"Aku berada di keluarga besar yang miskin harta dan miskin ilmu. Bahkan, Â miskin iman dan akhlaq. Â Aku pun berada di tengah masyarakat yang masih butuh pencerahan. Hingga, Â aku diamanahi keluarga pertapakan tanah yang kini aku dirikan surau. Di surau itulah aku mencoba membimbing anak-anak dan remaja. Harapannya, Â jadi solusi bagi keluarga dan masyarakat."
"Selain itu, aku juga diberi tanggungjawab mengelola organisasi sebagai wadah menjalankan program solusi atas permasalahan remaja dan pemuda."
Mara menghela nafas dan menatap ke arah pintu. Dari jendela kaca putih transparan, Â nampak Tua, Â suaminya Sari sedang duduk didampingi segelas kopi.
Mara meneruskan,
"Siti..., amanah-amanah itu, termasuk diantara sekian banyak kekuranganku yang mungkin belum tersebut. Tentu saja..., Â semua itu butuh pengorbanan."
"Sekarang, Â kalaulah kamu berkenan membantuku menghadapi dan menjalaninya bersama, Â tentu aku sangat bersyukur. Jika ternyata sebaliknya jawaban kamu tidak, Â ya... tentu aku masih saja harus bersabar."
Mara menghening sesaat. Mara menarik nafas.
"Karena... segalanya tidak harus melalui paksaan. Apalagi soal perasaan. Perkara cinta, Â adalah perkara perasaan. Perkara kebersamaan dalam kebahagiaan, menurutku, Â itu lebih dominan dipengaruhi perasaan."
"Saatnya, Â aku ingin mendengarkan perasaanmu. Mungkin, Â kalo kamu belum berkenan sore ini, Â besok, Â mungkin kamu udah bisa nyampein jawabanmu."
Tanpa suara, Siti menunduk.
"Oiya Siti... Â Satu lagi. Menurutmu poligami bagaimana?"