***
Sembilan bulan kemudian, rumah kami kedatangan seorang wanita mungil cantik. Syanda lahir, ia adikku. Matanya biru, sebiru batu safir di kalung Ibu. Kulitnya putih, seputih kapas yang biasa Ibu pakai untuk mengelap riasan di wajahnya.
Setelah Syanda berumur tiga tahun, Ibu mengajakku ke sebuah tempat pemakaman. Saat itu usiaku 15 tahun. Aku mengikuti langkah Ibu dari belakang. Sementara Ibu, sambil menggendong Syanda, ia telusuri jejak setapak pohon kamboja yang membuat alur perjalanan menuju sebuah makam. Hingga berhentilah kami di sebuah makam berpapan nisan Randa Syah bin Suhanda.
"Makam siapakah ini, Ibu?" tanyaku heran.
"Bukankah dahulu kau ingin mengetahui, mengapa Ibu tak pernah dapat menentang Bapakmu." jawabnya.
"Jadi, apa maksud Ibu?"
"Kejadian saat itu, Ibu yang salah."
Aku terperangah mendengarnya. Ibu bercerita, bahwa sikap Bapak terhadap Ibu waktu itu, dikarenakan orang ketiga. Om Randa, penyebabnya. Bapak memergoki pesan-pesan cinta dalam sebuah email milik Ibu. Sebab itulah Bapak memaki Ibu habis-habisan.
Ibu bercerita, bahwa ia sangat mencintai Om Randa. Ia sangat menyayangi Om Randa. Om Randa adalah lelaki terbaik, yang pernah menjaganya. Ia selalu menghormati Ibu. Tidak seperti Bapak dan emosinya.
Sejak dahulu pacaran dengan Bapak, Ibu memang selalu menjadi pelampisan sifat tempramentalnya. Bapak sangat tidak menghargai seorang perempuan yang menjadi istrinya. Sejak menikah dengan Bapak, harga diri Ibu selalu diinjak-injak. Ibu seakan kehilangan hidupnya, sebab harga dirinya sebagai seorang perempuan dan istri, telah hilang.
Tapi keadaan Ibu berubah sejak mengenal Om Randa. Ibu selalu bisa tersenyum, bahkan menyanyi. Seakan Ibu mendapatkan sayapnya yang hilang. Aku kerap memperhatikannya, apalagi kala ia bersenandung menyanyikan lagu-lagu Julius Sitanggang. Ibu sangat bersemangat hidup. Di papan nisan itu, kubaca sebait puisi yang terukir, ‘Aku adalah mata biru, sebuah rahasia tentang perjalanan cinta’.