Mohon tunggu...
Idris setiawan
Idris setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pencinta Keheningan

Dari hidup kita belajar berjuang. Dan dari Tuhan kita belajar iklas. Tak ada perhentian yang akan indah selain mati dengan bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pidato Kejujuran

11 April 2021   00:20 Diperbarui: 11 April 2021   00:30 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

 Di tengah badai yang sedang menerpurukanku, aku tetap ingin berdiri tegak selayaknya laki - laki. Yang tak akan tumbang, dan tak akan goyah hanya karena sebuah ujian dari Tuhan. Terasa baru kemarin, aku duduk di bangku kuliah dengan kursi cokelat yang langsung ada meja lipat nya. Dan baru kemarin, ku pilih mundur dan tak meneruskan kuliah hanya karena tak ingin membebani orang tua. 

  Kejadian itu begitu cepat, begitu beruntun. Sepertinya Tuhan sedang menguji keimanan sebagai hambanya yang paling angkuh dengan setiap ucapannya. Yang di mana aku selalu bilang, "tak ingin hidup merepotkan orang tua. Tak ingin kuliah, dengan biaya orang tua. Aku masih muda, aku bisa mencari jalanku sendiri." Tapi, tangan Tuhan menyampaikan takdirnya bahwa ia menginginkan untuk menguji keimananku.

 Aku masih duduk di depan gerobak Siomay yang kini selalu menemaniku. Menjadi ladang untuk memperoleh rezeki walau itupun kecil, aku tetap mensyukurinya. Hingga berhentilah sebuah motor gede menurutku, laki - laki itupun membuka Helm nya. 

 "Oi, kau bro yang jualan. Aku kira siapo?" Ucapnya santai.

 Kuperhatikan dengan teliti, ternyata itu Sandro, temanku waktu duduk di bangku SMA dulu. Kira - kira 7 Tahun ke belakang. Ternyata dia sudah menjadi Polisi, begitu bangga aku melihatnya. 

 "Oi kamu San. Tugas di mano kamu? " Ucapku sembari menghampirinya.

 "Aku tugas di Polsek pucuk.  Oi au, aku minta esnyo. Berapoan?" Tanya nya.  

 "Murah, cuman Rp.3.000 bae." 

 "Aku minta sikok, bungkus." Ucapnya. 

 "Oke." Aku yang mulai membuatkan pesanannya. 

 "Oi au Can. Seminggu agi kan diadoke temu kangen angkatan ke-2 SMA kito dulu. Kau dateng dak? Hm! Sekalian bae bawak gerobak kau, yakin laris agek di sano. Yakinlah! Hehe" Ucapnya enteng. 

 "Hm! Maaf San, aku dak tau. Katek kabar." 

 "Ai dak ken nian, kau dak tau. Kau adokan WA kan?" Tanya nya lagi. 

 "Ia ado. Tapi aku katek grup nyo."

 "Yo dem, minggu depan kau dateng bae ke Sekolah. Agek aku yang informasike  ke  grup." 

 "Oo io. Hm nah esnyo." Sembari menyodorkan sebungkus es yang sudah di masukan ke dalam plastik beserta pipetnya. 

 "Nah Can. "Sandro yang menyodorkan uang Rp.100.000. 

 "Ai besak nian, aku katek. Yo dem, bawak bae dak papo."Ucapku pelan. 

 "Oi maaf nian Can. Katek duet kecik." Ujarnya. 

 "Yo dak papo. " 

 "Ai dak lemak aku, mampir sekali beli es kawan dak bayar pulo." 

 "Nah dak papo. Lajulah. Kau kan lagi begawe pulo." Ucapku 

 "Terimo kasih Can. Aku ndulu ai." Sembari kembali menaiki motor gedenya. 

  Aku pun kembali duduk di sebelah gerobak ku, sembari memperhatikan sekitar. Menunggu pelanggan lain datang.

 Waktu bergulir begitu cepat. 

Seminggu kemudian.

 Ku ingat lagi ucapan Sandro yang tempo hari mengajakku untuk datang ke Reuni anak Sekolah angkatan ke-2, walau aku tak ada ajakan langsung dari panitia yang membuat reuni,  tapi apa salahnya menurutku.  Untuk sekedar menjalin silaturahmi. Akupun akhirnya memutuskan untuk datang.  Menggunakan motor butut yang biasa ku pakai ke pasar untuk belanja ramuan Siomay.  

  Jantungku bergetar cepat, seakan ingin meledak. Ku parkir kan motor di sebelah sebuah mobil mewah bertuliskan BMW di atas pax mesinnya. 

 "Selamat datang." Ucap seorang pemuda sembari memberikan sebuah bunga mawar. 

 "Terimo  kasih. Maaf, terus jalannyo  kemano  dek?" Ucapku pelan. 

 "Oi dari sini, lurus mang. Agek belok kiri, langsung bae ke tempat acara. Agek ado kawan yang nyusun, mamang duduk di mano." 

 "Oo io. Terimo kasih." Ucapku sembari berjalan menuju arah yang diucapkan pemuda tadi. 

 Sesampainya di depan sebuah ruangan aula acara, 

 "Assalammuallahikum." Ucapku spontan, 

 "Wa'allahikumussalam." Jawab semua tamu sambil menoleh ke arahku. 

 "Oi Candra, akhirnyo datang jugo." Ucap Sandro dari kejauhan. Dan semua orang makin memperhatikan, dan saling berbisik. 

 Ku lihat tamu undangan yang datang begitu mewah, dengan balutan jas hitam dan kemeja merah yang melapisi tubuhnya. Di tambah sepan dasar hitam, dan sepatu pantofel yang menambah kemewahan mereka. Mungkin hanya aku yang datang dengan kemeja abu - abu, dan sepan jeans panjang dan bersepatu biasa yang ku kenakan di saat jualan. 

 Aku pun berjalan masuk dan duduk di pojok paling belakang, sebelum acara di mulai. Para guru - guru, dan kepala sekolah sekarang memasuki ruangan di tambah dengan kedatangan tamu kehormatan. Yaitu, bapak Sekda, beserta istri. Yang ternyata juga merupakan alumni seangkatan ku. 

 Acara pun dimulai. Susunan acara mulai di bacakan. Sambutan pertama dari panitia, yang dibacakan oleh ketua osis di masa sekarang. 

 "Assalammuallahikum, terima kasih atas kedatangannya. Menyempatkan waktu untuk sekedar menjalin silaturahmi kembali. Begitu bangganya saya, selaku ketua panitia mengucapkan terima kasih atas kehadirannya dari segenap tamu undangan, alumni ke -2. Di sini saya tak akan berbicara banyak,  misalnya terdapat kesalahan di dalam penyambutan kami, maka saya mewakili segenap panitia yang bertugas mengucapkan ribuan maaf. Dan nanti di penghujung acara, kami juga menyiapkan snak santapan makan siang. Walau tidak mewah, saya harap bisa diterima dengan seiklas nya.  Sekali terima kasih, wassalammuallahikum." 

Setelah sambutan dari Ketua panitia, di teruskan oleh kepala sekolah. Setelah kepala sekolah baru masuk ke sambutan perwakilan tiap - tiap kelas 12 di angkatan ke - 2. Aku hanya duduk sambil menyimak setiap ucapan sambutan. Begitu bangganya aku,  menyaksikan mereka yang hampir semuanya menjadi orang sukses. Ada yang menjadi Sekda, Guru, Polisi, TNI, Perawat, Bidan, dan ada juga yang menjadi pengacara.  Sampailah di kelasku, ternyata hanya aku sendiri yang hadir. 

 "Apakah ada perwakilan dari kelas 12 IPA 5" ucap pembaca acara. 

 "Ado, itu Candra. Can ayo maju." Ucap Sandro memintaku untuk maju. 

 "Ah dak San. Aku malu. Lewatke nek lain bae" Ucapku.

 "Ayo majulah. Nah kau! Maju dak." Ucap Sandro sembari memegang tanganku, dan menariknya ke panggung. 

  "Nah ngomonglah. Bareng,  kau nak ngomong apo." Ucap Sandro.  

 "Yo San." Aku yang gugup. 

  Sandro pun kembali ke tempat duduknya. 

 "Assalammuallahikum." Ucapku.

 "Wa'allahikumussalam" jawab semua orang yang berada di dalam ruangan. 

 "Jujur saja, sebenarnya saya tak merasa begitu pantas untuk menyampaikan sepatah dua buah patah kata di depan kalian semuanya. Dan saya rasa, ada yang jauh lebih pantas di bandingkan saya saat ini." Aku pun diam sejenak dan kembali memperhatikan sekitar, setiap mata tertuju kepadaku. Membuatku makin gugup dan kacau menurutku. 

 "Hm! Jujur saja, saya begitu malu. Kenapa? Sebab, jangan kan untuk membandingkan profesi. Dari cara berpenampilan saja saya rasa, saya yang paling beda di bandingkan dengan kalian semua. Tapi, tanpa menutupi semuanya, saya bersyukur masih diberikan nafas untuk hadir dan kembali bercengkrama pada kalian semua. Walau saya tak tau jelas, apakah kalian menerima kehadiran saya atau tidak?"

 Semua orang makin memperhatikan dan berbisik satu dan lain.

 "Dulu, saya duduk di kelas 12 IPA 5. Sebuah kelas yang menurut saya menarik. Tapi, karena saya orangnya terlalu sadar diri. Membuat saya tidak mempunyai teman akrab. Saya selalu membandingkan apa yang saya punya, dengan apa yang di punyai orang lain. Sehingga saya lebih menarik diri saya, dari bergaul dengan orang lain. Di saat orang jalan - jalan memakai kendaraan mereka, saya lebih memilih berdiam diri di rumah. Atau memilih ke ladang guna mencari makanan kambing saya, di waktu itu. Tidak ada yang begitu membanggakan dari saya, yang dapat saya bagikan. 

Bahkan saat ini, saya terlalu malu untuk menyampaikan profesi saya. Dengan kesenjangan yang begitu nyata menurut saya, jujur saya hanya penjual Siomay keliling. Yang berjualan demi untuk hidup keluarga saya. Tidak lebih dari itu. Tapi, dari malu itu. Sebenarnya saya begitu bangga dengan profesi saya. 

Kenapa saya bangga?

 Sebab, saya bisa menilai dengan benar. Siapa yang memang iklas dekat dengan saya. Siap menerima saya, dan bisa saya jadikan teman. Yang bukan hanya sekedar kenal. 

 Kenapa saya ucap demikian? 

Karena saya tahu, ada sebagian orang di bumi ini. Yang di mana hanya ingin mengenal orang yang sama dengan dirinya. Atau, orang yang mempunyai pangkat atau jabatan. Sehingga bila mana dia memiliki masalah, mampu meminta bantuan. 

Tapi, bagi saya sendiri. 

Saya tak membutuhkan orang - orang demikian. 

Bila seseorang itu mau kenal dengan kita, ia harus berani masuk ke dunia kita. Berani dan tentunya iklas menerima segala hal kekurangan yang kita miliki. Bukan memasukan pemanfaatan atas besarnya suatu keinginan. Dan saya rasa itu salah."

  Semua orang masih memperhatikan. 

 "Maaf kan saya,  tapi inilah kejujuran dari kaum bawah. Yang kadang, terpandang tidak sama. Saya menyesali atasan ucapan saya tadi. Saya minta maaf, dan terima kasih atas kesempatannya. Terima kasih. Wassalammuallahikum "  Ucapku mengakhiri sambutan yang di mana aku pikir  aku salah. 

Ku lihat Sandro berdiri, dan menyambutnya.  

 "Tenang kawan, kau dak dewekan." Ucapnya pelan. 

 Melihat aku dan Sandro menuruni anak tangga panggung, sebagian dari semua orang yang hadir memberikan tepuk tangannya. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi Yasudah lah!  Bagiku, semuanya sudah terjadi. Begitu cepat dan instan. 

 Aku kembali duduk di kursiku,  dan Sandro pun kembali duduk di kursinya. Acara terus berjalan hingga selesai. 

****

(Pagar Alam, 11 April 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun