Mohon tunggu...
Ifadhila Affia
Ifadhila Affia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kotak Keberuntungan

30 Oktober 2015   11:33 Diperbarui: 30 Oktober 2015   19:59 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku pertama kali bertemu dengannya di halaman belakang tempat kos ini. Rambut panjangnya terjatuh dari pundaknya seraya kedua tangannya dengan lincah menari-nari di dalam tas ransel coklat, mencari sesuatu. Barang-barang di dalam tas besar di sampingnya itu saling berbenturan menimbulkan suara berisik yang menginsyaratkan bahwa ia sedang tak sabar dan tergesa-gesa. Sebuah sugesti dalam diriku membuatku tak berkutik, dan disitulah aku, terdiam memandangi gadis berparas cantik yang sibuk dengan urusannya.

Suara berisik dari dalam tas kini berhenti, tergantikan oleh raut wajah lega dari gadis itu. Sepertinya ia sudah menemukan sesuatu yang dicarinya. Selesai dengan urusannya, ia mengeluarkan ponsel dari kantong bajunya, sibuk mengetik, kemudian mendongak, menatapku, dan menyadari keberadaanku yang semenjak tadi terpaku. Sekilas, ekspresi wajahnya terkejut, namun dengan cepat wajahnya berganti terhias dengan senyuman lembut.

“Hai, penghuni baru ya?”

Itulah bagaimana aku mengenalnya. Seorang perempuan cantik sebaya denganku bernama Alya. Seseorang yang sangat ramah dan kalem, seseorang yang dalam hitungan hari bisa cepat akrab denganku yang sebenarnya sulit bergaul ini. Seseorang yang dengan cepat mengerti segala tentangku : kebiasaan, watak, hingga cerita-ceritaku sebelum aku berada di kota metropolitan ini. Ya, ganjalnya, semua terjadi begitu cepat.

***

“Ceroboh dan teledormu itu harus segera dihilangkan.” Alya meletakkan box cokelat kecil di samping tubuhku yang terebah di kasur. Aku menatap benda di sisiku itu, kutinggalkan dimana lagi kali ini?

“Kamu menaruhnya di atas mesin cuci. Ampun, kalau sampai hilang, apa yang akan terjadi padamu?” ujarnya sambil menyisir rambut lurusnya. Aku hanya melongo mendengar ucapannya. Aneh, aku memang membawanya saat ke mesin cuci, tetapi seingatku  sudah kutaruh kembali di laci lemariku. Tapi hal seperti ini memang sudah sering terjadi, bahkan berulang kali. Kenyataan bahwa Alya yang membawa kotakku kembali ke kamar ini berarti membuktikan bahwa ingatanku yang salah. Aku tak peduli. Setidaknya aku bersyukur kepada Tuhan karena mengirim Alya yang masih menyadari keberadaan kotak berhargaku yang menyangkut kelangsungan hidupku sehari-hari.

“Syukurlah kamu masih berbaik hati membawanya kembali, Al,” ucapku berterima kasih. Aku membuka kotak kecil yang sudah kuanggap separuh jiwaku itu. Bukan kotaknya yang penting, namun hal di dalamnya; uang. Sejak dulu, aku memang terbiasa meletakkan uangku di kotak mungil ini. Entah mengapa aku tak suka pada dompet. Lagipula, kotak seperti ini lebih praktis dibuka-tutup dan diletakkan dalam tas. Aku bukan maniak uang, tetapi kalau sampai kotak ini, yang juga berisi kartu ATM-ku hilang, entah bagaimana nasibku yang sedang jauh dari kampung halaman. Percayalah, uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang.

Setelah mengobrak-abrik sebentar uang di dalam kotak itu,  aku mendapati keganjilan. Seingatku, seharusnya masih ada lima lembar warna merah, tiga lembar warna biru, selembar hijau, dan lembaran-lembaran lain berwarna pudar yang aku bahkan tak sempat menghitung ada berapa. Tapi ini sudah entah untuk keberapa kalinya terjadi. Sisa uang dalam ingatanku dan dalam kenyataanya, berbeda.

Aku memang tipe orang yang seperti ini. Aku cuek, dan tak peka. Aku berbeda dengan ibuku yang teliti, menulis biaya pengeluaran hari ini, menghitung uang kembalian dengan cermat, atau mempertimbangkan biaya untuk beli ini itu. Aku bahkan tak berpikir panjang atau memperhatikan pengeluaranku. Selama ada uang, maka aku masih bisa menjalani keseharianku, dan ketika habis, aku akan ambil di ATM. Prinsipku seperti itu, karena aku bukan orang yang rajin dan mau repot-repot menulis biaya untuk membeli barang, dan sisa saldo di buku note. Kejadian-kejadian serupa seperti ini sama sekali tidak pernah kupikirkan, karena aku menganggap semua ini hanyalah akibat dari kecerobohanku. Tapi belakangan, hal ini malah membuatku resah.

“Kenapa, Vi?” Alya tiba-tiba bertanya, menyadari ekspresiku yang tak baik. Ah, sudah kuduga, sahabatku yang satu ini memang paling peka terhadapku. Ia seolah memiliki kemampuan telepati, selalu sadar saat aku sedang dalam keadaan yang tak baik. Aku menceritakan hal yang agak membuatku gundah selama ini, Alya mendengarkan dengan serius sembari sekali-sekali mengangguk.

“Mungkin memang sebaiknya aku berganti ke jalan yang normal, yaitu pakai dompet. Kotak itu sepertinya membawa kesialan.” Aku mengakhiri cerita.

Alya tergelak mendengar perkataanku barusan. “Tidak mungkin, Via. Kalau memang itu membawa kesialan, pastinya hal yang lebih parah dari kehilangan uang akan terjadi padamu. Sedangkan hilang uangmu itu bahkan belum jelas, apa itu karena kecerobohanmu apa memang hilang. Padahal kamu sendiri sudah sadar akan kebiasaanmu sendiri yang membelanjakan uang tanpa pikir panjang, tak menghitung jumlah yang keluar ataupun sisanya, bahkan tak teliti pada kembalian.”

“Benar juga ya....”

“Nah, solusi yang tepat itu kamu introspeksi dirimu sendiri. Jangan mengada-ngada hal mistis seperti pembawa kesialan atau apalah. Hilangkan pikiran negatif konyol itu. Percayalah, kotak ini pasti membawa keberuntungan.” Alya kembali melanjutkan kata-katanya sambil  mengangkat kotak mungil coklatku itu.

Seperti biasa, wajah cantik Alya dengan cara bicaranya yang kalem membuat siapapun merasa sejuk melihatnya. Aku bersyukur bisa bersahabat dengan orang ini, dengan pertemuan awal kami yang tak terduga namun juga bisa dianggap biasa-biasa saja.

“Tunggu dulu. Kalau tidak salah, ada rumor disini tentang ...tuyul,” ujar Alya tiba-tiba. Seketika bulu kudukku merinding. “Aku bukannya percaya dengan cerita seperti itu..., tapi bagaimana jika–“

“Oke, cukup. Tidak biasanya kamu membicarakan hal yang tidak logis. Sudah, sudah, ayo kita lupakan saja. Kita putuskan bahwa uangku yang berkurang jumlahnya hanyalah perasaanku saja, karena itu sebenarnya uangnya hilang karena telah kubelanjakan tanpa perhitungan. Oke selesai!” seruku sambil menepuk bantal tiga kali layaknya seorang hakim yang telah menutup sidang.

Walaupun aku berkata dengan lantang dan mantap tadi, sebenarnya pikiran dan perasaanku sedikit memberontak, bisa saja itu benar. Tidak, cerita tuyul itu tidak ada disini. Aku orang yang realistis, tidak ada sedikitpun kemungkinan aku mau memercayai cerita seputar hal ghaib seperti itu. Sudahlah, lupakan saja!

***

Terjadi lagi. Hilang lagi. Mataku berlinang-linang. Bukan menyesali uang yang entah kemana. Namun menyesali sikapku yang selalu cuek dan tidak terkontrol pada pengeluaran uang. Sebelum aku kuliah pun, aku sudah seperti ini, dan ibuku sudah berkali-kali menasehatiku untuk selalu peka dan tidak sembarangan kalau menyangkut soal uang. Kini wajah ibu dan ayah terbayang di benakku, membuatku benar-benar ingin menangis karena rasa bersalah. Aku menyia-nyiakan hasil jerih payah mereka karena keteledoranku.

“Vi, ayo! Kita sudah ditunggu Danang, dia mau mengumpulkan data peserta seminarnya, pengumpulan uang pendaftaran paling lambat pada pukul 12.00, dan ini sudah pukul 11.45!” seruan lantang Alya semakin membuatku gundah. Aku berbalik, dan menoleh ke arahnya. Pandangan mataku sayu, dan tentunya Alya menyadari hal itu.

“Vi, jangan bilang kalau….”

Sebelum sempat menyelesaikan pertanyaannya, aku mengangguk. Aku pun sudah yakin dengan sekali melihatku, Alya pasti sudah tahu kegundahanku. Bagaimanapun juga, kejadian seperti ini sering terjadi, Alya tahu itu, dan dialah yang selalu hadir membantuku di saat seperti ini. Uang pendaftaran sebesar 300 ribu rupiah. Aku benar-benar yakin bahwa di dalam kotak kecilku ada lima lembaran warna merah, yang baru saja kutarik dari ATM empat hari yang lalu. Memang, setelah mengambil uang di ATM, aku menyempatkan diri mampir ke toko buku, meskipun aku menghabiskan ratusan ribu, aku sama sekali tak mengambil uang dari kotakku. Aku memang belum bercerita pada Alya, tetapi saat itu aku mendapat kiriman uang dari pamanku dalam sebuah amplop, dan uang dalam amplop itulah yang kugunakan. Dan di hadapanku saat ini, yang ada hanyalah selembar warna merah yang dikelilingi lembar-lembar dua ribuan.

“Sudah, tenanglah! Aku membawa uang lebih. Aku akan membayar pendaftaran seminarmu memakai uangku dulu. Nanti kita cari lagi uangmu di kamar, mungkin saja ketinggalan,” ujarnya sambal menepuk pundakku, kemudian pergi mencari Danang.

Ah, Alya memang orang yang baik. Di saat-saat semacam inilah ia selalu melontarkan kalimat yang menenangkan, seperti : “Mau kutraktir?”, “Kubayari dulu”, “Tenanglah, jangan khawatir”, dan semacamnya.

***

Lima hari semenjak kejadian yang meyakinkanku bahwa uangku memang hilang, dan selama itu juga aku sama sekali tak menyentuh kotakku. Mengambil uang dari ATM saja tidak. Aku akan berpikir dan memecahkan masalah ini selama aku dalam keadaan kosong uang. Kalau aku sedang tidak punya uang, aku tak akan kecurian; itulah pikirku.

Hari ini, aku pulang cepat-cepat dari kampus. Sembari duduk memeluk lututku, aku mencoba berpikir. Kalau memang di tempat kos ini ada hal ghaib yang gila akan uang seperti yang dikatakan Alya, itu tidak logis. Karena hanya aku yang mengalaminya, dan selalu aku. Memang pernah ada kejadian kehilangan uang di sini, tetapi itu hanya sekali dua kali dan itupun korban kehilangan uangnya berbeda-beda. Apa aku, yang bukan anak juragan ini memang menjadi incaran tuyul? Kalau ada target yang tepat dijadikan sasaran, Alya si nona kaya dan modis dengan barang-barang mahalnya sebenarnya lebih tepat, apalagi ia sekamar denganku. Tidak! Aku orang yang realistis, aku tak akan percaya dengan hal-hal fenomenal semacam itu. Aku lelah, aku berharap ada seorang malaikat yang memberiku petunjuk atas semua hal ini.  

Aku tersentak dari posisi dudukku. Kata ‘malaikat’ membuatku sadar akan sesuatu. Tunggu dulu. Kenapa? Kenapa– Ah! Aku paham sekarang.  Perlahan-lahan, amarah dalam diriku mulai menyeruak, walau masih dibayangi kesangsian dan kecemasan. Atas segala keganjilan dan segala kejadian yang sudah-sudah, ingatanku kembali pada momen-momen dimana aku selalu dibantu oleh seseorang yang layaknya jelmaan malaikat. Tak peduli kapanpun, berapa kalipun, dan berapa pun yang kubutuhkan, dia selalu hadir menolong. Mungkin memang di dunia ini dilahirkan orang-orang baik, tetapi pada kenyataannya, semua ini terlalu kebetulan. Kenapa aku yang selalu ditolong? Alasan yang bisa terpikirkan saat ini adalah karena pertolongan itu memang hakku, yang bahkan saja pada awalnya aku tak perlu diberi hak itu, tetapi sang malaikat penolong itu memanipulasi skenario hingga menjadikanku tokoh yang perlu diberi hak.

‘Kenapa aku selalu dibantu?’ atau lebih tepatnya ‘Kenapa aku selalu dalam keadaan sengsara ketika ia bahagia?’

Dalam benakku, perntanyaan itu secara tiba-tiba muncul. Bulu kudukku merinding. Selama ini, saat aku sedang kesusahaan maupun butuh bantuan, selalu saja ‘malaikat’ itu datang. Tolong-menolong atau bantu-membantu memang hal yang sangat wajib di kehidupan, tapi untuk yang satu ini berbeda. Ini terlalu aneh! Sang malaikat ini seolah selalu tau kapan aku butuh pertolongan walaupun aku tak meronta kesakitan. Sang malaikat ini selalu datang bahkan ketika aku masih belum sadar akan kesialanku. Malaikat ini... bisa memprediksi hal yang akan terjadi padaku. Malaikat itu seolah mengetahui segala tentangku, segala kebiasaanku, sifat, hingga pastinya juga tahu pasti dimana aku meletakkan barang.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Sudah pasti itu Alya yang baru saja pulang dari kampus.

“Uh panasnya siang ini,” keluhnya sambil masih berkaca di depan cermin, namun aku tak menghiraukannya. “Cuaca sepanas ini sih cocoknya disandingi es krim jumbo atau minuman lain yang menyegarkan. Di perempatan jalan itu ada sebuah kafe baru, kita coba mampir ke sana yuk, Vi. Sekaligus mampir ke Botani Square, bagimana?”

Kalau memang hipotesaku benar....

“Vi?” Alya memanggilku lagi, heran denganku yang tak menjawab ajakannya.

Ia menoleh padaku, meniliti pandangan mataku yang cemas namun tak bermakna, dan kosong ke arahnya. Ia diam, wajahnya datar dan tak terkejut, seolah mengerti aku memang seperti ini, atau seolah mengerti memang akan terjadi seperti ini. Garis datar bibirnya kini melengkung manis menjadi sebuah senyuman yang kukenal sebagai senyuman wanita cantik bagaikan jelmaan malaikat.

“Jangan khawatir, pasti kutaktir, Vi!”

Aaah.. misteri ini sangat mudah. Harusnya aku menyadari hal ini sejak awal. Aku teringat Alya waktu itu memang mengatakan, “Kotak ini pasti membawa keberuntungan. Terlambat sekali menyadari bahwa kata magis itu bukan ditujukan untukku.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun