“Terkutuklah engkau, Nawasena.”
***
Langkah kaki yang bergerak menujunya membuat ia menoleh. Matanya membinar, ia langsung menghampiri sosok lemah lembut dan ia sayangi itu.
“Sudah malam Ibu. Ada yang mengganggumu?” Nawasena melontarkan perhatian pada ibunya. “Tidak. Kau yang ada apa? Apa ada yang mengganggu perasaan calon Raja Wanodia yang tampan nan rupawan ini?” Bergedik pendengaran Nawasena terkait hal itu. “Siapa yang akan menjadi Raja? Ayah masih baru saja mendapat cap raja terbaik oleh seluruh rakyat Wanodia.” Jelasnya, “Lalu apa yang membuatmu diam di sini?” Ibu Ratu menegaskan pertanyaannya lagi.
“Ibu masih mengingat Nirmala? Putri dari Carong.”
“Kekasihmu?”
Nawasena terdiam, “Aron sudah mencarinya namun tidak ada dimanapun. Sekarang aku benar-benar kehilangannya.”
“Pergilah. Cari kemanapun, kejar sejauh apapun yang kau mau. Apa arti hidup tanpa mereka yang kita cinta, nak.”
Nawasena kepalang malu namun perasaannya berkesah untuk segeralah berangkat.
“Aku memohon restumu, Ibu Ratu.” Mendengar putranya berucap demikian sang ibu tampak campur aduk. Ia tak akan bisa melihat putra tunggalnya ini berdiri sendirian, ia tak terlalu tega akan hal itu. Namun disisi lain, Nirmala sudah menjadi kutukan untuk Wanodia.
“Pergilah, Sena. Temukan apa yang kau cari. Jangan sampai melepaskannya lagi.”