“Mungkin memang sebaiknya aku berganti ke jalan yang normal, yaitu pakai dompet. Kotak itu sepertinya membawa kesialan.” Aku mengakhiri cerita.
Alya tergelak mendengar perkataanku barusan. “Tidak mungkin, Via. Kalau memang itu membawa kesialan, pastinya hal yang lebih parah dari kehilangan uang akan terjadi padamu. Sedangkan hilang uangmu itu bahkan belum jelas, apa itu karena kecerobohanmu apa memang hilang. Padahal kamu sendiri sudah sadar akan kebiasaanmu sendiri yang membelanjakan uang tanpa pikir panjang, tak menghitung jumlah yang keluar ataupun sisanya, bahkan tak teliti pada kembalian.”
“Benar juga ya....”
“Nah, solusi yang tepat itu kamu introspeksi dirimu sendiri. Jangan mengada-ngada hal mistis seperti pembawa kesialan atau apalah. Hilangkan pikiran negatif konyol itu. Percayalah, kotak ini pasti membawa keberuntungan.” Alya kembali melanjutkan kata-katanya sambil mengangkat kotak mungil coklatku itu.
Seperti biasa, wajah cantik Alya dengan cara bicaranya yang kalem membuat siapapun merasa sejuk melihatnya. Aku bersyukur bisa bersahabat dengan orang ini, dengan pertemuan awal kami yang tak terduga namun juga bisa dianggap biasa-biasa saja.
“Tunggu dulu. Kalau tidak salah, ada rumor disini tentang ...tuyul,” ujar Alya tiba-tiba. Seketika bulu kudukku merinding. “Aku bukannya percaya dengan cerita seperti itu..., tapi bagaimana jika–“
“Oke, cukup. Tidak biasanya kamu membicarakan hal yang tidak logis. Sudah, sudah, ayo kita lupakan saja. Kita putuskan bahwa uangku yang berkurang jumlahnya hanyalah perasaanku saja, karena itu sebenarnya uangnya hilang karena telah kubelanjakan tanpa perhitungan. Oke selesai!” seruku sambil menepuk bantal tiga kali layaknya seorang hakim yang telah menutup sidang.
Walaupun aku berkata dengan lantang dan mantap tadi, sebenarnya pikiran dan perasaanku sedikit memberontak, bisa saja itu benar. Tidak, cerita tuyul itu tidak ada disini. Aku orang yang realistis, tidak ada sedikitpun kemungkinan aku mau memercayai cerita seputar hal ghaib seperti itu. Sudahlah, lupakan saja!
***
Terjadi lagi. Hilang lagi. Mataku berlinang-linang. Bukan menyesali uang yang entah kemana. Namun menyesali sikapku yang selalu cuek dan tidak terkontrol pada pengeluaran uang. Sebelum aku kuliah pun, aku sudah seperti ini, dan ibuku sudah berkali-kali menasehatiku untuk selalu peka dan tidak sembarangan kalau menyangkut soal uang. Kini wajah ibu dan ayah terbayang di benakku, membuatku benar-benar ingin menangis karena rasa bersalah. Aku menyia-nyiakan hasil jerih payah mereka karena keteledoranku.
“Vi, ayo! Kita sudah ditunggu Danang, dia mau mengumpulkan data peserta seminarnya, pengumpulan uang pendaftaran paling lambat pada pukul 12.00, dan ini sudah pukul 11.45!” seruan lantang Alya semakin membuatku gundah. Aku berbalik, dan menoleh ke arahnya. Pandangan mataku sayu, dan tentunya Alya menyadari hal itu.