Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh karena itu proses pendidikan yang benar adalah membebaskan/memerdekakan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi dan eksploitasi. Pada satu sisi manusia berperan sebagai subjek pendidikan dan pada sisi yang lain sebagai objek pendidikan.
Sebagai subjek pendidikan secara moral ia bertanggung jawab melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki oleh manusia dimana pendidikan berlangsung. Sebagai objek pendidikan, manusia adalah sebagai sasaran pembinaan dalam melaksanakan proses pendidikan yang pada hakikatnya memiliki pribadi yang sama dengan manusia dewasa.
Pendidikan tidak sekedar mentrasfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu mentransfer nilai. Selain itu pendidikan merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. untuk mencapai tujuan di atas, maka pendidikan humanis adalah salah satu bentuk pendidikan yang harus diterapkan di sebuah lembaga Pendidikan.[1]
Sudah menjadi realitas akdemik bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang penuh kritik. Perdebatan akademik mengenai masalah pendidikan tidak pernah selesai dan tidak terelakkan dari sebuah masalah. [2] Masalah inilah yang membuat daya pikir manusia untuk selalu berpikir kreatif tanpa batas.
Upaya mengkritisi terhadap madrasah tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama melahirkan madrasah modern yang mempelajari juga ilmu-ilmu umum. Upaya mengkritisi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, melahirkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) melalui Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960.
Kritik dan atau ketidakpuasan terhadap IAIN yang menyediakan program studi keagamaan semata, melahirkan IAIN with wider mandate (dengan mandat yang diperluas). Upaya mengkritisi berbagai IAIN cabang melahirkan STAIN. Upaya mengkritisi IAIN with wider mandate muncul Universitas Islam Negeri (UIN).
IAIN Manado harus berubah dari IAIN menjadi UIN agar tidak tertinggal dengan perguruan tinggi yang lain, salah satu aspek ilmu pada bidang kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, di Manado ada rumah sakit pancaran kasih saya yakin ke depan UIN harus mendirikan rumah sakit pancaran Ilahi.
Dalam konteks keindonesiaan di sini lahir merdeka belajar, yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek, namun jauh sebelumnya Harun Nasution, memberikan pandangan sesuai petunjuk al-Qur'an yang memberikan semangat yang menggambarkan kekuatan berfikir bukan hanya kata aqala tapi juga kata-kata lain yaitu : dabbara, faqiha, nashara, tafakkara.
Oleh karenanya diperlukan reorientasi, rekonstruksi dan reformulasi dalam pendidikan Islam yang bertujan untuk mempertajam dan memperkuat potensi zikir (sains) dan fikir (teknologi) pada peserta didik sehingga akan mewujudkan manusia yang berwawasan modern dan berjiwa pembaharu.
Kesadaran akan kelemahan yang ada dalam dirinya kemudian berupaya meningkatkan potensi dalam dirinya dan menjalin hubungan secara harmonis dan humanis serta membesarkan dan menguatkan orang lain maka ia akan menjadi orang yang terbaik (khaira ummah).
Tetapi seseorang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dan merasa benar sendiri, bahkan melemahkan orang lain maka ia sendiri akan menjadi orang yang lemah sehingga ia termasuk ke dalam golongan asfala sfilin. Dan yang membedakan antara khaira ummah dan asfala sfilin adalah ilmu pengetahuan.[3]
Dialog yang Memerdekakan
Uraian di atas memberi pemahaman bahwa lembaga pendidikan diharapkan dapat merdeka dan memerdekakan sehingga berbagai kritik akan berkurang. Uraian berikut bertujuan menemukan upaya lahirnya lembaga pendidikan yang memiliki daya saing yang tinggi dalam merespon pasar global kedepan.
Dalam sejarahnya, hubungan pemerintah terhadap lembaga pendidikan dapat berpengaruh besar terhadap kemerdekaan\kemandirian suatu lembaga pendidikan. Pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia yang baru saja berlalu ternyata dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik. Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung sebagai "sabda pandita ratu" yang mesti harus dilaksanakan oleh daerah-daerah.
Hal ini dapat ditunjukkan antara lain sejak kemestian memakai pakaian seragam sampai hal-hal yang menyangkut kurikulum. Sistem yang demikian cenderung menjadikan "keseragaman" sebagai tujuan. Hasil kebijakan yang demikian adalah manusia-manusia yang bermentalitas 'juklak" dan "juknis" menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Akibat lebih jauhnya akan melahirkan manusia yang memiliki mentalitas yang selalu dalam bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga harus patuh dan tunduk pada perintah yang ada, betapapun anehnya perintah tersebut.
Akan tetapi, pendidikan yang terlalu birokratis sentralistik di atas dapat menimbulkan dampak negatif bagi proses pendidikan itu sendiri dan bagi masyarakat umum. Dampak yang paling mencolok adalah berkembangnya mentalitas "jalan pintas" dalam dunia pendidikan. Selain itu, semakin lama semakin dirasakan bahwa praktik pendidikan cenderung memunculkan generasi terdidik yang bersifat materialistik.
Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari penerapan praktik pendidikan yang mementingkan ekonomi. Mentalitas "jalan pintas", yakni semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin tanpa harus mengeluarkan pengorbanan yang setimpal, merupakan salah satu hasil dunia pendidikan dengan kondisi politik dan sosial yang birokratis sentralistik.
Faktor lain yang mendorong munculnya watak materialistik dan jalan pintas tersebut adalah adanya tekanan kemiskinan, lebih-lebih ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Efek kebijakan yang birokratis sentralistik tersebut membuat manusia tidak merdeka yang cenderung jadi budak dalam sistem yang tidak memerdekakan.
Budaya kritik penting dibangun, hanya saja, upaya membuka kesadaran kritis ini sering dipahami oleh pihak penguasa sebagai suatu "gerakan politik" ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Pendidikan model ini merupakan pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi "masyarakat kerucut" (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).
Model Pendidikan di atas adalah adalah konsep pendidikan ala gaya bank yang telah dipraktekkan oleh para pendidik dalam proses belajar mengajar, bahkan lebih dari itu, pendidikan gaya bank telah mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir serta tidak munculnya kesadaran kritis pada diri peserta didik.
Perspektif Islam Menuju Indonesia Emas
Pendidikan yang memerdekakan sebetulnya telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktikkan sebagai gerakan kemerdekaan/pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam segala aspeknya.
Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk pemberdayaan dan pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.
Islam dengan pilar adalah agama yang memerdekakan, karena Islam memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan tertindas. Ayat Al Qur'an, diantaranya mengajarkan (:5)"...Kami bermaksud memberikan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi..." (QS. 28:5).
Dalam sejarah Islam Masa klasik telah membawa kemajuan pesat karena diberikannya kemerdekaan berfikir pada akal yang lebih besar. Pada masa itu bertemunya pemikiran yang mesra antara filsafat Yunani dan Islam, Sains dan filsafat yang terdapat di Pusat peradaban Yunani di Aleksandria (Mesir), Antakia (Suriah), Jundiasyapur (Irak)dan Bactra (Persia).
Dalam Sains dan Filsafat Yunani akal sangat sentral, dan diberikan posisi sangat tinggi dalam al Quran dan Hadis. Inilah yang membuat Ulama Islam masa itu mengembangkan pemikiran rasional.[4] Pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, al-Quran dan al-Sunnah ternyata mampu menjadi motivator bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Hal ini dapat dipahami bahwa al-Quran mendukung adanya suasana dialogis dalam bermasyarakat termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan. Perlu juga dicermati bahwa ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw adalah (bacalah!).
Ayat ini dapat dinilai sebagai pemicu lahir dan berkembangnya tradisi tulisan, sebagai ganti dari tradisi lisan yang saat itu sangat berkembang. Tradisi tulis menulis merupakan cikal bakal pengembangan tradisi riset dalam pengembangan keilmuan.
Pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw, al-Quran dan al-Sunnah ternyata mampu menjadi motivator bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak ilmu yang lahir dan berkembang karena adanya al-Quran menjadi motivator. Para khalifah setelah Khulafa al-Rasyidin banyak memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada para ilmuan. Di antaranya mereka memberikan imbalan berupa emas seberat kertas hasil terjemahan.
Alvin Toffler merupakan salah seorang Futuris yang mencoba memberikan suatu penjelasan tentang konsep manusia di masa yang akan datang. Konsep pemikiran Alvin Tifler ini di awali dengan pandangan dalam karya monumental yang dirumuskan dengan istilah Future shock (kejutan masa depan).
Pandangan ini dilukiskan tentang tekanan dan disorientasi hebat yang dialami oleh manusia jika terlampau banyak dibebani dengan perubahan dalam waktu terlampau singkat, jelasnya bahwa kejutan masa depan bukan lagi merupakan bahaya potensial yang masih jauh tetapi merupakan penyakit nyata yang diderita oleh semakin banyaknya manusia. Kondisi psikhologis-biologis ini dapat diganbarkan dengan terminology medis dan pskiatri. Penyakit ini adalah penyakit perubahan.
Dengan kemajuan teknologi manusia terbagi dua dalam perubahan tersebut yaitu pertama menusia yang mampu mengendalikan teknologi yang efeknya lebih cerdas, tekun dan mengalami kemajuan berfikir yg luar biasa. Kedua manusia yang dikendalikan dengan teknologi yang efeknya mudah tersinggung, bicaranya keras keras dan tidak dimengerti, gaya hidup yang konsumtif dan keserakahan meliputi dalam hidupnya kerena berada dalam "bayang-bayang kebadian". Jalaluddin Rumi Pernah berkata "Kemarin saya merasa pintar dan terpelajar, ingin mengubah dunia ini.....Sekarang saya bijaksana, aku ingin mengubah diri saya sendiri"
[1] Muh. Idris, Konsep Pendidikan Humanis dalam Pengembangan Pendidikan Islam, Miqot, Volume XXXVIII Nomor 2 Juli-Desenber 2014, h.417-434
[2]Mastuhu, Pendidikan Islam Indonesia dalam Perspektif Sosiologi orasi ilmiyah pada upacara pengukuhan Guru Besar Mastuhu, pada tanggal 14 Mei 1992.
[3] Muh. Idris, Visi dan Praksis Pengembangan Pendidikan Islam A.Malik Fadjar, (Malang: UMM Press, 2023), h. 44. Lihat juga Muh. Idris, Orientasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Deepublish, 2020), h. 36
[4] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: LSAF, 1989), h. 112
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H