PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang dibangun berdasarkan keragaman masyarakat yang ada di dalamnya. Keragaman itulah yang kemudian dijadikan semboyan atas adanya komitmen untuk selalu hidup bersama dalam pluralitas.Â
Semboyan Bhineka Tunggal Ika kemudian diabadikan dalam falsafah bangsa, berbeda-beda tetapi tetap satu Indonesia. Namun dalam perjalanan waktu Indonesia menjadi negeri dengan tingkat krisis moralitas yang mencapai 4,1% (Dihni, 2022). Krisis moralitas yang cukup mengkhawatirkan tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh lingkungan dimana siswa berinteraksi.Â
Hal yang paling menonjol dalam krisis moralitas siswa masa kini adalah terkait penggunaan bahasa yang kasar, kurangnya sopan santun pada orang yang lebih tua, bullying, dan minimnya pengamalan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Bila merujuk identitas manusia Indonesia yang beragam seyogyanya jiwa dan hasrat sosial yang tinggi itu tidak pernah luntur. Apalagi manusia Indonesia memiliki falsafah dan pedoman hidup yang dicita-citakan bangsa yang luhur yakni Pancasila.Â
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultur, pendidikan berperan penting dalam membangun paradigma berpikir, bersikap, dan berperilaku sebagai bangsa Indonesia. Pendidikan adalah proses untuk melestarikan keragaman yang menjadi praksis hidup bersama, saling peduli, mengasihi, menghargai dan bukan saling mengalahkan dalam semangat kompetisi. Pendidikan dirancang untuk membangun kehidupan bersama atas kesadaran akan realitas keragaman dan saling membutuhkan.
Maka lahirlah Pendidikan yang berasaskan pada nilai-nilai luhur budaya bangsa yang berpedoman pada Pancasila dan berkebhinekaan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia hendaknya dalam proses pembelajaran memuat pendidikan karakter yang diimplementasikan secara optimal sebagai upaya preventif dalam menghadapi krisis moral yang terjadi terutama di sekolah.Â
Guru harus mampu mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran, ekstra kurikuler dan budaya sekolah agar kedepannya menjadi cikal bakal generasi emas Indonesia. Dengan demikian, artikel ini akan menunjukkan tentang internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui budaya sekolah.
PEMBAHASAN
Problematika Krisis Moral
Fenomena kehidupan saat ini sangatlah kompleks dan perlu dicermati salah satunya adalah fenomena krisis moral. Perkembangan zaman dan teknologi yang makin maju disertai keanekaragaman budaya bangsa yang multikultur mampu mempengaruhi moral dan perilaku masyarakat. Siswa menjadi subyek yang rentan mengalami krisis moral, sebagai representasi remaja yang menekankan sikap egoisme dan labil tentu mudah dipengaruhi dan mengalami degradasi moral.
Adapun hal-hal yang mempengaruhi krisis moral hingga mencapai 4,1% adalah faktor eksternal yakni budaya luar yang dijembatani oleh perkembangan media digital.Â
Kekhawatiran lainnya adalah dari faktor internal yakni masyarakat itu sendiri. Faktor internal tersebut yaitu budaya yang terus mengalami perubahan seiring perkembangan waktu. Perubahan yang terjadi tidak menutup kemungkinan menyebabkan kekacauan seperti cara berpakaian, berbicara, dan tradisi yang jauh akan kepribadian bangsa
Dalam konteks agama krisis moral terjadi dimana remaja masa kini mulai kehilangan takaran iman seperti pergaulan antara anak laki-laki dan anak perempuan yang melewati batas. Media digital pun mempengaruhi gaya hidup dan penggunaan bahasa remaja. Sedangkan dalam konteks sekolah tentu memiliki konsekuensi dan tantangan yang makin berat terkait tuntutan masyarakat akan kualitas dan pelayanan yang seharusnya diberikan.Â
Krisis moral saat ini yang berkembang adalah terkait penggunaan bahasa umpatan seperti "cuk, njing, danjuk", perilaku bullying, dan rendahnya sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Kendati demikian kekacauan yang terjadi tentu menghasilkan sebuah keteraturan, dan sekolah menjadi arena dalam mengubah kondisi tersebut melalui budaya sekolah.
Budaya Sekolah
Budaya sekolah merupakan sekumpulan norma, nilai dan keyakinan, ritual dan upacara, simbol dan cerita yang membentuk potret sekolah (Efianingrum, 2013). Budaya sekolah dan seluruh elemennya memiliki peran simbolik dalam membentuk kultur praktik pembelajaran. Budaya sekolah berperan dalam menentukan pencapaian prestasi siswa baik akademik maupun non-akademik sesuai karakteristik dan potensi.Â
Budaya sekolah kentara dengan tradisi yang kompleks, dimana melibatkan hubungan orang tua dalam menangani krisis maupun prestasi anaknya. Maka, budaya berdampak pada cara berpikir dan bertindak sehingga tanda, simbol, nilai, dan norma makin memperkuat komitmen serta kebersamaan. Budaya sekolah merupakan bagian dari budaya yang ada di masyarakat tentu tidak abai dalam mengaplikasikannya di sekolah.
Sekolah yang ada di Indonesia merupakan sekolah yang memiliki siswa beragam, meskipun sistem zonasi diterapkan tetapi latar belakang siswa menjadi acuan keberagaman tersebut. Latar belakang siswa meliputi etnik, kultural, status sosial, minat, kognitif, sosial emosional, kemampuan awal, gaya belajar, motivasi, moral, dan motorik.Â
Bertumpu pada latar belakang yang beragam maka diperlukan pendidikan multikultural sebagai konsep pendidikan yang memberikan kesempatan sama kepada semua siswa di sekolah tanpa memandang gender, kelas sosial, kelompok etnik, ras, karakteristik kultural mereka (Astuti, 2020).
Implementasi nilai-nilai multikultural terhimpun dalam budaya sekolah melalui kegiatan pembelajaran baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler antara lain:
- Kegiatan Intrakurikuler
- Guru ketika mengajar tidak hanya terfokus pada penyampaian materi esensial semata melainkan menanamkan nilai-nilai Pendidikan karakter kepada siswa melalui kegiatan diskusi, kolaborasi, mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain. Guru juga berperan dalam membina dan menumbuhkan kepedulian siswa terhadap lingkungan alam maupun sosialnya.
- Kokurikuler
- Siswa melakukan outingclass melalui program study tour atau projek lapangan dari beberapa mata pelajaran yang diperoleh di kelas agar menumbuhkan sikap kritis disesuikan dengan gaya belajar siswa.
- Kegiatan Ekstrakurikuler
- Sekolah mewadahi minat dan bakat siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler tujuannya untuk menumbuhkan karakter, kreativitas, tanggungjawab, disiplin, dan sikap mandiri pada siswa.
- Kegiatan Non-Kurikuler
- Kegiatan non-kurikuler sebagaimana manifestasi penghayatan nilai-nilai Pancasila untuk menguatkan identitas manusia Indonesia melalui berbagai program yang terselenggara di sekolah. Ketika pada proses pembelajaran masing-masing guru akan mengawali kegiatan belajar mengajar dengan berdoa sesuai dengan kepercayaan masing-masing siswa. Habitus atau kebiasaan budaya 5S yakni senyum, salam, sapa, sopan, dan santun kepada seluruh elemen warga sekolah. Mengikuti upacara peringatan hari besar bangsa Indonesia. Kemudian implementasi Profil Pelajar Pancasila yakni siswa mengikuti kegiatan ibadah yang dilakukan di sekolah seperti mengikuti sholat berjamaah bagi yang Islam dan mengikuti ibadah bagi non-Islam.
Nilai-Nilai Pancasila dan Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila menjadi landasan falsafah bangsa. Nilai Pancasila merupakan pedoman hidup karena berakar pada kepribadian bangsa Indonesia.Â
Pancasila memiliki sederet nilai luhur yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan yang bersifat universal dan obyektif artinya nilai-nilai tersebut dapat digunakan dan diakui oleh negara lain. Pancasila bersifat subjektif, artinya nilai-nilai Pancasila merupakan pengemban dan pendukung nilai-nilai Pancasila itu sendiri, yaitu masyarakat dan negara Indonesia (Azlina et al, 2021).Â
Nilai luhur Pancasila untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga generasi bangsa mampu menghayati dan membentuk jati diri dalam mengembangkan jiwa patriotism, mempertebal rasa nasionalisme, semangat kebangsaan, kesetiakawanan, toleran, serta tidak lupa akan sejarah bangsa.
Sekolah berperan sebagai pusat penghayatan nilai-nilai Pancasila serta pembentukan jati diri kultural melalui penanaman karakter. Penanaman karakter di lingkungan sekolah sesuai profil pelajar Pancasila selaras pada tahap perkembangan siswa.Â
Tahap perkembangan siswa penting sebagai acuan proses pembelajaran yang berhubungan dengan kodrat alam yakni lingkungan di mana anak berada dan kodrat zaman berkaitan dengan pendidikan saat ini yang menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21.
Agar siswa mencapai internalisasi profil pelajar Pancasila sesuai dengan kodratnya maka siswa memerlukan peran guru sebagai pembimbing dalam mengontrol perilakunya.Â
Melalui berkebhinekaan global siswa dapat mempertahankan budaya luhur dengan memakai atribut atau seragam batik sebagai bentuk kearifan lokal yang khas tumbuh berkembang di daerah. Sedangkan simbol yang disematkan dalam kelas berupa lambang garuda, mading yang berisi nilai-nilai Pancasila, dan tata tertib sekolah.
Penanaman nilai karakter di sekolah adalah melalui pendidikan karakter yang bertumpu pada pembentukan kepribadian seseorang melalui budi pekerti (Thomas  Lickona  dalam Dewi, 2021). Hasil dari budi pekerti terlihat dalam tindakan nyata yaitu perilaku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, dan kerja keras.Â
Budi pekerti harus diinternalisasi dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga. Pasalnya proses internalisasi tidak hanya sebagai proses penerimaan semata melainkan sebagai upaya revitalisasi jati diri bangsa dan warisan sosial yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Khasri, 2021; Rusdiana, 2021).
Pelaksanaan profil pelajar Pancasila dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Dengan demikian pendidikan karakter menjadi sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu,  tekad,  serta  adanya  kemauan  dan tindakan  untuk  melaksanakan  nlai-nilai, baik  terhadap  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun  bangsa (Dewi, 2021)
Internalisasi nilai-nilai Pancasila terintegrasi dengan dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yakni pendidikan merupakan proses yang menuntun. Tuntunan tercermin dalam tujuan pendidikan yang mengarah pada pendampingan anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam proses penyempurnaan ketertiban perilakunya (Musanna, 2017). Pada proses menuntun, anak diberi kebebasan dan guru sebagai pamong memberi arahan agar tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.Â
Pamong dapat memberikan 'tuntunan' agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Pamong atau pemimpin dalam hal ini adalah guru diwajibkan bersikap Ing Ngarso Sung Tulodo artinya guru berada di depan memberi teladan; Ing Madyo Mangun Karso artinya guru selalu berada di tengah dan terus memotivasi, dan Tut Wuri Handayani artinya guru selalu mendukung dan mendorong siswa untuk maju. Oleh sebab itu, pendidikan menjadi tujuan dalam menuntun anak untuk menebalkan garis samar-samar agar dapat memperbaiki perilaku untuk menjadi manusia seutuhnya.
PENUTUP
Internalisasi nilai-nilai Pancasila merupakan aspek yang urgen dalam mengatasi masalah krisis moral. Maka dalam pelaksanaannya internalisasi harus diintegrasikan dengan pendidikan karakter di sekolah sebagaimana dasar-dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang menuntun dan sistem among. Proses internalisasi tentu tidak mengabaikan keragaman dan karakteristik warga sekolah.Â
Oleh karena itu, ekosistem sekolah harus berpihak pada siswa melalui budaya sekolah yang dibuat mengacu pada keragaman siswa yang multikultur itu. Upaya memfasilitasi keberagaman tersebut, sekolah tidak membeda-bedakan kegiatan siswa baik secara intrakurikuler atau ekstrakurikuler. Sehingga prinsip keadilan menjadi acuan bagi sekolah sesuai dengan nilai luhur Pancasila dan siswa mampu berkembang potensinya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Daftar Pustaka
Astuti, K. A. dan T. (2020). IMPLEMENTASI NILAI-NILAI MULTIKULTURAL DI SEKOLAH DASAR. REFLEKSI EDUKATIKA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 10(2), 178--186.
Azlina et al. (2021). Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Bidang Pendidikan Sebagai Upaya Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. Indonesian Journal of Instructional Technology, 2(2), 39--52.
Dewi, A. R. F. & D. A. (2021). IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA. Jurnal Kewarganegaraan, 5(1), 184--191. https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/view/1447/pdf
Dihni, V. A. (2022). Ini Sederet Masalah Utama Indonesia Menurut Generasi Muda. Databoks.Katadata.Co.Id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/08/12/ini-sederet-masalah-utama-indonesia-menurut-generasi-muda
Efianingrum, A. (2013). Kultur Sekolah. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 2(1), 19--30. https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23404/pdf
Khasri, M. R. K. (2021). Pancasila dalam Praksis Sosial: "Manusia Pancasila" Menjawab Permasalahan Masyarakat Digital. Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, 1(1), 86--97.
Musanna, A. (2017). INDIGENISASI PENDIDIKAN:Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, 2(1), 117--133.
Rusdiana, A. S. & A. (2021). Antropologi Pendidikan Menuju Pendidikan Unggul dan Kompetitif. Penerbit Batic Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H