Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

6 Penyebab Orang Lebih Sulit Menulis dibandingkan Berbicara

12 Januari 2024   10:32 Diperbarui: 12 Januari 2024   10:33 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

6 PENYEBAB ORANG LEBIH SULIT MENULIS DIBANDINGKAN BERBICARA

Oleh: IDRIS APANDI

(Penulis Buku Menulis dengan Gaya Bodo Amat dan Buku Eksis dengan Menulis)

Pada sebuah diskusi dengan seorang teman, saya ditanya olehnya. Pertanyannya, "Mengapa orang lebih mudah berbicara dibandingkan menulis?". Hal tersebut didasari oleh pengalamannya sendiri. Dia sanggup berbicara berjam-jam, tetapi saat dia ingin menuliskan hal yang dibicarakannya menjadi sebuah tulisan, dia kesulitan. Nge-blank. Bahkan hanya untuk menuliskan satu paragraf saja, dia kesulitan menemukan dan menyusun kata dan kalimat yang tepat. Kalau pun dia dapat menuliskannya, kalimat yang ditulisnya sulit dipahami, bahasanya muter-muter, dan kurang enak dibaca.

Mengacu kepada hal tersebut, saya menganalisis, ada 6 penyebab orang lebih sulit menulis dibandingkan berbicara. Pertama, budaya lisan sudah lebih awal diperkenalkan dalam kehidupan manusia. Saat janin masih dalam kandungan, sang calon ibu sudah memperkenalkan budaya lisan. Sambil mengusap-ngusap perutnya, sambil memperhatikan jabang bayi yang bergerak-gerak dalam perutnya, dia mengajak calon anaknya tersebut mengobrol. Walau tentunya tidak berkomunikasi secara langsung, tapi secara emosional dan psikologis, ada interaksi antara sang calon ibu dan calon anak melalui sentuhan tangan dan suasana hati yang senang dari sang calon ibu.

Kedua, menulis baru diajarkan saat anak masuk SD melalui pelajaran Calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Kemudian lanjut ke Tingkat SMP, SMA/SMK, dan perguruan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, pelajaran menulis biasanya lakukan melalui mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa asing, dan muatan lokal bahasa daerah. Di perguruan tinggi, ada materi menulis untuk jurnalistik, komunikasi, bahasa, sastra, atau menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) untuk penelitian.

Kemampuan berbahasa terdiri dari 4 hal, yaitu 1) membaca, 2) menyimak, 3) berbicara dan 4) menulis. Dari keempat kemampuan tersebut, kemampuan menulis adalah kemampuan yang paling sulit dikuasai. Salah satu teman saya yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia mengakui hal tersebut. "Menulis itu sulit. Tidak seperti berbicara.", Katanya. Mengapa? Karena menulis memerlukan keterampilan khusus dan kadang "terpaku" oleh teori-teori menulis, sehingga ada perasaan takut salah dan takut di-bully oleh orang lain.

Ketiga, budaya lisan pada masyarakat dibandingkan dengan menulis. Orang bisa asik ngobrol atau curhat berjam-jam dengan temannya. Namun, dia belum tentu mampu menuliskan hal yang dibicarakan tersebut secara tertulis. Kalau pun dituliskan, seperti menulis surat, dia memerlukan waktu khusus dan konsentrasi dalam menuliskannya. Pada waktu melakukannya, belum tentu selancar pada saat berbicara.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa jika seseorang berbicara dengan santai, dia bisa mengucapkan 100-130 kata per menit. Sementara yang lain menyebutkan 120-150 kata per menit. Situs Mentafloss menyebutkan bahwa dalam sebuah pidato sebanyak 150-180 kata per menit. Sementara situs Improve Podcast menyebutkan bahwa orang bisa berbicara 100 dan 150 kata per menit.

Dari konteks jender, dalam sehari wanita bisa berbicara 20 ribu kata, sedangkan pria hanya 7000 kata. Mengapa demikian? Karena wanita memiliki protein FOXP2 yang lebih banyak daripada pria. Protein itu merupakan protein bahasa. Universitas Maryland menguji sampel dari sepuluh anak laki-laki dan perempuan berusia antara tiga dan lima tahun. Hasilnya, anak-anak perempuan memiliki protein tersebut 30 persen lebih banyak dibandingkan FOXP2 pada anak laki-laki. Dan ini terletak di area otak yang menjadi kunci bahasa pada manusia. Peneliti juga menunjukkan kalau perempuan senang mengobrol sejak usia muda. Anak perempuan belajar berbicara lebih awal dan lebih cepat dibanding anak laki-laki. Anak perempuan memiliki kosakata yang lebih banyak dan berbagai jenis kalimat dibandingkan anak laki-laki dalam usia yang sama.

Keempat, berbicara tidak perlu seterstruktur menulis. Kebanyakan orang bisa ngobrol atau diskusi sambil bekerja, belajar, kuliah, makan, jalan-jalan, atau sambil santai bersama keluarga. Saat bicara atau mengobrol, diskusi, atau debat, orang bisa cas-cis-cus dengan lancar. Namun, sangat sedikit orang yang mampu menulis dalam keadaan seperti itu. Sekali lagi, karena menulis perlu kemampuan khusus, perlu waktu khusus, dan perlu konsentrasi. Susunan katanya harus tertata rapi dan sistematis. Tidak seperti berbicara yang kadang susunannya menclak-menclok, diselingi cerita ini dan itu tapi masih bisa diterima dan dipahami oleh audience.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun