Mohon tunggu...
I. F. Donne
I. F. Donne Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis adalah seorang Magister Pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis pernah aktif di berbagai komunitas sastra di Jakarta. Beberapa diantaranya; Sastra Reboan, Kedailalang, dan KPSI (Komunitas Pecinta Seni dan Sastra Indonesia). Karya-karyanya diantaranya; Novel ‘Danau Bulan’, Serampai Cerpen Vol. I ‘Soejinah’ dan ‘Dunia Luka’ Vol. II. Antologi puisi bersama sastrawan-sastrawati. Diantaranya; antologi puisi Empat Amanat Hujan (Bunga Rampai Puisi Komunitas Sastra DKJ), Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Fiksi Mini, dan beberapa puisinya juga dimuat di majalah Story. Penulis juga sudah memiliki dua buku antologi cerpen bersama beberapa penulis, yaitu Si Murai dan Orang Gila (Bunga Rampai Cerpen Komunitas Sastra DKJ) dan Kerlip Puisi Gebyar Cerpen Detak Nadi Sastra Reboan. Beberapa cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat nasional, diantaranya berjudul, Sepuluh Jam mendapatkan juara 2 di LMCPN (Lomba Menulis Cerpen Pencinta Novel), Randu & Kematian pada tahun 2011 dan Selongsong Waktu pada tahun 2013 mendapatkan juara harapan kategori C di Lomba Menulis Cerpen Rotho - Mentholatum Golden Award. Penulis juga aktif di berberapa organisasi kemasyarakatan, seni dan budaya. Aktifitas yang dijalani penulis saat ini adalah seorang jurnalis di salah satu surat kabar online nasional di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mata Biru

18 Maret 2020   00:00 Diperbarui: 18 Maret 2020   00:03 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Soejinah")

"Ibu, sedang menanak nasinya, Pak." mataku tak berkedip menyimak merah wajahnya.

Pagi itu hujan lebat. Rasanya air hujan setetes demi setetes masuk ke dalam rumah melalui lubang-lubang kecil di asbes rumah kami. Padahal aku tahu, tak ada satu lubangpun di asbes rumah kami.

"Sukma, diamlah di atas bangku." Ibu tak ingin kakiku menginjak lantai yang sedang di pelnya.

"Sukma, mana nasinya?" teriak Bapak.

Tak kuindahkan teriakan Bapak. Aku terpaku pada wajah pucat Ibu.

"Ibu sakit?" ujarku.

Ibu hanya menoleh, ia tersenyum padaku sambil memeras kain lap basah ke ember hitam kecil.

"Sukma." teriak Bapak lagi.

Mendengar teriakan Bapak yang kedua, Ibu segera bangkit dari jongkoknya. Seandainya Bapakku dapat menghargai seorang istri, mungkin Ibu tak kan pernah mendapati kehidupan yang sangat tak manusiawi ini.

"Ibu mau kemana?" tanyaku, gusar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun