Mohon tunggu...
Idris setiawan
Idris setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pencinta Keheningan

Dari hidup kita belajar berjuang. Dan dari Tuhan kita belajar iklas. Tak ada perhentian yang akan indah selain mati dengan bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengemis Tua

2 Oktober 2022   22:45 Diperbarui: 2 Oktober 2022   22:58 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Sama."

 "Tapi menurut loe bro. percaya gak kalo anak-anak nenek itu udah mati?" Tanya Jefri membuat pokusku ke layar handphone terhenti, dan menolehkan pandangan ke Jefri langsung.

 "Kalo masalah percaya atau nggak. Saya kembalikan ke Tuhan aja Jef. Karena hanya Tuhanlah yang paling tau, prihal kebenaran dari seorang manusia sebenarnya. Kita manusia hanya pandai menerka - nerka mengenai seseorang. Dan akhirnya, bila terkahan kita keliru? Kita malah menjadikan itu Fitnah karena sudah mengeluarkan pendapat bohong alias seudzon terhadap sesama."

 "Oke. Bisa diterima." Pungkas Jefri menyangga jawabanku terkait kebenaran anak pengemis tua itu.
 
"Oh ya, menurut kamu? Sebenernya ini salah siapa, pemerintah kah, masyarakat kah atau malah nenek itu sendiri?" Tanya Jefri kembali sembari mengangkat secangkir kopi yang sudah disiapkan oleh tukang warung bakso.

 "Saya gak tau jef. Sebab saya bukan orang yang mampu menentukan yang mana yang benar atau yang mana yang salah. Kini yang terpenting cuman satu menurut saya. Semoga nenek itu selalu diberikan ketabahan. Itu doang."

 "Hmmm! Ia juga sih. Baiklah kisanak, kemana  lagi perjalanan kita  sekarang? Melihat sepertinya hujan mulai redah." Sembari membuang abu rokok, dan kembali menghisapnya
 
 "Kita langsung pulang saja Jef. besok lagi kita cari info terkait lowongan kerja."

"Baiklah kalau begitu."sembari kembali menyeruput kopi dan meletakkannya.

***

[PARUNGBOGOR, 2018]

 "Beginilah kehidupan. Keras, kejam dan kita hanya bisa bersabar dan bersabar untuk melewati setiap rentetan ujiannya. Ibaratkan, perjalanan yang amat panjang. Yang hanya akan berakhiran oleh kematian. Tetapi, selagi hidup dan masih diberikan kesempatan, kita harus tetap terus berjuang serta menghargai orang lain. Dan tentunya jauhi sifat seudzon terhadap sesama.
 Bila kita sudah memulainya, dan mengajarkan pada orang lain. Maka tidak mungkin orang lain pun, akan bersikap sama. Untuk menyadarkan dirinya, dan turut membagikannya kepada orang lain. Walau kita tak bisa membantu orang lain untuk berhasil, setidaknya kita bisa merubahnya untuk mulai menghargai sesama."[SpK]

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun