(Dimuat dalam buku kumpulan cerpen"Soejinah")
Baiklah, baru saja aku berkenalan dengan seorang perempuan. Sebentar! Aku lupa darimana harus menceritakannya. Ah, suara kipas angin di belakang pundakku membuat pendengaranku tak nyaman.
Satu hari kemudian,
        Ketika semua suara senyap, dan ketika semua orang berhenti bernyanyi, aku selalu membuat keinginan. Aku ingat semuanya, untuk hal yang sama setiap kali. Jika aku hidup sampai beberapa tahun lagi. Ah, khalayalku berpacu dengan lagu-lagu yang tidak pernah berakhir di telingaku.Â
        Seperti semalam, aku berdoa kepada Tuhan, tepat sebelum aku pergi tidur, namun sekarang aku tidak ingat lagi pada sebuah kata tunggal yang kuucapkan. Jika saja aku mendapatkan kata itu melalui ingatanku, mungkin aku tidak akan menjadi seekor bintang yang limbung dengan cahaya yang kian meredup.
        Jika sudah seperti itu, selanjutnya aku menutup mata, melintas dalam ruang pikiran seorang perempuan, aku merasa ia juga merasakan hal yang sama. Aku berharap ia pun menutup matanya, dan saat bersamaan, aku bermain dalam khayalnya.
Sehari sebelumnya,
"Pagi." sapaku melalui surel.
        Keadaan ruang Dosen masih sangat sepi. Mungkin kehadiranku terlalu pagi. Mahasiswa/i-ku pun belum datang. Hari itu aku harus kembali mengulang semua rutinitasku, seperti hari-hari sebelumnya. Ah, kesibukan memang membosankan. Aku pernah membicarakan ini dengan Prof. Hilda, Kepala Program Studi, kami sedikit berdebat tentang rutinitas.
         Namun aku harus mengalah, sebab kupikir tanpa rutinitas kita tidak akan mempunyai nafkah. Jadi, ya aku harus mengalah. Apa yang dikatakan Prof. Hilda memang benar, untuk dapat bertahan hidup, kita perlu makan, dan untuk mendapatkan makanan, kita perlu uang, maka sampailah kita pada analogi hidup, 'kerja' untuk mendapatkan uang.
          Kembali kubuka surel. Ah, ia tak juga membalas sapaku. Kemudian aku segera beranjak dari kursi, namun baru saja aku hendak beranjak, Pak Imam datang, ia Dosen Ekonomi di kampus tempat aku mengajar. Dengan kencang ia meletakkan koran yang habis dibacanya. Ia mengeluhkan tentang semakin merosotnya rupiah.
"Bagaimana dengan pemerintahan ini, Pak If? rupiah semakin terperosok saja. Bisa-bisa dollar menembus sampai seratus ribu." keluhnya.
"Ya, mau bagaimana lagi, Pak. Memang sudah begini keadaannya." balasku, kembali duduk menanggapi obrolan pagi Pak Imam."
        Seandainya dia tahu, bahwa aku sama sekali tidak peduli dengan keadaan Negara ini, mungkin dia akan bosan mengobrol denganku. Jika sudah seperti itu, aku ingat sahabatku. Gerimis, aku memanggilnya. Beliau salah seorang penulis hebat yang aku kenal.
        Dulu kami satu komunitas penulis di Jakarta. Akantetapi aku tak melanjutkan aktifitas itu lagi, sebab aku terlalu sibuk dengan rutinitasku. Jadi lama sangat aku tak bersua dengannya.
        Ah, aku jadi terbahak, sebab ia telah kubuat kesal dengan sindiran melalui status yang kutulis disalah satu media sosial. Akantetapi bukan Gerimis namanya jika ia tak kuat mental. Gerimis selalu saja kontra dengan ketidakadilan di Negara ini. Terutama janji-janji palsu para pejabat kepada rakyat. Baginya siapa saja pemerintah yang tidak becus mengurus Negara ini, tidak akan luput dari komentar-komentarnya yang terlahir dari kejeniusan buah pikirnya. Ah Gerimis, kau membuatku miris.
         ***
"Assalamu'alaikum!" seruku memasuki ruang 101.
"Wa'alaikum salam, Pak." jawab mahasiswa/i.
"Baiklah, hari ini kita akan membahas penguasaan bahasa!"
        Penguasaan Bahasa.  Aku ingat, ilmu ini kuperoleh dari seorang dosen saat aku masih menempuh S2. Dr. Mirna, beliau bergelar Phd. Lulusan sastra disalah satu Universitas di London. Sayangnya beliau telah wafat. Namun bagiku beliau berjasa besar.
        Kami memang dekat, bahkan kami tak kunjung reda berdebat tentang Linguistik. Suatu hari, pernah aku dibuatnya jenuh, padahal sudah dari lima jam sebelumnya kuliah sudah selesai. Akantetapi kami melanjutkan pembahasan itu di ruangan beliau.
"Jadi, ada dua langkah untuk pembelajar menguasai bahasa target. If. Kau harus paham itu!" serunya.
"Krashen dan Terrell mengemukakan bahwa bahasa target adalah bahasa yang dikuasai (dipelajari) oleh pembelajar, baik disadari maupun tidak disadari. Kedua cara itu adalah pembelajaran (learning) dan pemerolehan (acquisition).
        Pada tahun 2002 seorang ahli Linguistik berasal dari Negara kita, Suwarno menyatakan, bahwa pembelajaran merupakan usaha disadari untuk menguasai kaidah-kaidah kebahasaan (about the language atau language usage), languge learning is knowing about language, or formal knowledge of a language.
        Belajar bahasa dilakukan secara formal dalam setting yang formal pula, misalnya pembelajaran bahasa dalam kelas. Namun demikian belajar bahasa secara formal tidak harus dilakukan dalam suatu tempat yang dibatasi oleh ruang, atau tidak harus dilakukan dalam kelas.
        Kegiatan belajar dimanapun asalkan proses belajar itu diarahkan pada penguasaan kaidah kebahasaan secara disadari, maka proses itu disebut pembelajaran. Jadi, pemerolehan adalah penguasaan bahasa secara tidak disadari (implisit), informal atau alamiah." urainya, membuat otakku pusing.
"Pada tiga tahun berikutnya, tepatnya tahun 2005 dalam bukunya Dardjowidjojo mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisi bahasa (language acquisition), yaitu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibu (native language), If!" lanjutnya.
 "Jadi, menurut Dardjowidjojo, bahasa ibu adalah bahasa yang digunakan oleh orang dewasa pada saat berbicara dengan anak yang dalam masa memperoleh bahasa ibu." aku menyelak.
"Tepat!" serunya dengan penuh semangat.
         Ah, Dr. Mirna membuatku mumet sekaligus bangga. Ya aku bangga pernah menjadi muridnya. Rasanya ia tak pernah hilang dari pikiranku. Apalagi ketika aku tengah mengajar.
          Delapan jam kemudian, sebelum pulang dari kampus aku sempat membuka surel, akantetapi ia tak juga membalas. Ah, ia membuatku penasaran. Hingga pada saat pukul sepuluh malam, ketika tepat aku mebuka surel lagi, ia membalas.
"Malam." sapanya.
"Sudah sejak pagi aku menunggu balasanmu." jawabku sedikit kesal.
"Maaf, seharian ini aku sibuk. Banyak email yang belum kubalas juga." Ah, ia membuatku merasa diutamakan. Padahal kami belum saja berkenalan.
"Aku rehat duluan ya, bye!" lanjutnya. [ ]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI