Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Saat Murid SMP Tidak Bisa Membaca, Guru SD Layak Disalahkan?

11 Agustus 2024   23:50 Diperbarui: 13 Agustus 2024   10:22 1559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa memanfaatkan waktu luang di perpustakaan sekolah di SMPN 255, Jakarta, Selasa (4/12/2018). (KOMPAS/RIZA FATHONI)

Oleh IDRIS APANDI
(Paktisi Pendidikan)

Beberapa waktu yang lalu viral di media sosial berita tentang puluhan murid SMP sebuah sekolah di Pangandaran Jawa Barat tidak bisa membaca. Bagi orang awam, tanggapan setelah menonton video tersebut, mungkin akan berkomentar, "what? Anak SMP gak bisa baca? guru SD-nya ngapain aja? masa belajar selama 6 tahun di SD, muridnya gak bisa baca? Kok bisa anak SD tidak bisa membaca diluluskan dari sekolah?" 

Tanggapan tersebut diakui atau tidak seolah menyalahkan sekaligus menyudutkan guru SD yang dianggap tidak mampu mengajari murid membaca.

Penurunan mutu pembelajaran (learning loss) selama Covid-19 yang terjadi tahun 2020-2021 disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya kemampuan murid dalam membaca. 

Walau demikian, menurut saya, ada beberapa hal yang bisa menjadi menyebabkan seorang murid tidak bisa atau kesulitan membaca. Berikut penjelasannya:

1) Murid tersebut adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang dipaksakan belajar di SD umum, sedangkan gurunya kurang memiliki kemampuan dalam menangani ABK.

Sesuai dengan semangat pendidikan inklusif, pihak SD memang tidak bisa menolak jika ada ABK yang mendaftar menjadi peserta didik baru. Kadang hal ini menjadi dilema. Di satu sisi hak anak untuk belajar harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain, kompetensi guru dalam menangani ABK terbatas. Akhirnya guru memperlakukan ABK seperti anak pada umumnya. Kadang orangtua pun tidak memberikan informasi bahwa anaknya ABK. 

Mungkin karena orangtuanya juga tidak tahu bahwa anaknya ABK atau tahu anaknya ABK tapi malu memberi tahu sekolah bahwa anaknya ABK. Bisa juga orangtua tahu anaknya ABK, tapi tidak diperiksa ke psikolog karena terbatasnya biaya.

2) Murid mengalami disleksia, yaitu gejala lambat bicara, lambat belajar kata-kata baru, dan lambat membaca. 

3) Metode yang digunakan guru mengajarkan membaca kepada muridnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik murid. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun