*MEMUTUS RANTAI DAN EFEK DOMINO PERUNDUNGAN*
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Seorang siswa sebuah SMK di Palembang Sumatera Selatan menusuk temannya dengan senjata tajam hingga tewas (Detik, 09/02/2023). Peristiwa ini dipicu oleh perundungan oleh yang dilakukan oleh korban terhadap pelaku.Â
Korban sering mengejek pelaku bahwa pelaku bau badan dan menyuruhnya membeli deodorant untuk menghilangkan bau badannya.Â
Ejekan korban yang terus menerus tersebut membuat pelaku yang dikenal pendiam dan senang menyendiri tersebut sakit hati dan hilang kesabaran lalu menusuk korban dengan senjata tajam hingga tewas.
Jika kita runut kasus di atas, penusukan yang termasuk ke dalam tindakan kriminal atau kekerasan yang dilakukan oleh pelaku dipicu oleh tindakan kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan oleh korban terhadap pelaku.Â
Jadi, sebuah kasus kekerasan kadang tidak berdiri sendiri. Ada hubungan sebab akibat. Pelaku penusukan awalnya adalah korban (objek) dari pelaku perundungan yang kemudian berubah status sebagai korban penusukan.
Dari perspektif pendidikan, kedua pihak ini bisa dikategorikan sebagai korban. Korban apa?Â
Korban lingkungan pergaulan, korban media sosial yang di dalamnya banyak bertebaran berita dan konten kekerasan, atau korban game online yang juga banyak berisi game kekerasan.Â
Dampak negatif ini menyebabkan baik pelaku maupun korban sama-sama rugi. Yang satu meninggal dunia dan yang satu harus berurusan dengan hukum karena melakukan penusukan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Kasus di atas bisa jadi merupakan sebuah fenomena gunung es dari banyak kasus-kasus perundungan (bully) yang terjadi di sekolah/madrasah.Â
Kasus perundungan atau perpeloncoan saat orientasi peserta didik baru atau penerimaan mahasiswa baru, kasus senior menganiaya junior sampai tewas, kasus perundungan atau perpeloncoan saat kegiatan ekstrakurikuler menjadi potret buram dunia pendidikan kita. Perundungan pun bisa terjadi di tempat kerja, komunitas, lembaga, dan tempat lainnya.
Pelaku perundungan pada umumnya adalah pihak yang merasa punya dominasi, kekuatan, atau kekuasaan terhadap korbannya yang kondisinya dianggap lemah, memiliki kekurangan fisik, kekurangan mental, introvert, atau menyendiri.Â
Perundungan bisa dalam bentuk melukai atau menyakiti fisik (anggota tubuh) korban, menghina, Â mendiskriminasi, mengintimidasi, mengibaratkan manusia dengan benda atau hewan tertentu dengan tujuan untuk merendahkan harkat dan martabatnya, dan sebagainya.
Kemendikbud saat ini tengah bersemangat mengampanyekan pencegahan 3 masalah pendidikan, yaitu; (1) perundungan (bullying), (2) kekerasan seksual, dan (3) intoleransi.Â
Payung hukumnya yaitu Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.Â
Proyek Pelajar Pancasila yang saat ini dilaksanakan bersamaan dengan implementasi kurikulum merdeka juga bertujuan untuk membentuk karakter peserta didik yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, saling menghormati dan saling menghargai antarsesama manusia yang diharapkan berdampak semakin menurunnya kasus perundungan (bullying) dan kekerasan di sekolah/madrasah.
Munculnya kasus kekerasan yang dipicu oleh perundungan tentunya membuat kita prihatin. Kasus perundungan atau kasus kekerasan di lingkungan sekolah/madrasah harus dilihat secara holistik hubungan sebab-akibatnya karena tidak berdiri sendiri.Â
Anak yang tinggal di lingkungan keluarga yang terbiasa dengan perkataan, sikap, dan perilaku kekerasan berpotensi mengikuti hal yang terjadi atau dialami di lingkungan keluarganya.Â
Atau sebaliknya, anak yang menjadi korban kekerasan di rumah akan berubah menjadi anak yang murung, pendiam, dan kurang percaya diri, tapi emosinya bisa "meledak" dan  marah membabi buta saat dia sering mendapat perundungan dari temannya.
Tindakan merundung dianggap sebagai hal yang lumrah di dalam lingkungan yang "mentradisikan" hal tersebut sebagai wujud memunculkan ketaatan atau memunculkan rasa takut dari pihak yang lemah kepada pihak yang kuat.Â
Perundungan juga menjadi wujud kesewenang-wenangan pihak tertentu (pelaku) agar pihak yang dirundungnya (korban) taat dan mengikuti perintah pelaku. Korban perundungan secara psikologis bisa mengalami luka batin dan trauma yang mendalam.
Memori kelam pernah mendapat perundungan di masa lalu akan menjadi "bom waktu" bagi korbannya. Pelaku perundungan bukan tidak mungkin sebelumnya adalah korban perundungan. Dia menjadikan kisah masa lalunya sebagai dasar untuk melakukan aksi "balas dendam" atau melanjutkan "tradisi" kekerasan yang diwariskan dari para seniornya.
Oleh karena itu, anak atau remaja baik pelaku atau korban perundungan tetap harus mendapatkan perhatian dan pembinaan karena mereka tetap punya masa depan yang harus diperjuangkan.Â
Peran keluarga, lembaga pendidikan, lembaga perlindungan anak, dan psikolog tentunya sangat diperlukan untuk memperhatikan anak dan remaja yang terlibat dalam kasus perundungan baik sebagai pelaku atau pun sebagai korban.
Selain adanya payung regulasi perlindungan terhadap anak, pendidikan dengan mengedepankan kasih sayang, welas asih, dan memanusiakan adalah upaya yang dinilai bisa mencegah perundungan.Â
Proses pendidikan humanistik atau memanusiakan manusia diharapkan bisa menyentuh hati setiap peserta untuk menghargai dan menghormati harkat dan martabat sesama manusia.
Inilah pekerjaan rumah pendidikan kita saat ini agar proses pendidikan bukan hanya berorientasi kepada penguasaan pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor), tetapi kepada penguatan karakter (afektif) sebagai fondasi membangun manusia yang berbudi pekerti luhur.
Hal ini perlu dilakukan mulai dari keluarga sebagai lingkungan masyarakat yang paling kecil. Kemudian dilaksanakan di sekolah/madrasah, dan di lingkungan masyarakat.Â
Sesuai dengan konsep Tri Pusat Pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, ketiga institusi ini harus bersinergi, berkolaborasi dan bahu membahu mencegah terjadinya perundungan.
Tantangannya adalah ketiga institusi ini belum benar-benar bisa bersinergi dan berkolaborasi dalam pelaksanaan pendidikan. Urusan pendidikan lebih banyak diserahkan kepada sekolah/madrasah sedangkan di lingkungan keluarga dan masyarakat banyak terjadi praktik yang justru bertentangan dengan hal yang diajarkan di sekolah/madrasah.Â
Dan saat terjadi kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelajar, pihak yang dianggap paling bertanggung jawab adalah sekolah/madrasah. Hal tersebut tentunya kurang fair mengingat pendidikan merupakan tanggung jawab bersama keluarga, sekolah/madrasah, dan masyarakat.
Pers dan media sosial memiliki peran yang sangat strategis dalam mengampanyekan antiperundungan. Kita berharap pemerintah dan pengelola media sosial menyortir dan memblokir konten-konten kekerasan dan banyak menyampaikan konten-konten yang mendidik.Â
Begitu pun peran LSM, dunia usaha, dan pihak lainnya diharapkan untuk mencegah efek domino perundungan sekaligus memutus rantai perundungan. untuk mewujudkan generasi Indonesia cerdas dan berkarakter berdasarkan Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H