“Vi, jangan bilang kalau….”
Sebelum sempat menyelesaikan pertanyaannya, aku mengangguk. Aku pun sudah yakin dengan sekali melihatku, Alya pasti sudah tahu kegundahanku. Bagaimanapun juga, kejadian seperti ini sering terjadi, Alya tahu itu, dan dialah yang selalu hadir membantuku di saat seperti ini. Uang pendaftaran sebesar 300 ribu rupiah. Aku benar-benar yakin bahwa di dalam kotak kecilku ada lima lembaran warna merah, yang baru saja kutarik dari ATM empat hari yang lalu. Memang, setelah mengambil uang di ATM, aku menyempatkan diri mampir ke toko buku, meskipun aku menghabiskan ratusan ribu, aku sama sekali tak mengambil uang dari kotakku. Aku memang belum bercerita pada Alya, tetapi saat itu aku mendapat kiriman uang dari pamanku dalam sebuah amplop, dan uang dalam amplop itulah yang kugunakan. Dan di hadapanku saat ini, yang ada hanyalah selembar warna merah yang dikelilingi lembar-lembar dua ribuan.
“Sudah, tenanglah! Aku membawa uang lebih. Aku akan membayar pendaftaran seminarmu memakai uangku dulu. Nanti kita cari lagi uangmu di kamar, mungkin saja ketinggalan,” ujarnya sambal menepuk pundakku, kemudian pergi mencari Danang.
Ah, Alya memang orang yang baik. Di saat-saat semacam inilah ia selalu melontarkan kalimat yang menenangkan, seperti : “Mau kutraktir?”, “Kubayari dulu”, “Tenanglah, jangan khawatir”, dan semacamnya.
***
Lima hari semenjak kejadian yang meyakinkanku bahwa uangku memang hilang, dan selama itu juga aku sama sekali tak menyentuh kotakku. Mengambil uang dari ATM saja tidak. Aku akan berpikir dan memecahkan masalah ini selama aku dalam keadaan kosong uang. Kalau aku sedang tidak punya uang, aku tak akan kecurian; itulah pikirku.
Hari ini, aku pulang cepat-cepat dari kampus. Sembari duduk memeluk lututku, aku mencoba berpikir. Kalau memang di tempat kos ini ada hal ghaib yang gila akan uang seperti yang dikatakan Alya, itu tidak logis. Karena hanya aku yang mengalaminya, dan selalu aku. Memang pernah ada kejadian kehilangan uang di sini, tetapi itu hanya sekali dua kali dan itupun korban kehilangan uangnya berbeda-beda. Apa aku, yang bukan anak juragan ini memang menjadi incaran tuyul? Kalau ada target yang tepat dijadikan sasaran, Alya si nona kaya dan modis dengan barang-barang mahalnya sebenarnya lebih tepat, apalagi ia sekamar denganku. Tidak! Aku orang yang realistis, aku tak akan percaya dengan hal-hal fenomenal semacam itu. Aku lelah, aku berharap ada seorang malaikat yang memberiku petunjuk atas semua hal ini.
Aku tersentak dari posisi dudukku. Kata ‘malaikat’ membuatku sadar akan sesuatu. Tunggu dulu. Kenapa? Kenapa– Ah! Aku paham sekarang. Perlahan-lahan, amarah dalam diriku mulai menyeruak, walau masih dibayangi kesangsian dan kecemasan. Atas segala keganjilan dan segala kejadian yang sudah-sudah, ingatanku kembali pada momen-momen dimana aku selalu dibantu oleh seseorang yang layaknya jelmaan malaikat. Tak peduli kapanpun, berapa kalipun, dan berapa pun yang kubutuhkan, dia selalu hadir menolong. Mungkin memang di dunia ini dilahirkan orang-orang baik, tetapi pada kenyataannya, semua ini terlalu kebetulan. Kenapa aku yang selalu ditolong? Alasan yang bisa terpikirkan saat ini adalah karena pertolongan itu memang hakku, yang bahkan saja pada awalnya aku tak perlu diberi hak itu, tetapi sang malaikat penolong itu memanipulasi skenario hingga menjadikanku tokoh yang perlu diberi hak.
‘Kenapa aku selalu dibantu?’ atau lebih tepatnya ‘Kenapa aku selalu dalam keadaan sengsara ketika ia bahagia?’
Dalam benakku, perntanyaan itu secara tiba-tiba muncul. Bulu kudukku merinding. Selama ini, saat aku sedang kesusahaan maupun butuh bantuan, selalu saja ‘malaikat’ itu datang. Tolong-menolong atau bantu-membantu memang hal yang sangat wajib di kehidupan, tapi untuk yang satu ini berbeda. Ini terlalu aneh! Sang malaikat ini seolah selalu tau kapan aku butuh pertolongan walaupun aku tak meronta kesakitan. Sang malaikat ini selalu datang bahkan ketika aku masih belum sadar akan kesialanku. Malaikat ini... bisa memprediksi hal yang akan terjadi padaku. Malaikat itu seolah mengetahui segala tentangku, segala kebiasaanku, sifat, hingga pastinya juga tahu pasti dimana aku meletakkan barang.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Sudah pasti itu Alya yang baru saja pulang dari kampus.