Aku dan rekan lainku berjalan lebih cepat, mendahului mereka. Dia sedang bersama dua gadis cantik yang tentu saja aku tak tahu siapa mereka. Hatiku berdetak kencang ketika dia mempersilakanku lewat dengan suara lembutnya, "silakan kak" sembari tersenyum. Dia sangat manis. Dua jam kemudian, kami tiba di lokasi. Sebelum masuk ke rumah para penghuni desa, salah seorang penduduk lokal yang mengikuti kami meminta salah satu dari antara kami memukul tiang semacam simbol ada orang baru yang masuk ke desa itu. Sebenarnya aku takut untuk melakukannya. Namun, moodku sudah terpengaruhi oleh senyum manis lelaki tak dikenal itu sehinga membuatku semangat. Akupun mengambil sebilah kayu yang sudah disiapkan dan memukul tiang itu tiga kali.
Kami lanjut ke perumahan warga. Disana kami disambut dengan ritual adat khusus kedatangan orang baru. Kamu tahu, dimanapun kamu pergi selalu ada yang namanya pertama kali kamu merasakan atau menyaksikan sesuatu yang belum pernah kamu temui sebelumnnya. Itulah pentingnya kita liburan ke tempat baru. Setelah ritual adat berlangsung di rumah tetua adat, kami pindah ke rumah lainnya. Di rumah inilah kami akan menghabiskan beberapa hari disana. Makan, minum dan menginap.Â
Kami disuguhkan minuman selamat datang berupa kopi asli kampung itu beserta snack tambahan yaitu pisang goreng. Tiba-tiba lelaki pemilik senyum manis itu masuk dan duduk bersebelahan denganku. Rambut keritingnya dibiarkan terurai panjang dan dia begitu ramah ke semua orang dalam ruangan itu. Aku semakin deg-deg-an, Samanta. Aku benci pikirannku kala itu. Tapi aku tak bisa melawannya.Â
Singkat cerita, kami saling bercerita berbagai topik random tanpa memperkenalkan nama. Waktu bergulir begitu cepat, tanpa terasa makan malam pun tiba. Kali ini kami duduk berhadapan, Samanta. Imajinasi liarku terlalu jauh membayangkan betapa indahnya hidup ini jika aku dan dia bisa jadian, hidup bersama layaknya pasangan lain yang begitu baik dalam mengayomi keluarga mereka. Argh...Â
Stop! Jangan menghakimiku seperti itu. Sudah kubilang aku tak meminta semua perasaan ini hadir, suasana hati mengalir begitu saja secara natural. Kamu hanya belum merasakan apa yang aku rasakan. Karena kamu terlalu sibuk dengan karirmu sampai lupa waktu untuk beriteraksi dengan orang lain. Kelak, mungkin kamu akan berada di posisiku saat ini. Â
Keesokan harinya, kami menempuh arus balik. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, foto-foto adalah satu-satunya cara terbaik untuk mengingat suatu kenangan yang indah. Dia menawarkan diri jadi fotografer. Aku dan rekanku ajdi model. Dia yang memerinta kami untuk berganti gaya lalu membuat video singkat tentang desa unik itu. Apa hatimu akan tidur jika orang yang kau sukai menawarkan bantuan yang sedang kau inginkan? Tidak. Tidak, Samanta. Hatiku menyala pagi itu. Cuaca dingin di desa tengah gunung apalah artinya bagiku. Aku panas membara. Berapi-api. Hasil jepretannya bagus. Dia cukup profesional untuk pemotretan. Mungkin saja dia seorang jasa fotographer alam.
"Maheja", sambil menyodorkan tangannya memperkenalkan diri.
"Et." Jawabku singkat.Â
Entah kenapa, pada akhirnya kami tukaran nomor WhatsApp. Singkat cerita dan seiring berjalannya waktu, komunikasi kami lancar selama 10 bulan pertama. Aku udah menaruh seperempat hatiku padanya. Aku menyukainya. Serius. Sesekali dia datang menemuiku di tempat kerjaku dan membawakan makanan ringan. Di lain waktu, kami hang-out bersama. Sekedar nongkrong manis di cafe terdekat menikmati matahari terbebam sembari nge-beer.
Di bulan kesebelas, ada bom atom diantara kami. Tiba-tiba dia mengatakan bahwa kami tak mungkin bersama karena dia sudah ada yang punya. Tapi dia akan selalu ada waktu untuk-ku, jika aku ingin cerita dia akan siap mendengarkan dan memberikan solusi. Oh, aku tak suka caramu menatapaku melotot begitu. Â I know, I am stupid about this kind of things. Salahuku dimana, Samanta?Â
"Stupid! Salahmu terlalu cepat membuka hati tanpa..."