafsir fikih dalam bentuk ini banyak dituliskan ulama dengan nama kitab Ahkam al-Qur'an. Setiap mazhab fikih memiliki kitab tafsir Ahkam Al-Qur'an. Dalam prakteknya, mufassir membahas ayat-ayat fikih secara berurutan dalam satu surat dan tidak menafsirkan ayat-ayat selain fikih.
- Tafsir fikih dengan metode tematik. Tafsir fikih tematik dilakukan dengan menghimpun ayat dari berbagai surat tentang sebuah tema fikih, seperti ayat-ayat tentang thaharah, shalat dan tema lainnya. Setelah itu masing-masing ayat ditafsirkan dan meng-istinbath-kan hukum dari ayat-ayat tersebut. Metode ini dipergunakan al-Miqdad al-Suyuriy dalam tafsirnya Kanzul 'Irfan fi Fiqh Al-Qur'an. Dalam muqaddimah kitabnya al-Miqdad al-Suyuri mengatakan bahwa tafsir ini hanya membahas ayat hukum saja, tidak membahasnya surat per surat sesuai urutan mushaf, tetap memilih tema di antara tema fikih seperti thaharah, kemudian mengumpulkan setiap ayat Al-Qur'an yang terkait dengan tema tersebut, dan menjelaskan setiap ayat sesuai dengan batasannya, sekaligus menjelaskan hukum yang terkandung di dalamnya sesuai dengan mazhab Imamiah Istna 'Asyariah. Metode ini juga diikuti oleh Qathb al-Din al-Rawandi dalam kitab tafsirnya Fiqh Al-Qur'an.Di abad modern juga melahirkan tafsir fikih dengan metode tematik yang lebih sederhana, terutama tema-tema yang berhubungan kehidupan rumah tangga, kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Namun tulisan tafsir fikih dalam bentuk ini tidak dihimpun dalam satu kitab tafsir, tetapi menyebar dalam berbagai buku atau majalah yang diterbitkan. Di antara tokoh-tokohnya adalah Muhammad Abduh, Muhammad Abu Zahrah, Syeikh Syaltut, Abu A'la al-Maududiy, Yusuf Musa, Musthafa Al-Shiba'i.
Sebagai salah satu kecenderungan atau corak dalam penafsiran Al-Qur'an, tafsir fikih memiliki beberapa kecenderungan diantaranya:
Â
- Mengutamakan tafsir ayat-ayat yang mengandung hukum fikih[7] Para mufassir memberikan perhatian besar terhadap ayat yang berbicara tentang hukum fikih mufassir fikih yang menafsirkan Al-Qur'an secara utuh memberikan penafsiran yang panjang dan rinci ketika bertemu dengan ayat-ayat fikih. Seperti yang dilakukan oleh Imam Al-qurthubiy dalam tafsirnya Jami' li al-Ahkam Al-Qur'an. Ketika menafsirkan surat Al-Maidah ayat tiga tetang makanan yang diharamkan beliau membaginya menjadi dua puluh enam sub pembahasan,. Sedangkan bagi mufassir fikih yang tidak menafsirkan Al-Qur'an secara utuh, perhatian mereka lebih terlihat dengan menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa fikih semata dan tidak membahas selain ayat-ayat fikih.
- Mufassir berupaya maksimal meng-istinbath-kan hukum syar'i dari ayat Al-Qur'an. Karakteristik mendasar dari tafsir fikih adalah mufassir berusaha menformulasikan hukum fikih dari ayat yang dibahas, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali al-shabuniy dalam tafsirnya Rawa'i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al-Qur'an. Formulasi hukum bahkan sudah terlihat dari tema-tema yang diberikan kepada satu atau sekelompok ayat. Seperti tema, ta'addud al-zaujat terhadap empat ayat pertama surat Al-Nisa'. Dalam setiap menafsirkan ayat, setelah menjelaskan analisa lafaz, makna secara umum, dan asbab al-nuzul, pada bagian akhir beliau menjelaskan tema al-ahkam al-syar'iyyah. Pada bagian tersebut, ia menjelaskan berbagai hukum-hukum yang dapat disimpulkan dari ayat yang sedang dibahas. Dengan demikian, para mufassir dalam penafsirannya tidak hanya berperan sebagai mufassir, tetapi langsung memerankan diri sebagai seorang mujtahid fikih.
- Banyak menggunakan manhaj fikih dalam penafsiran Al-Qur'an. Mayoritas mufassir fikih merupakan seorang mujtahid. Konsekuensinya, manhaj fikih dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan banyak digunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an, seperti manhaj fikih tentang manthuq dan mafhum, 'am dan khash, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, kehujjahan khabar ahad, dan metode-metode fikih lainnya. Al-Jashshas, dalam tafsinya Ahkam Al-Qur'an menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 232, menyimpulkan bahwa seorang gadis boleh menikah tanpa wali atau tanpa izin wali. Kesimpulan ini dipengaruhi oleh manhaj mazhab Hanafi tentang kehujjahan hadis ahad. Demikian juga dalam penafsiran QS. Al-Baqarah [2]:180 tentang wasiat untuk orang tua dan karib kerabat. Sebagian mufassir fikih mengatakan bahwa tidak ada lagi wasiat bagi orang tua dan karib kerabat, karna QS. Al-baqarah [2]: 180 dinilai sudah di-nasakh-kan oleh ayat-ayat waris. Sebagian mufassir tetap boleh wasiat karena mereka tidak menganggap ayat tersebut dinas
- Perbedaan tafsir fikih sejalan dengan perbedaan metode fikih dan ushul fikih yang dipilih oleh mufassir. Perbedaan tafsir fikih yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir fikih sangat dipengaruhi oleh perbedaan metode fikih yang digunakan para mufassir dalam masing-masing mazhabnya. Seperti perbedaan penafsiran terhadap firman Allah Swt Surat al-A'raf ayat 204 tentang kewajiban mendengar dan diam pada saat mendengar bacaan Al-Qur'an Dalam menafsirkan ayat ini, mufassir berbeda dalam menyimpulkan hukum makmum membaca bacaan shalat di saat imam membaca al-fatihah dan ayat. Al-Jashshash dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makmum wajib mendegar bacaan imam dan diam, tidak membaca Al-fatihah dan ayat. Hal ini sejalan dengan mazhab Hanafi yang berpendapat makmum tidak wajib membaca bacaan di belakang imam.[8] Imam al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makmum wajib membaca surat Al-fatihah. Hal ini sejalan dengan mazhab Syafi'i. Beliau beralasan bahwa ayat tersebut ditakhshish oleh sabda Rasulullah SAW, "tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Al-fatihah. Perbedaaan ini terjadi akibat perbedaan manhaj fikih, khususnya tentang kebolehan khabar ahad dalam men-takhshish ayat yang bersifat umum. Hasilnya, apabila seorang mufassir yang juga sekaligus ahli fikih berpendapat tentang kehujjahan adalah Al-Qur'an, khabar ahad dan ijma', maka kesimpulan penafsirannya akan berbeda dengan mufassir yang secara fikih tidak sependapat dengan kehujjahan adalah Al-Qur'an, khabar ahad dan ijma'.
- Kitab dan Tokoh Tafsir
Â
Dibanding corak tafsir lainnya, tafsir fikih memiliki banyak mufassir dan warisan kitab lebih banyak. Mufassir dan kitab tafsir fikih terbagi dalam polarisasi mazhab fikih yang berkembang, terutama pada abad pertengahan.
 Di antara kitab dan tokoh tafsir fikih adalah:
 a. Kitab dan mufassir di kalangan Mazhab Fikih Imamiah[9]
 1) Ahkam al-Qur'an, karangan al-Rawandi (573 H)
 2) Zabdatul Bayan fi Ahkam Al-Qur'an, karangan Al-Muqaddas al-Ardabiliy (993 H)
 3) Kanzul 'Irfan fi Fiqh al-Qur'an, karangan Fadhil al-Miqdad al-Suyuriy
 4) Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Sayyid Muhammad ibn Husai al-Tahaba'thaba'iy (1386 H)
 5) Tafsir Syahiy, karangan Sayyid Amir abu al-Futuh al-Husainiy al-Jurjani (976 H)
 6) Masalik al-Afham ila Ayat al-Ahkam, karangan Jawad al-Kazhimiy
 b. Kitab dan mufassir di kalangan Mazhab Hanafi
1) Ahkam Al-Qur'an karangan Abu Ja'far Ahmad ibn Muhammad al-Thahawiy
 2) Ahkam Al-Qur'an karangan Abu Husain Aliy ibn Musa ibn Yazdad Al-qamiy (305 H)
 3) Tafsir Al-Jashshash karangan Ahmad ibn Aliy Abu Bakar al-Jashshas al-Raziy (370 H)
 4) Tahzib Ahkam Al-Qur'an karangan Jamaluddin Mahmud (771 H)
Â
c. Kitab dan mufassir di kalangan Mazhab Syafi'iÂ
1) Ahkam al-Qur'an yang dinisbahkan ke Imam Syafi'i
2) Ahkam al-Qur'an karangan al-Kayaharasiy
3) Nail al-Maram fi Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Sayyid Muhammad Shadiq ibn Hasan
4) Ahkam al-Kitab al-Mubin karangan 'Aliy Ibn Abdullah Mahmud al-Syankfakiy
5) Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil karangan Jalal al-Din Abu Bakar Abdul Rahman al-Sayuthiy. (Al-Isawiy, n.d: 33)
Â
d. Kitab dan mufassir di kalangan Mazhab MalikiÂ
1) Ahkam Al-Qur'an karangan Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam (268 H)
2) Ahkam Al-Quran karangan Musa ibn Abd al-Rahman abu Aswad al-Qathan (306 H)
3) Ahkam Al-Qur'an karangan Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah ibn Bakir al-Baghdadiy (305 H)
4) Ahkam al-Qur'an karangan Abu Bakar Ibn 'Arabiy (543 H)
 5) Al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an karangan Imam al-Qurthubiy (671 H)
 e. Kitab dan mufassir di kalangan Mazhab Hanbali Â
1) Ayat al-Ahkam, karangan Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn al-Farra' (458 H)
2) Tafsir Ayat al-Ahkam karangan Syamsuddin Muhammad ibn Abu Bakar al-Dimasyqiy yang dikenal dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah
3) Ihkam al-Ra'y min Ahkam al-Ala' yang ditulis oleh Syamsuddin Muhammad ibn Abdul Rahman ibn al-Dhayi'.[10]
Di samping itu, juga terdapat kitab tafsir fikih yang tidak terkontaminasi dengan fanatisme mazhab namun berupaya melakukan perbandingan pendapat antara ulama mazhab fikih serta mentarjih-nya. Di antaranya:
a. Nail al-Maram fi Tafsir Ayat al-Ahkam karangan Muhammad al-Shadiq Hasan Khan al-Qanujiy (1347 H)
 b. Kitab Alfutuhat al-Rabbaniyah karangan Muhammad Abdul Aziz (1932 M)
 c. Tafsir al- Ayat al-Ahkam karangan Muhammad Ali al-Sayis (1976 M)
d. Rawai' al-Bayan fi Tafsir al-Ayat al-Ahkam karangan Muhammad Ali Al-Shabuniy.
e. Tafsir Ayat Al-Ahkam karangan Manna' Khalil al-Qathan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H