Â
- Mengutamakan tafsir ayat-ayat yang mengandung hukum fikih[7] Para mufassir memberikan perhatian besar terhadap ayat yang berbicara tentang hukum fikih mufassir fikih yang menafsirkan Al-Qur'an secara utuh memberikan penafsiran yang panjang dan rinci ketika bertemu dengan ayat-ayat fikih. Seperti yang dilakukan oleh Imam Al-qurthubiy dalam tafsirnya Jami' li al-Ahkam Al-Qur'an. Ketika menafsirkan surat Al-Maidah ayat tiga tetang makanan yang diharamkan beliau membaginya menjadi dua puluh enam sub pembahasan,. Sedangkan bagi mufassir fikih yang tidak menafsirkan Al-Qur'an secara utuh, perhatian mereka lebih terlihat dengan menafsirkan ayat-ayat yang bernuansa fikih semata dan tidak membahas selain ayat-ayat fikih.
- Mufassir berupaya maksimal meng-istinbath-kan hukum syar'i dari ayat Al-Qur'an. Karakteristik mendasar dari tafsir fikih adalah mufassir berusaha menformulasikan hukum fikih dari ayat yang dibahas, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ali al-shabuniy dalam tafsirnya Rawa'i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min Al-Qur'an. Formulasi hukum bahkan sudah terlihat dari tema-tema yang diberikan kepada satu atau sekelompok ayat. Seperti tema, ta'addud al-zaujat terhadap empat ayat pertama surat Al-Nisa'. Dalam setiap menafsirkan ayat, setelah menjelaskan analisa lafaz, makna secara umum, dan asbab al-nuzul, pada bagian akhir beliau menjelaskan tema al-ahkam al-syar'iyyah. Pada bagian tersebut, ia menjelaskan berbagai hukum-hukum yang dapat disimpulkan dari ayat yang sedang dibahas. Dengan demikian, para mufassir dalam penafsirannya tidak hanya berperan sebagai mufassir, tetapi langsung memerankan diri sebagai seorang mujtahid fikih.
- Banyak menggunakan manhaj fikih dalam penafsiran Al-Qur'an. Mayoritas mufassir fikih merupakan seorang mujtahid. Konsekuensinya, manhaj fikih dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan banyak digunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an, seperti manhaj fikih tentang manthuq dan mafhum, 'am dan khash, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, kehujjahan khabar ahad, dan metode-metode fikih lainnya. Al-Jashshas, dalam tafsinya Ahkam Al-Qur'an menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 232, menyimpulkan bahwa seorang gadis boleh menikah tanpa wali atau tanpa izin wali. Kesimpulan ini dipengaruhi oleh manhaj mazhab Hanafi tentang kehujjahan hadis ahad. Demikian juga dalam penafsiran QS. Al-Baqarah [2]:180 tentang wasiat untuk orang tua dan karib kerabat. Sebagian mufassir fikih mengatakan bahwa tidak ada lagi wasiat bagi orang tua dan karib kerabat, karna QS. Al-baqarah [2]: 180 dinilai sudah di-nasakh-kan oleh ayat-ayat waris. Sebagian mufassir tetap boleh wasiat karena mereka tidak menganggap ayat tersebut dinas
- Perbedaan tafsir fikih sejalan dengan perbedaan metode fikih dan ushul fikih yang dipilih oleh mufassir. Perbedaan tafsir fikih yang terdapat di dalam kitab-kitab tafsir fikih sangat dipengaruhi oleh perbedaan metode fikih yang digunakan para mufassir dalam masing-masing mazhabnya. Seperti perbedaan penafsiran terhadap firman Allah Swt Surat al-A'raf ayat 204 tentang kewajiban mendengar dan diam pada saat mendengar bacaan Al-Qur'an Dalam menafsirkan ayat ini, mufassir berbeda dalam menyimpulkan hukum makmum membaca bacaan shalat di saat imam membaca al-fatihah dan ayat. Al-Jashshash dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makmum wajib mendegar bacaan imam dan diam, tidak membaca Al-fatihah dan ayat. Hal ini sejalan dengan mazhab Hanafi yang berpendapat makmum tidak wajib membaca bacaan di belakang imam.[8] Imam al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makmum wajib membaca surat Al-fatihah. Hal ini sejalan dengan mazhab Syafi'i. Beliau beralasan bahwa ayat tersebut ditakhshish oleh sabda Rasulullah SAW, "tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Al-fatihah. Perbedaaan ini terjadi akibat perbedaan manhaj fikih, khususnya tentang kebolehan khabar ahad dalam men-takhshish ayat yang bersifat umum. Hasilnya, apabila seorang mufassir yang juga sekaligus ahli fikih berpendapat tentang kehujjahan adalah Al-Qur'an, khabar ahad dan ijma', maka kesimpulan penafsirannya akan berbeda dengan mufassir yang secara fikih tidak sependapat dengan kehujjahan adalah Al-Qur'an, khabar ahad dan ijma'.
- Kitab dan Tokoh Tafsir
Â
Dibanding corak tafsir lainnya, tafsir fikih memiliki banyak mufassir dan warisan kitab lebih banyak. Mufassir dan kitab tafsir fikih terbagi dalam polarisasi mazhab fikih yang berkembang, terutama pada abad pertengahan.
 Di antara kitab dan tokoh tafsir fikih adalah:
 a. Kitab dan mufassir di kalangan Mazhab Fikih Imamiah[9]
 1) Ahkam al-Qur'an, karangan al-Rawandi (573 H)
 2) Zabdatul Bayan fi Ahkam Al-Qur'an, karangan Al-Muqaddas al-Ardabiliy (993 H)
 3) Kanzul 'Irfan fi Fiqh al-Qur'an, karangan Fadhil al-Miqdad al-Suyuriy
 4) Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Sayyid Muhammad ibn Husai al-Tahaba'thaba'iy (1386 H)
 5) Tafsir Syahiy, karangan Sayyid Amir abu al-Futuh al-Husainiy al-Jurjani (976 H)
 6) Masalik al-Afham ila Ayat al-Ahkam, karangan Jawad al-Kazhimiy