5) Tingkatkan kemampuan guru dalam mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi yang menguatkan literasi dan numerasi murid.Â
6) Lengkapi sekolah dengan bahan bacaan yang bermutu dan mendukung penguatan literasi dan numerasi.Â
7) Tingkatkan peran orangtua dalam membimbing anak belajar membaca di rumah, danÂ
8) Perketat dan batasi penggunaan gawai terhadap anak.
Mengacu kepada kasus di atas, pendidikan di SD merupakan fondasi bagi peserta didik untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Peran guru tentunya sangat penting dan substansial, tetapi harus didukung dengan sistem dan infrastruktur pembelajaran yang baik agar guru SD tidak menjadi pihak tersangka yang dituding gagal dan berkinerja rendah saat ada murid SMP yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung.
Walau demikian, sesuai dengan semangat pembelajaran yang berpusat pada murid, budaya reflektif juga perlu dikembangkan oleh guru. Pertanyaan yang bisa diajukan oleh guru SD, misalnya, apakah keberadaan saya di kelas diterima oleh murid? Apakah cara mengajar saya sesuai dengan karakteristik murid?
Apakah metode yang digunakan dalam pembelajaran dapat dipahami oleh murid? Apakah saya telah melaksanakan pembelajaran yang menarik, menantang, dan menyenangkan bagi murid? Apakah asesmen pembelajaran sudah tepat dan efektif dalam mengukur kemampuan murid? Apakah cara saya dalam menangani anak yang lambat belajar sudah tepat? dll.
Alih-alih saling menyalahkan terkait penyebab murid tidak bisa membaca, sebaiknya masalah ini dibenahi secara holistik, empirik, dan sistemik dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui pendekatan kolaboratif pemerintah, sekolah, orangtua, dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H