Mengembalikan cita Hukum menuju keadilan yang sejati, yakni mensejahterakan masyarakat atau setidak- tidaknya mengurangi ketidakmerataan.Â
Nelayan wilayah pesisir sering kali tidak mendapatkan perlindungan hak tenurial yang layak. Karena akar konflik pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perikanan terjadi karena tiadanya perlindunganÂ
UU 7/2016 seharusnya menjamin perlindungan nelayan dengan pemberian hak akses dan ruangÂ
Dalam Cita-cita UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok AgrariaÂ
dengan cita-cita Pasal 33 UUD 1945, yang populer dengan sebutan Hukum agraria dalam artian luas, Namun disadari bila cita-cita UUPA "belum" terakomodasi oleh UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA,Â
Seharusnya  istilah agraria merujuk pada objek pengaturan yang lebih luas, yakni segala sesuatu yang meliputi/berkenaan dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.Â
ketidakpastian hukum dalam penguasaan tanah yang memberikan dis insentif bagi dunia usaha, kompartementalissi kebijakan di bidang agraria (pertanahan, kehutanan, pertambanagn, pertanian, tata ruang, sumberdaya air, kelautan dan pesisir).Â
Fakta hukum penguasaan tanah dihadapkan pada persoalan, "bukan kisah kaya yang kian kaya dan kaum miskin yang makin miskin, tetapi kaum kaya yang menjadi kaya lebih cepat dari pada kaum miskin". Semua terjadi akibat belum meratanyaÂ
masyarakat menikmati hasil pembangunan satu diantaranya adalah masyarakat Hukum adat  di wilayah pesisir pantaiÂ
Dalam hal ini terjadinya konflik Penemuan HGB 656 hektare di laut SidoarjoÂ
Bahkan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tertuang dalam Perda Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023 menetapkan area laut Sidoarjo termasuk dalam zonasi perikanan.Â
Konflik ini akan berdampak pada hak-hak tenurial nelayan, termasuk akses wilayah, tata kelola, perlindungan hukum, serta kepastian ekonomi dan sosial. Di sisi lain, nilai-nilai tenurial nelayan juga ditopang oleh kepentingan kolektif masyarakat untuk memanfaatkan dan menjaga ekosistem laut, produktivitas berkelanjutan dalam pemanfaatan pesisir, serta sistem kepercayaan, adat istiadat, dan budaya yang mendorong pelestarian laut.Â
Semua elemen ini pada akhirnya menentukan kesejahteraan masyarakat nelayan di kabapaten Sidoarjo.
Disamping itu kami menyayangkan kedepan agar tidak terjadi Perubahan iklim dan ekosistem laut serta memperparah degradasi lingkungan perairan laut segoro tambak Sedati Sidoarjo.Â
Dari Temuan itu memberikan bukti kuat bahwa kawasan tersebut merupakan bagian penting dari ekosistem pesisir dan laut yang seharusnya dikelola secara baik dan benar.Â
Kehadiran HGB ini semakin memperburuk kondisi kawasan pesisir dan laut di SidoarjoÂ
HGB tidak dapat diterbitkan di atas laut maupun perairanÂ
Hak Guna Bangunan seharusnya di tanah bukan di air . Hal ini sudah melanggar Hukum.Â
Jika ada  HGB di  laut maka cacat administrasi dan cacat substansi otomatis cacat yuridis.Â
Seharusnyapemerintah melakukan upaya diantaranya.
1. Tanggap garcep melakukan upaya pembatalan, jangan hanya kemudian nunggu viral dan menjadi perbincangan publik.
2.Proses Hukum bagi pelaku pemohon dan penerbitan SHGB di daerah Peraian laut .
3.Diperlukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola tenurial perikanan skala kecil melalui tiga aspek utama:Â
percepatan legalisasi hak atas tanah pemukiman nelayan dan pengakuan wilayah tangkap di peraian.
Penegakan Hukum yang tegas terhadap praktek proyek  pembangunan di wilayah pesisir peraian .Â
Berikan kompensasi yang adil bagi nelayan Yang terdampak iklim akibat pembangunan proyek , karna menimbulakan keresahan di masyarakat pesisir.
Pemerintah dan pejabat setempat  harus tegas dalam masalah ini, Segera  mengambil tindakan yang konkret .Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI