Usmar Ismail meninggal di Jakarta 2 Januari 1971, dan kemudian namanya diabadikan sebagai nama pusat perfilman di Rasuna Said, Jakarta. Dalam “Apa dan Siapa” yang diterbitkan majalah Tempo dikatakan bahwa Usmar Ismail telah mencoba menjadikan film sebagai media ekspresi kesenian dan berhasil meletakkan dasar dasar perfilman nasional.
Saya Menolak Lupa, kalau Anda?
Apa untungnya bersetia pada kenangan lama? Toh kita harusnya menatap masa depan. Ya, tapi jika kenangan lama itu bisa membangkitkan semangat, bisa mengingatkan kita kembali pada nilai nilai kebaikan yang sempat terlupakan, dan terlebih, kenangan lama itu bukan sekedar sejarah namun merupakan bukti perjalanan budaya bernilai emas, harusnya kita menolak lupa. Harusnya malah kita kenang terus, meski dalam momen-momen tertentu.
Sebab kita butuh kenangan untuk menjadi lebih baik di masa depan.
Itu menurut saya. Maka, menurut saya, banyak film yang harusnya juga direstorasi kembali. Semisal Krisis, Asrama Dara, Terang Bulan, Citra, Cinta Pertama (Widyawati dan Sophan Sophiaan), Si Doel Anak Moderen dan SI Doel Anak Betawi, Karmila (versi pertama, sayang sekali saya lupa siapa pemainnya), Ranjang Pengantin (Slamet Rahardjo dan Christine Hakim), Wali Songo, dan entah apa lagi film film bagus yang pernah kita catat dalam sejarah emas perfilman nasional.
Mari lupakan film film bermutu rendah dan hanya memikirkan kepentingan pasar. Bangsa kita jauh lebih berbudaya, lebih pantas menikmati film bermutu dan bernilai kebaikan, ketimbang hanya disuguhi film ‘adaptasi alias jiplakan mati’ dari budaya luar yang kurang pantas.
Yuk dukung restorasi film bermutu. Bagaimana dengan anda?
Referensi :
Anwar, Rosihan, “Sang Pelopor” jilid 5, Jakarta, KPG, 2012
Anwar, Rosihan, “Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia”, jilid 2, Jakarta, KPG, 2009
Biran, Misbach Yusa, “Sejarah Film, 1900-1950, Bikin Film di Jawa”, Jakarta, Komunitas Bambu dan DKJ, 2009.