Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Memutus Rantai dan Efek Domino Perundungan

12 Februari 2023   12:45 Diperbarui: 13 Februari 2023   07:45 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perundungan juga menjadi wujud kesewenang-wenangan pihak tertentu (pelaku) agar pihak yang dirundungnya (korban) taat dan mengikuti perintah pelaku. Korban perundungan secara psikologis bisa mengalami luka batin dan trauma yang mendalam.

Memori kelam pernah mendapat perundungan di masa lalu akan menjadi "bom waktu" bagi korbannya. Pelaku perundungan bukan tidak mungkin sebelumnya adalah korban perundungan. Dia menjadikan kisah masa lalunya sebagai dasar untuk melakukan aksi "balas dendam" atau melanjutkan "tradisi" kekerasan yang diwariskan dari para seniornya.

Oleh karena itu, anak atau remaja baik pelaku atau korban perundungan tetap harus mendapatkan perhatian dan pembinaan karena mereka tetap punya masa depan yang harus diperjuangkan. 

Peran keluarga, lembaga pendidikan, lembaga perlindungan anak, dan psikolog tentunya sangat diperlukan untuk memperhatikan anak dan remaja yang terlibat dalam kasus perundungan baik sebagai pelaku atau pun sebagai korban.

Selain adanya payung regulasi perlindungan terhadap anak, pendidikan dengan mengedepankan kasih sayang, welas asih, dan memanusiakan adalah upaya yang dinilai bisa mencegah perundungan. 

Proses pendidikan humanistik atau memanusiakan manusia diharapkan bisa menyentuh hati setiap peserta untuk menghargai dan menghormati harkat dan martabat sesama manusia.

Inilah pekerjaan rumah pendidikan kita saat ini agar proses pendidikan bukan hanya berorientasi kepada penguasaan pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor), tetapi kepada penguatan karakter (afektif) sebagai fondasi membangun manusia yang berbudi pekerti luhur.

Hal ini perlu dilakukan mulai dari keluarga sebagai lingkungan masyarakat yang paling kecil. Kemudian dilaksanakan di sekolah/madrasah, dan di lingkungan masyarakat. 

Sesuai dengan konsep Tri Pusat Pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, ketiga institusi ini harus bersinergi, berkolaborasi dan bahu membahu mencegah terjadinya perundungan.

Tantangannya adalah ketiga institusi ini belum benar-benar bisa bersinergi dan berkolaborasi dalam pelaksanaan pendidikan. Urusan pendidikan lebih banyak diserahkan kepada sekolah/madrasah sedangkan di lingkungan keluarga dan masyarakat banyak terjadi praktik yang justru bertentangan dengan hal yang diajarkan di sekolah/madrasah. 

Dan saat terjadi kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar, pihak yang dianggap paling bertanggung jawab adalah sekolah/madrasah. Hal tersebut tentunya kurang fair mengingat pendidikan merupakan tanggung jawab bersama keluarga, sekolah/madrasah, dan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun