Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masih Relevankah Skripsi sebagai Syarat Kelulusan Calon Sarjana?

8 November 2019   22:11 Diperbarui: 8 November 2019   22:28 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)

Skripsi merupakan kata yang populer di kalangan mahasiswa tingkat akhir. Mengapa demikian? Karena mereka harus menyusun skripsi sebagai salah satu syarat lulus menjadi sarjana. 

Menyusun skripsi termasuk ke dalam SKS perkuliahan. Pada umumnya skripsi yang ditulisnya berupa penelitian hubungan variabel x dan variabel y, pengaruh variabel x terhadap variabel y, atau penelitian deskriptif kualitatif.

Dalam prosesnya ada yang berjalan mulus, setengah mulus, tidak mulus, bahkan drop out gara-gara tidak dapat menyelesaikannya sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan atau karena sudah tidak mau lagi melanjutkannya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor mahasiswanya itu sendiri atau faktor dari luar mahasiswa.

Ada beberapa hal yang menyebabkan seorang mahasiswa tidak menyelesaikan skripsinya, antara lain; masalah yang diteliti tidak sesuai dengan minatnya sehingga dia mengalami kesulitan dan kurang motivasi menyelesaikannya, kurang memiliki kemampuan menulis yang  baik, komunikasi dengan pembimbing bermasalah, malas bimbingan kepada pembimbing, faktor biaya, faktor mental, dan sebagainya.

Menulis skripsi menjadi hal yang horor yang bagi sebagian mahasiswa karena kemampuannya terbatas dalam menulis, walau sebenarnya saat perkuliahan mereka terbiasa membuat makalah atau tugas lainnya.

 Mengapa demikian? Karena proses menulis skripsi disamping harus sesuai dengan panduan yang telah diterbitkan oleh perguruan tinggi tempatnya kuliah, juga harus siap "dibantai" oleh dosen pembimbing karena dianggap banyak kesalahan, dan perbedaan selera atau pendapat antara pembimbing 1 dan 2 baik dalam dalam penulisan maupun metodologi penelitian yang digunakan. Hal inilah yang membuat sang mahasiswa bingung pendapat siapa yang harus dijadikan patokan. Dampaknya, kadang dia malas untuk melanjutkannya.

Saya pernah mendengar pendapat seorang ahli bahwa seseorang yang belajar termasuk mahasiswa, setelah lulus tidak semuanya akan menjadi akademisi, peneliti, atau ilmuwan, tetapi banyak juga bekerja dalam bidang lain. 

Bagi yang lanjut bekerja setelah lulus sarjana, skripsi merupakan karya ilmiah yang pertama sekaligus terakhir baginya (kecuali kalau dia melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 dan S-3 setelah bekerja).

Setelah lulus dari sidang skripsi, sang mahasiswa merasa lepas dari penderitaan dan tugas yang selama ini membebaninya. Mungkin setelah itu, dia tidak lagi membuka skripsi yang telah dia susun dengan berdarah-darah. 

Dia hanya menjadikannya sebagai kenang-kenangan dan menjadi penghias rak bukunya. Intinya, menulis skripsi baginya hanya sekadar syarat formil lulus kuliah.

Sedangkan bagi yang lulus sarjana lalu menjadi akademisi seperti guru dan dosen, karya tulis ilmiah menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam tugasnya sehari-hari. Oleh karena itu, pengalamannya menulis skripsi bisa menjadi dasar baginya dalam menulis karya-karya tulis ilmiah berikutnya seperti laporan penelitian, prosiding makalah, atau artikel jurnal.

Mengingat bahwa seorang sarjana setelah lulus tidak semuanya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau menjadi akademisi, menurut saya perlu dikaji ulang skripsi yang termasuk jenis karya tulis penelitian sebagai syarat formal kelulusan seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi (PT).

Selain skripsi, PT perlu membuat alternatif lain syarat lulus mahasiswa, seperti membuat sebuah produk atau proyek kegiatan yang lebih aplikatif, operasional, dan lebih bermanfaat baginya dalam menghadapi masa depan. 

Jangan sampai setelah lulus sarjana hanya menjadi pencari kerja, tetapi dapat menciptakan lapangan kerja sendiri. Bukankah presiden Joko Widodo juga berharap bahwa setiap lulusan baik lulusan SMA/SMK maupun PT tidak hanya menjadi pencari kerja tetapi menjadi wirausaha? Apalagi di era revolusi industri 4.0 dimana setiap orang perlu kreatif dan inovatif agar bisa bersaing?

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa lulusan SMK dan PT menjadi penyumbang pengangguran tertinggi di Indonesia. Skripsi yang jumlah halamannya bisa mencapai ratusan lembar itu tidak lagi berarti baginya, karena disamping tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja, juga tidak menjadi nilai tambah baginya saat mencari kerja.

Mendikbud Nadiem Makarim saat ini diberi tugas berat oleh presiden Joko Widodo untuk menata secara besar-besaran dunia pendidikan di Indonesia, dan menurut saya, salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah tidak lagi menjadikan skripsi sebagai syarat kelulusan seorang mahasiswa dari PT, tetapi dapat menempuh alternatif lain seperti yang saya sebutkan di atas, berupa karya inovatif atau proyek yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun