"Bagaimana dengan pemerintahan ini, Pak If? rupiah semakin terperosok saja. Bisa-bisa dollar menembus sampai seratus ribu." keluhnya.
"Ya, mau bagaimana lagi, Pak. Memang sudah begini keadaannya." balasku, kembali duduk menanggapi obrolan pagi Pak Imam."
        Seandainya dia tahu, bahwa aku sama sekali tidak peduli dengan keadaan Negara ini, mungkin dia akan bosan mengobrol denganku. Jika sudah seperti itu, aku ingat sahabatku. Gerimis, aku memanggilnya. Beliau salah seorang penulis hebat yang aku kenal.
        Dulu kami satu komunitas penulis di Jakarta. Akantetapi aku tak melanjutkan aktifitas itu lagi, sebab aku terlalu sibuk dengan rutinitasku. Jadi lama sangat aku tak bersua dengannya.
        Ah, aku jadi terbahak, sebab ia telah kubuat kesal dengan sindiran melalui status yang kutulis disalah satu media sosial. Akantetapi bukan Gerimis namanya jika ia tak kuat mental. Gerimis selalu saja kontra dengan ketidakadilan di Negara ini. Terutama janji-janji palsu para pejabat kepada rakyat. Baginya siapa saja pemerintah yang tidak becus mengurus Negara ini, tidak akan luput dari komentar-komentarnya yang terlahir dari kejeniusan buah pikirnya. Ah Gerimis, kau membuatku miris.
         ***
"Assalamu'alaikum!" seruku memasuki ruang 101.
"Wa'alaikum salam, Pak." jawab mahasiswa/i.
"Baiklah, hari ini kita akan membahas penguasaan bahasa!"
        Penguasaan Bahasa.  Aku ingat, ilmu ini kuperoleh dari seorang dosen saat aku masih menempuh S2. Dr. Mirna, beliau bergelar Phd. Lulusan sastra disalah satu Universitas di London. Sayangnya beliau telah wafat. Namun bagiku beliau berjasa besar.
        Kami memang dekat, bahkan kami tak kunjung reda berdebat tentang Linguistik. Suatu hari, pernah aku dibuatnya jenuh, padahal sudah dari lima jam sebelumnya kuliah sudah selesai. Akantetapi kami melanjutkan pembahasan itu di ruangan beliau.