Mohon tunggu...
Siti Ifa Erlandiana
Siti Ifa Erlandiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - author

mengabarkan kabar paling menyenangkan lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saujana - Cerita Pendek

19 Desember 2024   01:05 Diperbarui: 19 Desember 2024   01:04 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Nirmala menyipitkan netranya ketika ia terbangun dari mimpinya semalam, pantai Gayatri menyambutnya. “Ternyata aku masih hidup.” Monolognya. Lalu ia menuju pesisir pantai sambil bertarung dengan pikirannya. “Kenapa aku berumur panjang dan sekuat ini? Bukankah perempuan tak layak hidup seperti ini. Kenapa aku bisa sejauh ini? Sial.” Monolognya sambil menyapu pasir pantai dengan kakinya. Ia terduduk dan merebahkan tubuhnya. Ia tak tahu harus berbuat apa setelah ini, mungkin ia akan mati saja daripada menuruti nafsu balas dendamnya.

“Apa aku harus membakar Wanodia dengan api kemarahanku?”

“Atau aku yang malah kebakaran sendiri di sini?”

“Apa perlu aku menghancurkan wajah polos milik Nawasena yang sialan itu.”

Ia resah, tak tahu harus apa.

“Hancurkan saja aku di sini, Nirmala.”

Nirmala menoleh pada sumber suara dan diam total. Nawasena benar-benar tak tahu malu sudah muncul di depannya.

“Tapi yang menang tetaplah aku. Selalu aku dan hanya aku, Nirmala. Kau selalu kalah, bahkan dengan perasaanmu sendiri. Bahkan dengan ketakutanmu sendiri. Kau selalu kalah.”

Nirmala hanya menatapnya, hatinya sudah menyumpah serapahi pria didepannya itu. Namun tak dapat dipungkiri, Nirmala rindu sekali padanya. Tempat bertukar cerita masa kecil hingga berumur genap dua puluh tahun kemarin tak pernah ia jumpai selama lima tahun belakang. Di tempat ini, Selat Gayatri adalah tempat yang selalu mereka gunakan untuk bertemu sejak kecil. Takdir bahkan merayakan pertemuan mereka kali ini. Perasaan hangat menyelimuti Nawasena, ia rindu sekali pada Nirmala.

“Bahkan saat aku mengajakmu menikah, kau takut Amerta tak akan bisa menerima Wanodia. Sekarang ku rasa tak ada alasan lagi untuk menolakku ‘kan?” Ujar Nawasena sambil melanjutkan langkahnya menuju Nirmala. “Pergilah. Aku sudah mati sejak kau melangkah di bumi Amerta.” Hardik Nirmala. “Kau tak ingin tahu keadaan orang tuamu?” Nawasena duduk disamping Nirmala. “Kau siapa? Aku tidak membutuhkan belas kasih dari seorang penjajah.” Netra Nirmala menajam seakan membunuh Nawasena. “Aku tahu sekali, kau sudah memperkirakan semuanya dan aku tahu kau ada di sini. Ikutlah denganku dan hiduplah Nirmala.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun