"Ade, ayo bangun dan mandi. Siap-siap pergi ke sekolah," ucap sang ibu pada anaknya yang masih bermalas-malasan di tempat tidurnya.
"Emangnya sekarang masih musim sekolah mak?" tanya si anak pada ibunya sambil sedikit membuka selimut yang menutup wajahnya.Â
"Iya. Ade harus ke sekolah hari ini. 'Kan kemarin diumumkan di grup WA oleh wali kelas. Ayo cepat bangun dan segera mandi biar tidak terlambat ke sekolah," jawab sang ibu sambil mendekati anaknya yang masih tertidur.
"Malas mak ah kalau aku harus pergi ke sekolah. Aku udah enak begini. Tiduran setiap hari di rumah sambil main game online sama teman-temanku. Belajar 'kan bisa pakai HP," kilah sang anak sambil membalikkan badan dan menutup kepalanya dengan selimut.Â
Mendengar hal tersebut sang ibu tambah ngegas kepada anaknya, "Ade... ayo bangun!!! Jangan malas-malasan. Mau emak pukul kamu?"
Dialog imajiner yang saya buat di atas mungkin saja terjadi dalam dunia nyata. Di mana selama Belajar dari Rumah (BDR) sebagai dampak pandemi Covid-19 banyak peserta didik yang sudah "nyaman" berada di rumah dan "lupa" dengan sekolahnya.Â
Orangtua pun banyak yang sudah pusing dengan anak-anaknya yang bermalas-malasan, sulit disuruh belajar di rumah, bahkan malas saat harus belajar ke sekolah jika PTM terbatas dilaksanakan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) membuka opsi Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas pada tahun ajaran 2020-2021, khususnya di daerah zona hijau Covid-19.Â
Pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah untuk berani mengambil opsi PTM Terbatas kalau situasi dan kondisinya memungkinkan. SKB 4 Menteri tetap menjadi patokan dalam pelaksanaan PTM Terbatas tersebut.
Program vaksinasi untuk pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik saat sedang dilakukan oleh pemerintah sebagai bagian dari persiapan PTM terbatas.Â
Hal ini penting untuk dilakukan mengingat pandemi Covid-19 masih terjadi. Walau vaksin tidak dapat 100% mencegah masuknya virus ke dalam tubuh, tetapi minimal dapat meningkatan imunitas tubuh.
Uji coba PTM Terbatas telah dilakukan di sekolah-sekolah di beberapa daerah. Hal ini pun terus dievaluasi dengan melihat perkembangan kasus Covid-19 di daerah masing-masing.Â
PTM Terbatas dilakukan sebagai langkah untuk mencegah semakin menurunnya mutu pembelajaran (learning loss) sebagai dampak pandemi Covid-19.
Mengingat sudah lamanya peserta didik tidak masuk ke sekolah, maka saat mereka masuk kembali ke sekolah, tentunya perlu adaptasi kembali. Kondisi psiko-sosial mereka harus dipulihkan terlebih dahulu.Â
BDR yang terlalu lama telah banyak berdampak terhadap perubahan karakter, kebiasaan, menurunnya motovasi belajar, dan menurunnya hasil belajar peserta didik.Â
Anak-anak pun ada yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Belum lagi faktor keterbatasan sarana pendukung BDR seperti gawai, laptop, dan akses internet yang juga berdampak terhadap menurunnya motivasi dan hasil belajar peserta didik.
Pada saat dimulainya PTM terbatas, hati dan jiwa mereka harus disambungkan kembali dengan lingkungan sekolah yang sudah lama tidak dikunjungi. BDR antara guru dan peserta didik pun perlu disesuaikan dengan pembelajaran pada saat tatap muka.Â
Oleh karena itu, pada saat minggu pertama PTM terbatas, sebaiknya jangan langsung diisi dengan pembelajaran, tetapi diisi dengan kegiatan untuk memulihkan kembali kondisi psiko-sosial peserta didik.
Pemulihan psiko-sosial peserta didik bisa dikemas mirip pelaksanaan Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB) seperti pengenalan guru, tenaga kependidikan, dan teman-teman yang selama ini yang hanya bisa dilihat secara daring.
Pengenalan protokol kesehatan Covid-19, pengenalan moda pembelajaran daring, luring, atau kombinasi daring-luring (blended learning), pengenalan tata tertib sekolah, pengenalan budaya sekolah, pengenalan kegiatan ekstrakurikuler, dan sebagainya.
Pemulihan psiko-sosial peserta didik perlu dilakukan mengingat adanya transisi antara BDR dengan PTM di sekolah. kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pada saat BDR akan berbeda dengan saat PTM, termasuk kebiasaan peserta didik di rumah.Â
Pada saat BDR, dia mungkin suka susah bangun tidur saat pagi-pagi, banyak rebahan, dan relatif lebih santai. Sedangkan saat PTM, dia harus mengubah kebiasaan tersebut.Â
Oleh karena itu, pihak sekolah pun perlu memberikan sosialisasi kepada orang tua terkait dengan transisi dari BDR ke PTM terbatas seperti pengondisian anak untuk siap PTM ke sekolah, penyiapan protokol kesehatan, menyiapkan bekal anak menuju ke sekolah, keamanan saat anak pergi ke sekolah dan pulang dari sekolah.
Peran guru, tenaga kependidikan, pembina ekstrakurikuler diperlukan pada saat pemulihan psiko-sosial peserta didik pada saat PTM. Mereka bisa menjadi pemandu atau pendamping bagi para peserta didik.Â
Kegiatan yang menyenangkan sekaligus mendidik seperti bernyanyi, mendongeng, olah raga, kuis, pameran/pajangan karya/ kreativitas peserta didik, observasi lingkungan sekolah dapat menjadi alternatif kegiatan selama masa pemulihan psiko-sosial peserta didik, tentunya dengan tetap mematuhi prokes. Wallaahu a'lam.
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H