Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

7 Penyebab Munculnya Polemik PPDB

21 Juni 2024   10:02 Diperbarui: 22 Juni 2024   01:07 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta melalui Dinas Pendidikan (Disdik) setempat tengah melaksanakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2024/2025. (Dok. Disdik DKI Jakarta via Kompas.com)

Pelaksanan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) setiap tahun selalu memunculkan polemik dan mendapatkan sorotan banyak pihak. Orangtua yang anaknya tidak diterima di sekolah negeri banyak yang mengeluh. 

Katanya wajib belajar, tetapi mau menyekolahkan anak saja susah. Belum lagi biaya sekolah makin mahal. Itulah keluhan mayoritas orangtua pada saat PPDB.

Menurut saya, ada 7 faktor yang menyebabkan munculnya polemik saat PPDB, yaitu:

(1) Masih adanya pola pikir negeri minded. 

Orangtua merasa bangga kalau dapat menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Masih ada orangtua yang menilai mutu sekolah negeri lebih baik dari sekolah swasta sehingga sekolah swasta dianggap sebelah mata.

(2) Masih adanya mindset sekolah favorit dan nonfavorit. 

Pemerintah sebenarnya tidak mendikotomikan atau melabeli sekolah favorit dan nonfavorit. Tetapi di lingkungan masyarakat label tersebut sudah lama muncul. 

Sebuah sekolah dilabeli sebagai sekolah favorit biasanya dikaitkan lulusannya yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit dan terkenal, mutu gurunya yang bagus, mutu sarana-prasarananya yang memadai, dan lokasi sekolah yang strategis. 

Orangtua yang berasal dari ekonomi mapan berani membayar mahal asal anaknya masuk sekolah negeri favorit. Pendaftar ke sekolah favorit selalu membludak, melebihi kuota yang telah ditentukan. Bahkan jauh-jauh hari sebelum dibuka PPDB, sudah ada waiting list. Hal ini yang kadang mengundang potensi pelanggaran terhadap aturan PPDB.

Label sekolah nonfavorit diberikan kepada sekolah yang memiliki ciri kebalikan dari sekolah nonfavorit. Mereka adalah sekolah dengan kualitas rata-rata bahkan dicap bermutu rendah. 

Sekolah model seperti ini kurang dilirik oleh orangtua peserta didik. Dampaknya, sekolah seperti ini kekurangan murid bahkan ada yang sampai ditutup.

(3) Jumlah sekolah negeri belum merata dan belum proporsional dalam satu kecamatan. 

Kebutuhan suatu wilayah terhadap sekolah tentunya bervariasi. Disesuaikan dengan jumlah penduduk usia sekolah, radius, dan jarak antarwilayah. Daerah yang penduduk usia sekolahnya padat walau luas geografisnya tidak terlalu luas tentunya memerlukan sekolah yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang luas tetapi jumlah penduduk usia sekolahnya sedikit. 

Dengan adanya sistem zonasi, orangtua berebut masuk ke sekolah negeri terdekat. Kadang saat rumah orangtua sekitar 500 meter saja, sudah tidak dapat diterima melalui sistem zonasi karena banyak pendaftar.

Berkaitan dengan sarana dan prasana sekolah, Kemendikbudristek telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023 tentang Standar Sarana Dan Prasarana Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah sebagai pedoman pengadaan fasilitas belajar termasuk kaitannya dengan kebutuhan ruang belajar. 

Selain itu, pemerintah daerah dapat menggunakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam bidang pendidikan dan data rapor pendidikan sebagai dasar pengadaan sekolah, ruang belajar, atau sarana lainnya.

Sepanjang jumlah sekolah negeri pada wilayah kecamatan belum proporsional dan sesuai dengan kebutuhan, maka rebutan bangku sekolah negeri akan tetap terjadi. 

Kalau pun ada rencana pembangunan sekolah negeri, bukan berarti selalu mendapatkan sambutan yang positif. Kadang, rencana pembangunan sekolah negeri di sebuah kecamatan mendapatkan penolakan dari pengelola sekolah swasta yang khawatir adanya sekolah negeri akan mengancam keberadaan sekolah swasta.

(4) Masih rendahnya mutu dan daya saing sekolah swasta. 

Saya mengamati, jika mutu sekolah swasta dibagi menjadi dua, ada sekolah swasta yang mutunya tinggi dan ada yang mutunya relatif rendah. Sekolah swasta yang mutu tinggi ditopang oleh yayasan yang kuat, guru yang bermutu, sarana-prasarana, dan tentunya partisipasi biaya dari orangtua peserta didik yang cukup besar. 

Sedangkan sekolah swasta yang mutunya relatif rendah pada umumnya memang dengan kondisi yang serba terbatas, baik dari sisi pendanaan, sarana-prasarana, dan mutu guru. 

Ada sekolah swasta yang menggratiskan biaya sekolah karena yang diterimanya adalah peserta didik dari kalangan ekonomi tidak mampu atau anak yatim, sehingga yayasan sangat bergantung kepada donasi atau sumbangan dari pihak lain, kecuali kalau pengelola yayasan memiliki back up badan usaha atau sumber pendanaan lain.

(5) Biaya sekolah swasta berkualitas mahal sehingga tidak terjangkau oleh orang tua dari kalangan miskin. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan yang layak dan berkualitas tidak akan lepas dari pembiayaan yang memadai. Oleh karena itu, orangtua yang berasal dari kalangan mampu tidak mempersoalkan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh mereka, asal sekolah dapat memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anaknya.

Hal ini dapat dijumpai di sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan yang bonafid. Biaya daftar dengan berbagai pernak-perniknya bisa mencapai belasan sampai puluhan juta. Belum lagi SPP dan biaya lainnya. 

Walau mahal, tetapi pendaftar ke sekolah tersebut tetap banyak karena dikenal berkualitas oleh masyarakat. Walau demikian, masyarakat yang ekonominya lemah tidak dapat mengakses layanan pendidikan di sekolah-sekolah yang mahal karena terkendala biaya.

(6) Biaya sekolah negeri yang (dibuat) gratis menjadi daya tarik orangtua menyekolahkan anak, walau pun mampu ikut membiayai pendidikan.

Pendidikan gratis atau sekolah gratis pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) merupakan amanat UUD 1945. SD dan SMP mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah.

Pada jenjang pendidikan menengah pun (SMA dan SMK), biaya pendidikan digratiskan. Hal ini tidak lepas dari janji politik kepala daerah. Oleh karena itu, walau mungkin bantuan yang diterima oleh SMA dan SMK belum menutupi kebutuhan sekolah, mereka dilarang melakukan pungutan, karena disamping akan memberatkan orangtua (khususnya yang tidak mampu), juga akan berdampak terhadap citra politik kepada daerah terpilih yang dianggap tidak menepati janji kampanye sehingga bisa berdampak terhadap peluang keterpilihannya pada pilkada periode berikutnya.

(7) Adanya upaya untuk mengakali dan menyiasati aturan PPDB dengan berbagai modus, seperti titip nama anak di KK saudara. 

Bahkan di sebuah daerah, ada satu rumah dengan alamat yang sama ditempati oleh enam KK. Hal itu tentunya sangat tidak logis. Jual beli bangku sekolah juga merupakan modus yang sudah sering kita dengar. 

Hal ini tidak lepas dari ambisi orangtua yang memaksanakan anaknya masuk ke sekolah tertentu dan adanya peluang yang ditawarkan oleh oknum tertentu.

Regulasi, panduan, juklak dan juknis PPDB sudah dibuat baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jika semua pihak taat dan patuh terhadap regulasi yang ada, maka proses PPDB dapat dipastikan berjalan dengan penuh integritas, objektif, dan akuntabel. 

Mengapa polemik masih terjadi saat PPDB? Karena masih ada upaya menyiasati aturan yang ada. Seketat apapun sebuah aturan, kalau tidak ada komitmen untuk dilaksanakan dengan baik, maka akan terus dicari celah dan kelemahannya. 

Yuk, jadikan proses PPDB bermartabat dan tidak memunculkan berpolemik melalui ketaatan terhadap aturan yang telah ditetapkan.

Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun