Seorang pengemis tua duduk terkulai lesu di depan warung bakso. Menantikan adanya pembeli yang iba terhadapnya. Dengan sebuah mangkok di depannya, meminta pada pembeli atau orang yang tak sengaja lewat di depan warung tersebut. Begitu keras hidup di ibu kota menurutku. Apakah kesenangan hanya untuk mereka yang beruang? Dan berfasilitas mewah saja. Lalu, kenapa wanita tua ini harus bekerja dengan cara meminta-minta. terus... anak-anaknya kemana? Tak adakah seorang anaknya yang perduli, walau untuk sekedar menafkahi perempuan yang seharusnya menikmati masa senjanya dengan beristrirahat. Gumamku dalam hati.
 Hati ku menjadi gusar dan pikiranku hanya terpaut ke pengemis tua yang duduk mengapar itu.  Tak lama, langit menunjukan gemuruhnya yang menandakan akan datangnya hujan. Tak berselang lama, hujan pun turun membasahi bumi yang gersang. Pengemis tua itupun mencoba mencari tempat bernaung agar tidak terkena air hujan yang turun.
 "Nek?"  Panggilku yang sudah tak kuat menahan diri untuk menegur pengemis tua itu.
 "Ia nak."  nenek yang bergegas melihatku.
 "Duduk sini saja nek, jangan berdiri di situ. Hujan kayaknya lama soalnya langit begitu hitam. Ayo mari nek?"
 "Gak nak. Nenek sini saja." sambil tersenyum dan lekas menundukkan wajahnya.
 "Udah nek duduk sini! Tenang, gak bakal ada yang marah kok." Sambung Jefri yang bergegas berdiri menyuruh pengemis tua itu duduk di tempatnya.
 Ku perhatikan raut wajahnya tampak lelah, dan mungkin karena usia senjanya ini masih harus bekerja walau dengan cara meminta - minta.
 "Nenek udah makan?" Tanyaku
Â
 "Belum nak."
 "Jef tolong pesenkan 1 mangkuk bakso." Aku yang menoleh ke arah Jefri.
 "Gak usah nak." Jawabnya pelan.
 "Gak apa-apa nek. Kalo hujan-hujan gini, enakkan makan yang anget-anget. Kayak bakso hehhe."
 "Iya nek." Tambah Jefri yang segera berdiri dan berjalan mengarah ke penjual bakso
 "Nek. Maaf sebelumnya. Kalo boleh nanya? Uda lama nenek kerja kayak gini." Tanyaku pelan.
 "Uda lama nak. Mungkin ada 20 tahunan."
Aku yang mendengar jawaban pengemis tua itu menjadi heran, dan makin penasaran.
 "Hmm! Maaf nek. Anak-anak nenek dimana?"
 "Anak nenek sudah lama meninggal. Dan suami nenek nikah lagi dulu, waktu nenek berumur 30 tahun. Akibat kecantol dengan janda." Ucap pengemis tua itu.
 "Ooo.. maaf nek, atas kelancangan saya." Sambil menundukan kepala menunjukkan rasa bersalah atas pertanyaan yang diajukan.
 "Iya nak. Gak apa-apa."
 "Nah, nek. ngebakso dulu kita." jefri yang baru sampai dengan 2 mangkok bakso di tangan dan 1 mangkok bakso di bawakan penjual.
 "Silakan di makan." Ucap penjual bakso dengan ramah tama.
Â
 "Terima kasih mas. Hmm.. nek, silakan di makan." Ucap Jefri kepada penjual bakso dan pengemis tua itu.
 "Iya nak. Terima kasih sebelumnya."
 "Iya nek. Seloow lah."
 Akhirnya kami bertiga pun makan bakso bersama-sama.  Setelah selesai makan bakso, hujan di luar masih kelihatan deras. Dan langit begitu pekat menghitam. Seperti pertanda bahwa langit sedang melihatkan kesedihannya. Pikiranku  melayang-layang, pertanyaan demi pertanyaan muncul. Apakah yang sudah dilakukan pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakatnya? Dan peran-peran struktur desa itu bagaimana, terkait warganya yang berprofesi sebagai pengemis?
 Aah! bagaimana rasa saling memiliki itu bisa tercipta di antara masyarakat, bila masih banyak orang yang berpunya, lebih mementingkan dirinya sendiri. Ketimbang membantu yang membutuhkan dan jelas berada di sekelilingnya. Sudah banyak contoh! Orang pamer dengan uang, fasilitas hingga liburan. Tapi, masih ada tetangganya yang kelaparan. Inikah hidup itu Tuhan! Kau meletakkan ku di posisi apa? Dan tergolong manusia jenis apa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bermain - main di pikiranku.
 "Hoy! Ngelamunin apaan?" Teguran Jefri membuyarkan lamunanku.
Pengemis tua itu pun turut ikut memperhatikanku, membuatku serba salah untuk menjawab pertanyaan Jefri.
 "Gak, bro. Cuman mikir doang, ini hujan mungkin bisa awet sampe malam kayaknya. Kalo ngelihat awannya begitu hitam kayak gini." Â
 "Oo... iya kayaknya. Ya semoga aja sebentar lagi berhentilah. Biar kita bisa pulang. Masa pulang harus bareng sama warung ini tutup? Ya nggak lah. Haha"
"Ia Jef. Semoga saja. Hm! Nek sudah makannya?" Sembari memperhatikan pengemis tua itu yang sedang membereskan mangkuknya.
 "Uda nak."
 "Hm.. kalo mau lagi, gak apa-apa Nek. Apa nggak bungkus? Nanti kita yang bayar."
 "Gak nak, terima kasih. Nggak usa repot - repot."
 "Nenek pamit pulang dulu yah?" Tambah pengemis tua itu.
 "Emang nenek pulang kemana?" Tanya jefri sembari memperhatikan pengemis tua itu.
 "Di kampung sini, masih belakang pasar. Bejalan ngak jau nak."
 "Ooo... mau di anterkan nggak nek?" Tanyaku memotong.
 "Gak usa. Terima kasih nak. terima kasih juga buat baksonya. Semoga kalian di berikan kesehatan dan tambahan rezeki nak. Aamiin." Ucap pengemis tua itu sembari tersenyum kepada kami berdua.
 "Aamiin allahumma aamiin"ucap kami serentak menjawab do'a dari pengemis tua itu
 "Ya sudah. Nenek pamit dulu." Sembari mulai berjalan mengarah keluar warung.
 "Iya nek. Ati-ati."ucap Jefri.
 Jefri pun bergegas pindah tempat duduknya, kembali ke semula di sampingku. Sembari menghidupkan rokoknya. Kami lihat nenek telah menghilang dari pandangan. Di bawah guyuran air hujan yang terus turun membasahi bumi.
"Hey?"
 " ya Jef. Kenapa?" Tanyaku sambil mencoba menghidupkan handphone yang sedari tadi hanya tergeletak bagai benda mati di atas meja.
 "Gua kasihan sama tu nenek-nenek?"
 "Sama."
 "Tapi menurut loe bro. percaya gak kalo anak-anak nenek itu udah mati?" Tanya Jefri membuat pokusku ke layar handphone terhenti, dan menolehkan pandangan ke Jefri langsung.
 "Kalo masalah percaya atau nggak. Saya kembalikan ke Tuhan aja Jef. Karena hanya Tuhanlah yang paling tau, prihal kebenaran dari seorang manusia sebenarnya. Kita manusia hanya pandai menerka - nerka mengenai seseorang. Dan akhirnya, bila terkahan kita keliru? Kita malah menjadikan itu Fitnah karena sudah mengeluarkan pendapat bohong alias seudzon terhadap sesama."
 "Oke. Bisa diterima." Pungkas Jefri menyangga jawabanku terkait kebenaran anak pengemis tua itu.
Â
"Oh ya, menurut kamu? Sebenernya ini salah siapa, pemerintah kah, masyarakat kah atau malah nenek itu sendiri?" Tanya Jefri kembali sembari mengangkat secangkir kopi yang sudah disiapkan oleh tukang warung bakso.
 "Saya gak tau jef. Sebab saya bukan orang yang mampu menentukan yang mana yang benar atau yang mana yang salah. Kini yang terpenting cuman satu menurut saya. Semoga nenek itu selalu diberikan ketabahan. Itu doang."
 "Hmmm! Ia juga sih. Baiklah kisanak, kemana  lagi perjalanan kita  sekarang? Melihat sepertinya hujan mulai redah." Sembari membuang abu rokok, dan kembali menghisapnya
Â
 "Kita langsung pulang saja Jef. besok lagi kita cari info terkait lowongan kerja."
"Baiklah kalau begitu."sembari kembali menyeruput kopi dan meletakkannya.
***
[PARUNGBOGOR, 2018]
 "Beginilah kehidupan. Keras, kejam dan kita hanya bisa bersabar dan bersabar untuk melewati setiap rentetan ujiannya. Ibaratkan, perjalanan yang amat panjang. Yang hanya akan berakhiran oleh kematian. Tetapi, selagi hidup dan masih diberikan kesempatan, kita harus tetap terus berjuang serta menghargai orang lain. Dan tentunya jauhi sifat seudzon terhadap sesama.
 Bila kita sudah memulainya, dan mengajarkan pada orang lain. Maka tidak mungkin orang lain pun, akan bersikap sama. Untuk menyadarkan dirinya, dan turut membagikannya kepada orang lain. Walau kita tak bisa membantu orang lain untuk berhasil, setidaknya kita bisa merubahnya untuk mulai menghargai sesama."[SpK]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H