"Iya nek. Seloow lah."
 Akhirnya kami bertiga pun makan bakso bersama-sama.  Setelah selesai makan bakso, hujan di luar masih kelihatan deras. Dan langit begitu pekat menghitam. Seperti pertanda bahwa langit sedang melihatkan kesedihannya. Pikiranku  melayang-layang, pertanyaan demi pertanyaan muncul. Apakah yang sudah dilakukan pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakatnya? Dan peran-peran struktur desa itu bagaimana, terkait warganya yang berprofesi sebagai pengemis?
 Aah! bagaimana rasa saling memiliki itu bisa tercipta di antara masyarakat, bila masih banyak orang yang berpunya, lebih mementingkan dirinya sendiri. Ketimbang membantu yang membutuhkan dan jelas berada di sekelilingnya. Sudah banyak contoh! Orang pamer dengan uang, fasilitas hingga liburan. Tapi, masih ada tetangganya yang kelaparan. Inikah hidup itu Tuhan! Kau meletakkan ku di posisi apa? Dan tergolong manusia jenis apa? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bermain - main di pikiranku.
 "Hoy! Ngelamunin apaan?" Teguran Jefri membuyarkan lamunanku.
Pengemis tua itu pun turut ikut memperhatikanku, membuatku serba salah untuk menjawab pertanyaan Jefri.
 "Gak, bro. Cuman mikir doang, ini hujan mungkin bisa awet sampe malam kayaknya. Kalo ngelihat awannya begitu hitam kayak gini." Â
 "Oo... iya kayaknya. Ya semoga aja sebentar lagi berhentilah. Biar kita bisa pulang. Masa pulang harus bareng sama warung ini tutup? Ya nggak lah. Haha"
"Ia Jef. Semoga saja. Hm! Nek sudah makannya?" Sembari memperhatikan pengemis tua itu yang sedang membereskan mangkuknya.
 "Uda nak."
 "Hm.. kalo mau lagi, gak apa-apa Nek. Apa nggak bungkus? Nanti kita yang bayar."
 "Gak nak, terima kasih. Nggak usa repot - repot."
 "Nenek pamit pulang dulu yah?" Tambah pengemis tua itu.