6 PENYEBAB ORANG LEBIH SULIT MENULIS DIBANDINGKAN BERBICARA
Oleh: IDRIS APANDI
(Penulis Buku Menulis dengan Gaya Bodo Amat dan Buku Eksis dengan Menulis)
Pada sebuah diskusi dengan seorang teman, saya ditanya olehnya. Pertanyannya, "Mengapa orang lebih mudah berbicara dibandingkan menulis?". Hal tersebut didasari oleh pengalamannya sendiri. Dia sanggup berbicara berjam-jam, tetapi saat dia ingin menuliskan hal yang dibicarakannya menjadi sebuah tulisan, dia kesulitan. Nge-blank. Bahkan hanya untuk menuliskan satu paragraf saja, dia kesulitan menemukan dan menyusun kata dan kalimat yang tepat. Kalau pun dia dapat menuliskannya, kalimat yang ditulisnya sulit dipahami, bahasanya muter-muter, dan kurang enak dibaca.
Mengacu kepada hal tersebut, saya menganalisis, ada 6 penyebab orang lebih sulit menulis dibandingkan berbicara. Pertama, budaya lisan sudah lebih awal diperkenalkan dalam kehidupan manusia. Saat janin masih dalam kandungan, sang calon ibu sudah memperkenalkan budaya lisan. Sambil mengusap-ngusap perutnya, sambil memperhatikan jabang bayi yang bergerak-gerak dalam perutnya, dia mengajak calon anaknya tersebut mengobrol. Walau tentunya tidak berkomunikasi secara langsung, tapi secara emosional dan psikologis, ada interaksi antara sang calon ibu dan calon anak melalui sentuhan tangan dan suasana hati yang senang dari sang calon ibu.
Kedua, menulis baru diajarkan saat anak masuk SD melalui pelajaran Calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Kemudian lanjut ke Tingkat SMP, SMA/SMK, dan perguruan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, pelajaran menulis biasanya lakukan melalui mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa asing, dan muatan lokal bahasa daerah. Di perguruan tinggi, ada materi menulis untuk jurnalistik, komunikasi, bahasa, sastra, atau menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) untuk penelitian.
Kemampuan berbahasa terdiri dari 4 hal, yaitu 1) membaca, 2) menyimak, 3) berbicara dan 4) menulis. Dari keempat kemampuan tersebut, kemampuan menulis adalah kemampuan yang paling sulit dikuasai. Salah satu teman saya yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia mengakui hal tersebut. "Menulis itu sulit. Tidak seperti berbicara.", Katanya. Mengapa? Karena menulis memerlukan keterampilan khusus dan kadang "terpaku" oleh teori-teori menulis, sehingga ada perasaan takut salah dan takut di-bully oleh orang lain.
Ketiga, budaya lisan pada masyarakat dibandingkan dengan menulis. Orang bisa asik ngobrol atau curhat berjam-jam dengan temannya. Namun, dia belum tentu mampu menuliskan hal yang dibicarakan tersebut secara tertulis. Kalau pun dituliskan, seperti menulis surat, dia memerlukan waktu khusus dan konsentrasi dalam menuliskannya. Pada waktu melakukannya, belum tentu selancar pada saat berbicara.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa jika seseorang berbicara dengan santai, dia bisa mengucapkan 100-130 kata per menit. Sementara yang lain menyebutkan 120-150 kata per menit. Situs Mentafloss menyebutkan bahwa dalam sebuah pidato sebanyak 150-180 kata per menit. Sementara situs Improve Podcast menyebutkan bahwa orang bisa berbicara 100 dan 150 kata per menit.
Dari konteks jender, dalam sehari wanita bisa berbicara 20 ribu kata, sedangkan pria hanya 7000 kata. Mengapa demikian? Karena wanita memiliki protein FOXP2 yang lebih banyak daripada pria. Protein itu merupakan protein bahasa. Universitas Maryland menguji sampel dari sepuluh anak laki-laki dan perempuan berusia antara tiga dan lima tahun. Hasilnya, anak-anak perempuan memiliki protein tersebut 30 persen lebih banyak dibandingkan FOXP2 pada anak laki-laki. Dan ini terletak di area otak yang menjadi kunci bahasa pada manusia. Peneliti juga menunjukkan kalau perempuan senang mengobrol sejak usia muda. Anak perempuan belajar berbicara lebih awal dan lebih cepat dibanding anak laki-laki. Anak perempuan memiliki kosakata yang lebih banyak dan berbagai jenis kalimat dibandingkan anak laki-laki dalam usia yang sama.
Keempat, berbicara tidak perlu seterstruktur menulis. Kebanyakan orang bisa ngobrol atau diskusi sambil bekerja, belajar, kuliah, makan, jalan-jalan, atau sambil santai bersama keluarga. Saat bicara atau mengobrol, diskusi, atau debat, orang bisa cas-cis-cus dengan lancar. Namun, sangat sedikit orang yang mampu menulis dalam keadaan seperti itu. Sekali lagi, karena menulis perlu kemampuan khusus, perlu waktu khusus, dan perlu konsentrasi. Susunan katanya harus tertata rapi dan sistematis. Tidak seperti berbicara yang kadang susunannya menclak-menclok, diselingi cerita ini dan itu tapi masih bisa diterima dan dipahami oleh audience.
Pidato, khususnya pidato untuk acara formal pada umumnya menggunakan teks tertulis lalu dibacakan saat pidato. Pada sebuah instansi, biasanya ada staf atau ahli yang khusus menyusun naskah pidato yang akan dibacakan oleh pejabat atau pimpinannya. Isi naskah pidato disesuaikan dengan kegiatan atau acara yang dilaksanakan. Sambutan atau pidato formal dalam bentuk tertulis karakternya lebih ketat dari sisi tata bahasa dan sistematika, sehingga bersifat normatif kadang terasa terdengar membosankan. Berbeda dengan pidato yang dilakukan tanpa teks. Orang yang berpidato lebih bisa berimprovisasi. Tapi, syaratnya, orangnya harus memliki kemampuan public speaking yang baik, menguasa materi yang disampaikan, dan memiliki jam terbang yang tinggi.
Kelima, sebagai sebuah ilmu, baik berbicara maupun menulis pada dasarnya ada teorinya. Di toko-toko buku banyak buku panduan berbicara dan buku panduan menulis. Walau demikian, dalam pergaulan di masyarakat, banyak orang yang lancar berbicara walau tanpa mempelajari ilmu berbicara. Mengapa? Karena selain karena "bakat alam", berbicara (budaya lisan) merupakan sebuah kebiasaan. Berbeda dengan menulis. Walau ilmunya sudah dipelajari pun belum tentu lancar saat menulis, karena memerlukan latihan, jam terbang, dan utamanya minta serta passion dalam hal menulis.
Kadang semakin banyak orang belajar teori menulis, maka semakin takut untuk menulis karena dia terkungkung oleh teori. Seolah menulis harus sempurna seperti yang dia pelajari pada buku pedoman menulis. Padahal, bisa saja orang yang menulis buku teori tentang menulis pun, pada awal dia jadi penulis, dia babak belur. Banyak kesalahan yang dilakukan pada karya tulisnya, tapi dia tidak patah semangat. Dia terus belajar sampai terampil, kemudian terbiasa, sampai menjadi penulis yang hebat.
Keenam, berbicara bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa mempertimbangkan latar belakang dan profesi, sedangkan menulis diidentikkan dengan kegiatan akademik. Menulis identik dengan tugas atau aktivitas pelajar, mahasiswa, guru, dosen, peneliti, dan kalangan intelektual lainnya. Walau pada faktanya, tidak setiap kalangan akademisi dan terdidik, serta intelek lancar dalam menulis. Mungkin saja, karya tulis terakhir yang dibuat adalah tugas akhir sebagai syarat lulus kuliah. Setelah itu, belum mau menulis lagi, malas menulis, atau karena pekerjaannya tidak menuntut untuk banyak menulis.
Berdasarkan kepada 6 hal tersebut di atas, jika orang mau menulis selancar berbicara, maka dia harus mau terus belajar, percaya diri menulis, siap mental menghadapi komentar pedas dan kritikan orang lain. Plus memiliki passion yang tinggi untuk belajar menulis. Kemampuan berbahasa setiap orang memang beragam. Ada yang jago bicara tapi tidak jago menulis. Ada yang jago menulis tapi kurang pandai berbicara. Ada pula yang piawai berbicara sekaligus terampil menulis.
Berbahagialah orang yang jago yang bicara sekaligus jago menulis. Anda adalah orang istimewa karena sedikit orang yang memiliki dua kompetensi ini sekaligus. Tularkanlah kemampuan Anda tersebut kepada orang lain supaya kemampuan Anda semakin berkembang dan semakin bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H