Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mata Biru

18 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 18 Maret 2020   00:03 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mau menyiapkan sarapan, Sayang."

Senyum Ibu membuatku sedih. Padahal semalam Bapak habis-habisan memaki Ibu. Tapi Ibu tetap saja masih melayaninya. Ibu bagai seorang budak milik Bapak.

Semalam adalah makian Bapak yang terkeji terhadap Ibu. Sering kudengar Bapak memaki Ibu hanya karena hal-hal sepele. Tapi anehnya Ibu tak pernah menentang sedikit pun. Ibu hanya mengangguk, dan selalu berkata ‘iya’.

Suatu siang aku pernah menanyakan kepada Ibu. Mengapa Ibu tak pernah menentang perlakuan Bapak terhadapnya. Tapi Ibu selalu senyum menjawab. Sesekali ia pernah berkata, suatu hari kau akan mengerti, Sukma. Ah, rasanya aku ingin cepat-cepat mencapai hari itu, hari yang Ibu katakan itu.                                                                                      

***

"Ibu, sedang menggoreng nasinya, Pak." ujarku, pagi berikutnya.

Cuaca pagi berikutnya masih sama, hujan deras sekali. Namun kali itu petir mengiringi. Sejak kejadian kemarin malam Bapak tak bertanya sepatah kata pun pada Ibu. Begitu pun Ibu. Aku-lah yang menjadi perantara mereka di rumah.

"Ibu, belum bersapa dengan Bapak?" ujarku polos.

Ibu hanya tersenyum, dengan setitik sisa air matanya. Aku tahu, sejak kemarin Ibu tak berhenti menangis. Aku tahu, sejak aku bisa bicara, Ibu selalu menangis di dalam kamar mandi. Ibu menyamarkan tangisannya dengan kucuran air keran.

Usai menyiapkan sarapan di meja makan untuk Bapak. Ibu segera mengambil ember dan kain lap. Sama seperti pagi kemarin, Ibu mengepel seluruh lantai rumah kami. Dan aku pun masih tetap sama dengan kemarin, berdiri terpaku mamandang beribu bulir peluh dari dahi Ibu.

"Sudah, Pak." mataku memandangi wajahnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun