"Ayo majulah. Nah kau! Maju dak." Ucap Sandro sembari memegang tanganku, dan menariknya ke panggung.Â
 "Nah ngomonglah. Bareng,  kau nak ngomong apo." Ucap Sandro. Â
 "Yo San." Aku yang gugup.Â
 Sandro pun kembali ke tempat duduknya.Â
 "Assalammuallahikum." Ucapku.
 "Wa'allahikumussalam" jawab semua orang yang berada di dalam ruangan.Â
 "Jujur saja, sebenarnya saya tak merasa begitu pantas untuk menyampaikan sepatah dua buah patah kata di depan kalian semuanya. Dan saya rasa, ada yang jauh lebih pantas di bandingkan saya saat ini." Aku pun diam sejenak dan kembali memperhatikan sekitar, setiap mata tertuju kepadaku. Membuatku makin gugup dan kacau menurutku.Â
 "Hm! Jujur saja, saya begitu malu. Kenapa? Sebab, jangan kan untuk membandingkan profesi. Dari cara berpenampilan saja saya rasa, saya yang paling beda di bandingkan dengan kalian semua. Tapi, tanpa menutupi semuanya, saya bersyukur masih diberikan nafas untuk hadir dan kembali bercengkrama pada kalian semua. Walau saya tak tau jelas, apakah kalian menerima kehadiran saya atau tidak?"
 Semua orang makin memperhatikan dan berbisik satu dan lain.
 "Dulu, saya duduk di kelas 12 IPA 5. Sebuah kelas yang menurut saya menarik. Tapi, karena saya orangnya terlalu sadar diri. Membuat saya tidak mempunyai teman akrab. Saya selalu membandingkan apa yang saya punya, dengan apa yang di punyai orang lain. Sehingga saya lebih menarik diri saya, dari bergaul dengan orang lain. Di saat orang jalan - jalan memakai kendaraan mereka, saya lebih memilih berdiam diri di rumah. Atau memilih ke ladang guna mencari makanan kambing saya, di waktu itu. Tidak ada yang begitu membanggakan dari saya, yang dapat saya bagikan.Â
Bahkan saat ini, saya terlalu malu untuk menyampaikan profesi saya. Dengan kesenjangan yang begitu nyata menurut saya, jujur saya hanya penjual Siomay keliling. Yang berjualan demi untuk hidup keluarga saya. Tidak lebih dari itu. Tapi, dari malu itu. Sebenarnya saya begitu bangga dengan profesi saya.Â