Asyiiik, ternyata saya masih ingat ya sama zaman masa itu. *abaikan.
Jadi ceritanya begini, Sukandar seorang duda mempunya tiga anak gadis cantik dan periang. Ketiganya dirawat oleh nenek. Nenek ingin menjodohkan Nunung dengan Toto, apalah daya Nana juga tertarik pada Toto. Sementara ada pemuda lain, Herman, mencintai Nana. Hehehe persoalan cinta memang selalu laris untuk diangkat ya. Nunung sebagai kakak sulung memilih mengalah dan mengungsi ke Bandung, ke rumah temannya, Pak Tamzil. Toto sendiri ternyata mencintai Nunung dan menyusulnya ke Bandung. Cukup mengundang celetukan ‘ejieee … jieee’ bukan?
Cerita sederhana ini ternyata mengandung banyak nilai yang baik untuk dilestarikan hingga masa sekarang. Misalnya nilai kekompakan dalam keluarga, dimana ketiga bersaudara ini tetap saling menyayangi meskipun ‘rebutan gebetan’. Aissshhh. Enggak ada tuh sirik sirikan terus main fitnah seperti sinetron sekarang. Hehehe no offense ya …
Jangan lupa juga alur cerita, konflik film yang dijalin dalam dialog dan nyanyian yang komunikatif, mudah ditangkap, dan ada unsur komedinya tanpa adegan slapstick enggak penting dan bikin eneg. Tidak ada eksploitasi perempuan atau cacat fisik seseorang. Tidak ada kata kata kasar dan porno berhamburan. Disamping itu, scenario dibuat menjadi adegan demi adegan yang filmis, yang membuat film mengalir sepanjang durasi hampir dua jam, sama sekali tidak membosankan. Singkatnya, film ini komunikatif sekaligus bermutu. Penilaian seperti ini setara dengan film “Taksi”, “Nagabonar”, dan “Laskar Pelangi”.
Selain itu, film ini sangat Indonesia. Hampir tidak ada budaya kebarat-baratan yang muncul dalam adegan, bahkan seingat saya tidak ada petikan lagu barat. Dua puluh tahun sesudahnya, sekitar tahun 1976an, ada film “Si Doel Anak Moderen” dibintangi almarhum Benyamin S dan Christine Hakim, film ini penilaiannya nyaris setara dengan Tiga Dara, film bermutu sekaligus komunikatif dan karenanya menjadi legenda. Hanya ada satu penggalan adegan dimana Christine Hakim sedang menyanyikan lagu “Somewhere” (versi asli dinyanyikan Barbra Streissand, Andy Williams, Bing Crosby, dan beberapa penyanyi lain).
Oh, OK, saya dapat poinnya dari film Tiga Dara. Mengapa film ini direstorasi sekarang? Sebab film ini selain bersejarah, juga bernilai budaya, komunikatif, bermutu, dan (karenanya) menjadi legenda. Semangat film ini masih relevan untuk masa sekarang.
Sedikit behind the scene Tiga Dara ya. Konon film ini merupakan hasil adaptasi. Bukan jiplakan, namun sang sutradara, Usmar Ismail, mendapat inspirasi dari sebuah film yang ia tonton ketika ia masih menjadi siswa MULO, di Sumatera Barat tahun 1938. Film itu adalah sebuah film Hollywood berjudul “Three Smart Girls” yang diantaranya diperankan penyanyi legendaris Deanna Durbin. Banyak adegan dari film itu yang dihiasi lagu lagu dari Miss Durbin yang kalau tidak salah baru saja meninggal dunia beberapa tahun lalu. Oh, meskipun enggak ada yang Tanya, saya Cuma mau bilang, saya termasuk salah satu fans-nya Miss Durbin. *old soul sekaliiii….
Usmar Ismail, the Maestro
Usmar sendiri bukan orang yang ‘keras’, ia seorang yang santun dan relijius, Ia menginginkan harmoni dalam kehidupannya, bukan peperangan. Itulah sebabnya ia memilih berjuang di bidang seni budaya, bersama abangnya, Abu Hanifah, dan temannya, wartawan kawakan, Rosihan Anwar. Ia menikah dengan kakak istri Rosihan, Sonja Hermien atau kemudian sering dipenggil bu Mien Usmar Ismail. Ialah yang kemudian dianggap sebagai inspirasi film “Citra” dan kemudian juga piala Citra.
Selain membidani ATNI dan Perfini, Usmar juga seorang sastrawan. Kumpulan Puisinya “Puntung Berasap” yang diterbitkan Balai Pustaka merupakan ekspresi kecintaannya terhadap Tuhan dan agamanya. Tahun 1952, ia belajar ke UCLA California dengan beasiswa Rockefeller Foundation untuk mempelajari sinematografi, yang kemudian ilmunya ia terapkan di tanah air, sehingga lahir karya-karya jenius dan legendaris.