"Terus tahun berapa datang ke Cimahi mas?" tanyaku lagi padanya. "Saya datang ke sini tahun 2016. Datang ke seorang teman yang jualan di jalan Gandawijaya. Lalu mencari kontrakan, mencoba jualan sendiri, hingga akhirnya saya punya empat gerobak mie ayam yang didagangkan oleh beberapa anak buah saya. Saya pun jualan mie ayam di Jawa. Sebenarnya adik saya yang megang gerobak ini (sambil tangannya menunjuk gerobak  mie ayam di depannya) tapi lagi pulang ke Jawa, jadi saya yang menggantikannya." "Oh gitu mas." Saya menimpali perjelasannya.
Dia melanjutkan ceritanya, "dalam usaha, modal saya itu kejujuran dan kepercayaan. Kalau usaha tidak jujur, maka tidak akan berkah. Saya ingin punya usaha yang bisa tenang beribadah" sekali lagi dia mengulangi perkataannya. "Banyak yang sudah belasan tahun usaha tapi sulit berkembang, bahkan terjerat rentenir, karena tidak bisa mengelola usahanya. Usaha itu harus penuh perhitungan dan harus hemat." Sambil menganggukkan kepala, saya pun menimpali, "bagus sekali mas. Saya setuju."
Melihat saya serius memperhatikan penjelasannya, dia semakin semangat. Dia lalu berkata "saya kalau bulan puasa berhenti jualan di Cimahi.  Saya pulang ke Jawa. Saya ingin fokus ibadah. Makanya, tiga bulan sebelum puasa, saya kejar setoran buat bekal bulan puasa. Walau demikian, alhamdulillah rezeki mah ada saja mas buat ngasih THR ke empat orang anak buah saya. Kebetulan mereka orang Garut. Kalau terus ngejar urusan dunia gak akan ada habisnya."
Mendengar hal tersebut, jleb, dada saya terasa sesak. Dia seperti menampar wajah saya. Dalam hati saya bicara "Hebat sekali dia. Bulan Ramadan dia istirahat usaha dan fokus ibadah, sedangkan saya, bulan selama bulan Ramadan, paling antara 1-2 mingguan ada di rumah bersama dengan keluarga, dan selebihnya tugas ke luar daerah. Kadang buka puasa dalam perjalanan, salat tarawih munfarid, dan sahur sendiri. Dia pun sudah bisa bisa memberikan THR bagi beberapa karyawannya, sedangkan saya mah justru mendapatkan 'THR' dari negara dalam bentuk gaji ke-14."
Dia pun menyampaikan bahwa selain membuka usaha jualan mie ayam, dia pun menabung untuk modal membuka usaha jasa travel Bandung-Jawa. "lumayan lah mas, 'kan suka ada penumpang atau paket ke Jawa, mengapa tidak kita mencoba usaha dibidang travel, karena kitah hidup itu harus ada peningkatan?" Â katanya, dengan penuh semangat.
Tidak terasa sudah hampir satu jam saya mengobrol dengan sang penjual mie ayam. Saya yang biasanya berbicara di depan audience, justru lebih banyak diam dan mendengar penjelasan tukang mie ayam. Saya seperti sedang diberi kuliah kehidupan olehnya. Saya yang biasa nyerocos di depan peserta seminar atau workshop, saat itu lebih banyak diam dan menyimak kata demi kata yang keluar dari sang penjual mie ayam. Mengingat waktu yang telah sore, saya pun lalu "menginterupsi" penjual mie ayam tersebut yang sedang semangat menceritakan kisah hidup dan cita-citanya. Saya berterima kasih atas pengalaman (ilmu) yang telah diberikannya, lalu saya berpamitan.
Hari itu, selain saya kenyang oleh mie ayamnya yang enak, juga mendapatkan banyak ilmu kehidupan darinya. Mencari ilmu memang bisa dari kapan saja dan dari siapa saja, termasuk dari seorang tukang mie ayam yang sepintas mungkin tidak terlihat berpendidikan tinggi. Dalam konteks pendidikan karakter yang saat ini sedang digemborkan-gemborkan pada berbagai jenjang pendidikan, secara konsep atau secara akademik, mungkin dia kurang memahaminya, tetapi secara substansi, saat itu dia sedang menguliahi saya tentang pendidikan karakter.
Dalam pengamatan saya, ada sejumlah nilai pendidikan karakter yang telah diajarkannya, seperti religius (yakin atas kekuasaan dan kasih sayang Allah dan pentingnya ibadah sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada-Nya), kejujuran, pentingnya ikhtiar, kerja keras, sungguh-sungguh, fokus, optimis, kreatif, mandiri, peduli, gotong royong, dan senang berbagi kepada orang lain.
Dari kisah hidupnya, saya melihat bahwa keprihatinan, kesusahan, kekecewaan, kegagalan, kondisi yang serba sulit tidak membuatnya putus asa, tetapi menjadi cambuk dan motivasi bagi baginya untuk mau bekerja keras mengubah hidupnya. Banyak orang sukses yang justru masa lalunya penuh dengan penderitaan. Tapi di sisi lain, banyak orang yang awalnya hidup kaya, bermewah-mewahan, tetapi bangkrut karena dia terlena dengan kejayaan yang dimilikinya.
Anak-anaknya yang sudah hidup dengan penuh kemudahan dan bertabur fasilitas dari orang tuanya, mentalnya lembek, cengeng, mudah menyerah, dan ketergantungan kepada orang tua walau pun sudah dewasa dan berumah tangga. Hidup mengandalkan warisan orang tua, tidak bisa mengelolanya dengan baik, warisan habis, usaha gulung tikar, dan akhirnya jatuh miskin.
Walau demikian, tidak semua orang kaya memanjakan anak-anaknya. Ada juga juga orang kaya yang mendidik anak dengan tegas serta hidup penuh dengan sederhana dan bersahaja. Bill Gates, bos Microsoft, walau dikenal sebagai salah satu orang terkaya di dunia, tetapi mendidik anaknya untuk bekerja keras, disiplin, tidak memanjakannya, menjauhkannya dari gawai sampai berumur 14 tahun.