Mohon tunggu...
Idris setiawan
Idris setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pencinta Keheningan

Dari hidup kita belajar berjuang. Dan dari Tuhan kita belajar iklas. Tak ada perhentian yang akan indah selain mati dengan bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ibu, Adek Takut

7 Januari 2021   03:40 Diperbarui: 7 Januari 2021   03:46 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Diam! Apa kamu mau saya dor?!" Tegur seorang pembalak liar yang sedang memperhatikan 2 hewan yang di dapatnya sewaktu menebang pohon di tengah Hutan.

"Ibu, adek takut?" Bisik seekor monyet kecil yang mencoba bersembunyi di balik tubuh Induknya.

"Tenang Nak. Gak ada apa - apa. Percaya sama Ibu. Ada Ibu disini." Sahut Induk monyet yang mencoba menegarkan hati anaknya. 

"Apa kamu liat - liat?. Ayo semuanya terus kerja." Teriak orang tadi dengan nada keras ke arah anak buahnya yang sedang sibuk mengangkuti batang - batang pohon.

.....

"Ibu, Ayah mana? Biasanya Ayah gak perna pergi jauh - jauh dari kita Bu." Tutur monyet kecil yang masih ketakutan dan terus bersembunyi di balik induknya. 

"Ayah mu, sedang pergi nak. Sudah bersembunyilah di belakang Ibu. Ibu akan tetap menjaga kamu Nak. Tenang, Ibu tidak akan kemana - mana."

"Kenapa Ayah pergi Bu? Adek takut sama manusia itu. Apakah kita akan di bunuh Bu?" Tanya lirih monyet kecil tersebut.

"...!? Kamu percaya sama Ibu ya. Kita gak akan di apa - apain sama manusia itu. Ibu janji." 

"Tapi Bu..?" 

"Hm.. sudah. Kamu sembunyi saja di belakang Ibu. Tenang, Ayahmu pasti segera pulang." 

Induk monyet mencoba menguatkan anaknya. Dengan segumpal keberanian, yang mencoba kuat di depan anaknya supaya anaknya tidak takut. 

Pembalakan liar merusak ekosistem di habitan mereka. Rumah yang sudah di tempati kini menjadi wadah asing dan berantakan dengan pohon - pohon yang berserakan. 

Banyak juga monyet - monyet yang tewas karena di Dor oleh senjata para pembalak liar. Para primata Monyet yang gagah berani mempertahankan wilayahnya, kini berhamburan mati tertembak karena keserakahan Manusia. 

"Bu, itu yang di kalung Ibu apa? Kenapa seperti leher Ibu di lilit oleh ular berwarna putih Bu." Tanya anak monyet yang masih sedikit ketakutan kepada Induknya.

"Ooo.. ini hanyalah kalung Nak. Ini tidak menyakitkan, hanya sebuah kenang - kenangan yang di berikan kepada Ibu dari manusia itu."

"Terus? Kenapa kalung itu melilit dan tergeluntai panjang dan melilit sebatang pohon di sebelah Ibu?"

"Ini mungkin supaya Ibu tidak kemana - mana meninggalkan kamu sendirian Nak."

"Ooo... Terima kasih ya Bu. Adek sayang Ibu."

........  

Dor Door  dooor... Suara senjata api begitu keras mengusik ketenangan yang di coba diberikan Induk monyet kepada anaknya.

"Ibu... Adek takut! Suara apa itu Bu?" 

"Diam Nak. Gak bakal terjadi apa - apa. Yakinlah Nak. Ada Ibu!" 

Si monyet kecil tetap merasakan ketakutan yang luar biasa. Suara tembakan itu begitu keras, sehingga membuat kabur hewan - hewan di dekatnya. Seperti para burung, yang sedari tadi hanya memperhatikan dari atas sebatang pohon yang belum dapat gilirannya untuk di tebang. 

Hari makin menjelang sore, terdengar langkah - langkah para pembalak liar mulai berkumpul dan tak lama mereka pun pergi menggunakan kendaraan yang mereka gunakan. 

"Syukurlah sudah pergi." Bisik Induk monyet di dalam hati.

"Sudah pergi manusianya Bu." 

"Iya Nak."

"Hore.. horee.. Adek pengen manjat pohon Bu." 

"Jangan! Kamu tetap disini. Dekat Ibu. Nanti kalo mereka kembali lagi, dan melihat kamu di pohon. Kamu bakal di dor!" 

Mendengar pernyataan Induknya, sang anak yang sebenarnya memang masanya untuk aktif dan memperlajari selut belut isi dari Hutan. Agar di saat dewasa kelak dia dapat bertahan hidup. Hanya bisa menerima dengan mencoba memahami perintah Induknya.

"Bu, Adek haus?" 

"Sini Nak. Minumlah." Sembari menarik monyet kecil agar dapat menyusu olehnya. 

Setelah menyusui dengan Induknya, si monyet kecil pun berkata, 

"Bu, Adek laper."

"Kamu laper Nak. Hm.. " sambil mencoba melepaskan kalung yang melingkar di lehernya. 

Si monyet kecil hanya memperhatikan Induknya, mencoba menolong ia tak kuat. Tenaganya belum cukup kuat untuk melepaskan kalung yang melingkar di leher Induknya. 

"Ibu, sudah tak usah di paksakan. Adek mengantuk. Adek mau tidur."

"Sini Nak. Tidur di pangkuan Ibu."

"Bu, Ayah kapan pulang? Biasanya, bila sudah malam seperti ini, Ayah suka membawah buah - buahan pulang Bu. Tapi, bulan sudah tinggi dan Ayah belum juga sampai. Ayah kemana si Bu?"

Si Induk monyet hanya terdiam mendengar pertanyaan dari si monyet kecil. Si Induk, hanya bisa menatap langit yang hitam di iringi nyanyian binatang - binatang malam, seperti jangkrik dan kunang - kunang. 

Si Induk mencoba menegarkan hatinya, tak bisa menjelaskan semua kepada anaknya yang masih begitu kecil dan belum mengerti banyak tentang dunia. 

Si Ayah monyet kecil telah tewas tertembak, karena mencoba melawan di saat para pembalak liar mengambil rumah mereka. Tempat yang dimana ada banyak keceriaan dari kaum mereka.

Si Induk hanya menatap langit hitam, dengan kalung yang masih melingkar di lehernya. Di lihatnya si monyet kecil sudah tidur lelap di pangkuannya.

Akhirnya kini si Induk monyet tak bisa membendung lagi air matanya. Dengan mencoba menguatkan, dan memandang wajah kecil anak kesayangannya. 

Apakah esok hari mereka tetap bisa hidup? 

Apakah esok hari mereka tetap bisa bersenang - senang di tempat yang seharusnya?

Si Induk tetap memperhatikan wajah anaknya.

Dalam hati ia berkata, "Semoga masih ada manusia baik yang akan menyelamatkan kita Nak." 

......

#Fiksiana

#CeritaDuniaHewan

#SangPencintaKeheningan

(Pagar Alam, 7 Januari 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun