Mohon tunggu...
Muhammad Idrisman Mendefa
Muhammad Idrisman Mendefa Mohon Tunggu... -

Pengembara Spiritual. PD. JPRMI Kab. Padang Lawas. Lembaga Al-Mahabbah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Siti

3 Agustus 2018   18:16 Diperbarui: 1 September 2018   20:02 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu di rumah yang sederhana. Mara duduk di sofa tua ditemani segelas kopi dan empat buah roti yang diletak di atas piring kecil.

Dengan sedikit menegakkan tubuh, Mara menghela nafas seperti mencoba menenangkan perasaan. Lalu,  Mara sedikit membungkukkan tubuhnya dan menghubungkan jari-jari kedua tangannya. Entah perasaan apa yang ada dalam benak Mara.

Mara kemudian mengangkat gelas berisi kopi panas yang ada di depannya. Mara hendak menyeruput kopi itu. Namun,  sebelum tepi gelas sampai ke ujung bibir, dengan memejamkan mata,  Mara menghirup aroma kopi itu. Kopi yang berbeda dengan kopi yang biasa dia nikmati di setiap pagi.

Hirupan itu membuat Mara tersegarkan sebelum Mara benar-benar berlahan membiarkan lidah dan tenggorokannya menikmati kopi itu. Ditariknya dalam-dalam aroma kopi itu hingga ia merasakan ada yang masuk ke dalam dadanya dan sesuatu yang lain pun seolah berhasil dikeluarkan ketika dia melepas hembusannya.

Setelah Mara menikmati tiga seruputan pertama dan meletakkan kembali gelas itu ke atas meja yang dipenuhi beberapa perkakas publikasi dan lembaran catatan,  Mara mulai berbicara pelan,

"Siti,  kalo boleh tahu, menurutmu, bahagia itu apa?"

Siti yang duduk di atas tikar lantai ditemani Sari kakaknya hanya diam.

"Menurutmu, yang bikin orang-orang bahagia itu apa? Apakah dengan memiliki semuanya manusia akan bahagia?  Rumah,  kendaraan,  tanah,  gelar,  pangkat,  uang yang banyak,  dan anak-anak yang ganteng dan cantik?"

Sari turut menimpali,  "iya Ti... Jawaban kamu apa? "

Lama,  Mara menunggu jawaban, tetap saja Siti belum bersuara. Mara pun melanjutkan,

"Oh iya Siti, kamu gak punya photo di facebook.  Kenapa gitu... ?"

Siti masih membisu.

"Kamu ikutan ngaji ya?  Dimana? Berapa lama?"

Tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir Siti.

"Siti... Kok kamu gak jawab pertanyaanku?"

Mara menarik nafas, "tapi gak pa-pa kok,  Siti boleh kasi jawabannya nanti aja... "

Sejenak Mara terdiam. Kembali Mara menyeruput kopinya tiga kali. Mara meletakkan punggungnya ke sandaran sofa. Mara menatap ke arah TV sedang mati di hadapannya. Tatapan yang jauh penuh harapan dan tanda tanya.

Mara menghentikan lamunannya. "Sekarang,  kalo boleh, aku mau cerita. Dan itu pun kalo kamu mau dengarkan.  Harapanku, kamu mau..."

Meski Siti gak ada jawaban. Mara akhirnya berkisah tentang dirinya.

"Siti... Yah...  Inilah aku apa adanya. Seperti yang kamu lihat.  Aku cuma seorang yang punya banyak kekurangan. Sankin banyaknya kekuranganku,  rasanya aku gak sanggup menyampaikan apa sebenarnya kelebihanku."

"Banyak hal yang gak aku miliki.  Harta aku gak punya. Ilmu aku gak ada. Pekerjaan? Aku cuma seorang pelayan. Sama sepertimu. Kamu, di toko melayani para pengunjung atau pembeli. Aku, ya...  melayani keperluan administrasi masyarakat."

"Namun,  entah kenapa,  tetap saja aku diembankan amanah dan tanggungjawab. Dan inilah kekurangan aku yang lainnya."

"Aku berada di keluarga besar yang miskin harta dan miskin ilmu. Bahkan,  miskin iman dan akhlaq.  Aku pun berada di tengah masyarakat yang masih butuh pencerahan. Hingga,  aku diamanahi keluarga pertapakan tanah yang kini aku dirikan surau. Di surau itulah aku mencoba membimbing anak-anak dan remaja. Harapannya,  jadi solusi bagi keluarga dan masyarakat."

"Selain itu,  aku juga diberi tanggungjawab mengelola organisasi sebagai wadah menjalankan program solusi atas permasalahan remaja dan pemuda."

Mara menghela nafas dan menatap ke arah pintu. Dari jendela kaca putih transparan,  nampak Tua,  suaminya Sari sedang duduk didampingi segelas kopi.

Mara meneruskan,

"Siti..., amanah-amanah itu, termasuk diantara sekian banyak kekuranganku yang mungkin belum tersebut. Tentu saja...,  semua itu butuh pengorbanan."

"Sekarang,  kalaulah kamu berkenan membantuku menghadapi dan menjalaninya bersama,  tentu aku sangat bersyukur. Jika ternyata sebaliknya jawaban kamu tidak,  ya... tentu aku masih saja harus bersabar."

Mara menghening sesaat. Mara menarik nafas.

"Karena... segalanya tidak harus melalui paksaan. Apalagi soal perasaan. Perkara cinta,  adalah perkara perasaan. Perkara kebersamaan dalam kebahagiaan, menurutku,  itu lebih dominan dipengaruhi perasaan."

"Saatnya,  aku ingin mendengarkan perasaanmu. Mungkin,  kalo kamu belum berkenan sore ini,  besok,  mungkin kamu udah bisa nyampein jawabanmu."

Tanpa suara, Siti menunduk.

"Oiya Siti...  Satu lagi. Menurutmu poligami bagaimana?"

Siti berteguh dalam kebisuan.

"Maafkan semua kata-kataku ya.  Sikap dan tingkahku. Mungkin, sempat menyinggung perasaanmu."

"Siti... Aku tunggu jawabanmu ya. Jawaban yang kumaksud,  bukan teori, konsep,  dan dalil. Namun,  yang kupinta,  menurutmu saja. Kata hatimu. Perasaanmu."

Mara melirik wajah Siti yang tetap merunduk.

"Siti, aku mengharap kabar terbaik darimu ya."

Bagi Mara,  sore itu berakhir dengan rasa tanya dan penasaran. Mungkin pula bagi Siti,  sore itu mengukir salah satu episode kenangan dalam perjalanan hidupnya. Dilamar. Disapa. Ditanya. Dibuat bagaimana. Entah pengalaman yang keberapa.

---

Sepanjang malam penantian. Mara istirahat ditemani gejolak pertanyaan. "Apa jawaban yang akan aku peroleh. Akankah lamaranku diterima. Atau justeru sebaliknya,  langkahku menembus beberapa daerah akan berakhir begitu saja. Sia-sia?"

Mara terus berharap dan berdoa. Semoga jawaban yang didapatkannya adalah kabar bahagia.

---

Besoknya, Mara turut shalat shubuh berjamaah di Masjid Raya. Ketepatan, yang ngasi taushiyah, seorang ustadz dari Kota Metropolitan.

Kata sang ustadz, "Hidup ini butuh keteguhan iman. Dengan imanlah kita akan selalu mampu menghadapi ujian kegidupan. Seenak-enaknya tidur,  jika iman kita hidup,  shubuh kita akan bangun,  lalu menuju masjid. Sebaliknya,  jika iman kita lemah,  kita pun gak kan kuat menghadapi pahit manisnya kehidupan."

Sepulang dari masjid,  dan Mara sudah sarapan,  Mara tiba-tiba,  dapat pesan dari Sari.

"Kamu udah buka WA? Siti udah kirim jawabannya. Aku minta maaf ya. "

Mara merasa aneh,  "kok Sari bilang minta maaf ya... Jawaban Siti apaan emangnya? "

Mara mulai rada khawatir,  "jangan-jangan... "

Dengan perasaan yang mulai goyah. Detakan jantung di dada Mara serasa mengencang penuh tanda tanya.

Mara,  membuka WA nya,  ada pesan masuk dari nomor baru. Pesan itu berisi,   "Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh... akhy...   Silahkan cari akhwat yang lebih baik dari ana. Ana mohon maaf... "

Entah perasaan apa yang ada dalam hati Mara. Mara menghela nafas dalam-dalam. Mengepalkan tangan. Menggenggam kuat HP nya.

Mara terduduk di atas kursi. Matanya sayu seakan kosong. Mara terdiam menyandarkan tubuh.

Tak lama,  Mara tersenyum. "Hh..  Biasa...  No problem,  inilah taqdir. Bukan kali ini. Ini kan udah kali keberapa. Tinggal menghitung saja."

Mara menuju kamar mandi. Ingin menyegarkan diri. "Gak ada yang boleh disalahin. Yang penting,  mereka udah tahu. Yang penting mereka gak salah sangka lagi. Yang penting aku udah jalanin. Yang penting dengan begini,  mereka bisa ngerti,  bahwa semua butuh proses,  kesabaran,  dan tidak ujug-ujug,  semudahnya balikkan telapak tangan,  semudahnya ngeluarin omongan."

Di dalam kamar mandi,  "Mara masih komat-kamit. Inilah yang terbaik. Aku tidak menyesal. Gak boleh. Semuanya ada waktu."

Selesai mandi,  Mara menuju Masjid. Mara shalat dhuha. Mara berdoa. "Ya Allah,  hamba bersyukur pada-Mu. Istiqamahkan hamba ya Allah. Engkau Yang Maha Menentukan. Kuatkan hamba. Jaga keyakinan hamba akan pertolongan dan kasih sayang-Mu. Amiin."

Mara duduk bersila di atas sajadah, membungkukkan tubuh,  memejamkan mata yang baru saja berkaca-kaca disebabkan dorongan situasi perasaan.

___

Suatu Cerita Singkat dari yang sedang belajar menulis, 

Muhammad Idrisman Mendefa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun