PENDIDIKAN KARAKTER DARI SEORANG TUKANG MIE AYAM
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara LPMP Jawa Barat/Penulis Buku Gerakan Literasi dan Penguatan Pendidikan Karakter)
Suatu hari, setelah saya menjadi pemateri workshop peningkatan profesionalisme guru di sebuah gedung di kota Cimahi, perut saya pun terasa lapar. Ketika saya bergegas akan pulang, di depan tempat kegiatan ada tukang mie ayam. Perut saya yang lapar pun terasa semakin lapar. Langkah kaki saya yang asalnya mau ke tempat parkir, berbelok ke arah gerobak mie ayam tersebut. "Mas, bikin 1 (mangkok) ya" pinta saya sambil duduk di sebuah kursi plastik berwarna hijau. "siaaaap..." jawab sang mas penjual mie ayam dengan wajah yang ramah.
Saya pun menunggu tidak terlalu lama. Kebetulan saat itu memang sedang sepi. Saya satu-satunya pembeli saat itu. "Ini pak" kata mas penjual mie ayam sambil menyodorkan semangkuk mie ayam yang tampak panas berasap. Dengan semangat saya pun menerimanya. Ingin sekali segera menyantapnya karena lapar dan tergoda oleh wangi mie ayam.
Sambil makan mie ayam, saya mulai bertanya kepadanya. "sejak kapan mangkal disini mas?", lalu dia menjawab, "sudah dua tahun mas (dia memanggil saya "mas" padahal saya bukan Jawa)." Saya bertanya lagi, "gimana jualan disini mas? Ramai?", "Alhamdulillah, ramai mas. Banyak yang beli dari warga komplek dan tamu-tamu yang datang ke sini." "sebelum di sini, mangkal dimana?", tanyaku lagi padanya. Lalu dia menjawab, "awalnya saya ikut dagang di jalan Gandawijaya. Setelah itu, saya mencoba berdagang sendiri. Keliling-keliling komplek dan perkantoran sambil mendorong gerobak mie ayam hingga akhirnya saya mangkal di sini mas." Jawabnya dengan penuh antusias.
Melihat sikapnya yang antusias dan tampaknya supel dan senang ngobrol, maka saya pun ingin bertanya lebih lanjut. "Kapan pertama kali datang ke Cimahi mas?" tanyaku kepadanya. Dia yang awalnya berdiri, lalu duduk di depan saya. "Saya dari Jawa (tidak menyebut asal kotanya) datang ke Bandung tahun 2008. Ikut jualan beras bersama kakak saya di pasar Sederhana. Terus saya mencoba jualan sendiri, tapi bangkrut karena tertipu orang hingga 100 juta rupiah. Saya pernah mencoba usaha kredit alat-alat dapur sampai ke daerah Cisarua dan Parongpong, tapi kredit macet, banyak yang tidak bayar. Akhirnya usaha saya pun bangkrut."
Dia sejenak membetulkan menggeser posisi duduknya, dan melanjutkan ceritanya. "terus saya pernah ikut jualan bakso malang bersama dengan beberapa orang lainnya. Kami tinggal di kontrakan yang sempit dan kurang bersih. Kontrakan tersebut selain tempat untuk istirahat, juga tempat untuk meracik bahan-bahan bakso malang. Mau ibadah (salat) saja susah, tempatnya kotor.Â
Batin saya tidak tenang, untuk apa saya usaha tetapi tidak bisa beribadah dengan nyaman? Akhirnya saya pun berhenti jualan bakso malang. Saya ingin punya usaha yang bisa beribadah dengan tenang. Biar berkah mas", tegasnya.
Mendengar perjelasannya tersebut, sambil sesekali makan mie ayam yang dibuatnya, saya dalam hati berkata "ini orang fondasi agamanya bagus juga. Bicara usaha tidak sekedar bicara penghasilan, tapi juga mengaitkannya dengan masalah ketenangan beribadah."
"Terus tahun berapa datang ke Cimahi mas?" tanyaku lagi padanya. "Saya datang ke sini tahun 2016. Datang ke seorang teman yang jualan di jalan Gandawijaya. Lalu mencari kontrakan, mencoba jualan sendiri, hingga akhirnya saya punya empat gerobak mie ayam yang didagangkan oleh beberapa anak buah saya. Saya pun jualan mie ayam di Jawa. Sebenarnya adik saya yang megang gerobak ini (sambil tangannya menunjuk gerobak  mie ayam di depannya) tapi lagi pulang ke Jawa, jadi saya yang menggantikannya." "Oh gitu mas." Saya menimpali perjelasannya.
Dia melanjutkan ceritanya, "dalam usaha, modal saya itu kejujuran dan kepercayaan. Kalau usaha tidak jujur, maka tidak akan berkah. Saya ingin punya usaha yang bisa tenang beribadah" sekali lagi dia mengulangi perkataannya. "Banyak yang sudah belasan tahun usaha tapi sulit berkembang, bahkan terjerat rentenir, karena tidak bisa mengelola usahanya. Usaha itu harus penuh perhitungan dan harus hemat." Sambil menganggukkan kepala, saya pun menimpali, "bagus sekali mas. Saya setuju."
Melihat saya serius memperhatikan penjelasannya, dia semakin semangat. Dia lalu berkata "saya kalau bulan puasa berhenti jualan di Cimahi.  Saya pulang ke Jawa. Saya ingin fokus ibadah. Makanya, tiga bulan sebelum puasa, saya kejar setoran buat bekal bulan puasa. Walau demikian, alhamdulillah rezeki mah ada saja mas buat ngasih THR ke empat orang anak buah saya. Kebetulan mereka orang Garut. Kalau terus ngejar urusan dunia gak akan ada habisnya."
Mendengar hal tersebut, jleb, dada saya terasa sesak. Dia seperti menampar wajah saya. Dalam hati saya bicara "Hebat sekali dia. Bulan Ramadan dia istirahat usaha dan fokus ibadah, sedangkan saya, bulan selama bulan Ramadan, paling antara 1-2 mingguan ada di rumah bersama dengan keluarga, dan selebihnya tugas ke luar daerah. Kadang buka puasa dalam perjalanan, salat tarawih munfarid, dan sahur sendiri. Dia pun sudah bisa bisa memberikan THR bagi beberapa karyawannya, sedangkan saya mah justru mendapatkan 'THR' dari negara dalam bentuk gaji ke-14."
Dia pun menyampaikan bahwa selain membuka usaha jualan mie ayam, dia pun menabung untuk modal membuka usaha jasa travel Bandung-Jawa. "lumayan lah mas, 'kan suka ada penumpang atau paket ke Jawa, mengapa tidak kita mencoba usaha dibidang travel, karena kitah hidup itu harus ada peningkatan?" Â katanya, dengan penuh semangat.
Tidak terasa sudah hampir satu jam saya mengobrol dengan sang penjual mie ayam. Saya yang biasanya berbicara di depan audience, justru lebih banyak diam dan mendengar penjelasan tukang mie ayam. Saya seperti sedang diberi kuliah kehidupan olehnya. Saya yang biasa nyerocos di depan peserta seminar atau workshop, saat itu lebih banyak diam dan menyimak kata demi kata yang keluar dari sang penjual mie ayam. Mengingat waktu yang telah sore, saya pun lalu "menginterupsi" penjual mie ayam tersebut yang sedang semangat menceritakan kisah hidup dan cita-citanya. Saya berterima kasih atas pengalaman (ilmu) yang telah diberikannya, lalu saya berpamitan.
Hari itu, selain saya kenyang oleh mie ayamnya yang enak, juga mendapatkan banyak ilmu kehidupan darinya. Mencari ilmu memang bisa dari kapan saja dan dari siapa saja, termasuk dari seorang tukang mie ayam yang sepintas mungkin tidak terlihat berpendidikan tinggi. Dalam konteks pendidikan karakter yang saat ini sedang digemborkan-gemborkan pada berbagai jenjang pendidikan, secara konsep atau secara akademik, mungkin dia kurang memahaminya, tetapi secara substansi, saat itu dia sedang menguliahi saya tentang pendidikan karakter.
Dalam pengamatan saya, ada sejumlah nilai pendidikan karakter yang telah diajarkannya, seperti religius (yakin atas kekuasaan dan kasih sayang Allah dan pentingnya ibadah sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada-Nya), kejujuran, pentingnya ikhtiar, kerja keras, sungguh-sungguh, fokus, optimis, kreatif, mandiri, peduli, gotong royong, dan senang berbagi kepada orang lain.
Dari kisah hidupnya, saya melihat bahwa keprihatinan, kesusahan, kekecewaan, kegagalan, kondisi yang serba sulit tidak membuatnya putus asa, tetapi menjadi cambuk dan motivasi bagi baginya untuk mau bekerja keras mengubah hidupnya. Banyak orang sukses yang justru masa lalunya penuh dengan penderitaan. Tapi di sisi lain, banyak orang yang awalnya hidup kaya, bermewah-mewahan, tetapi bangkrut karena dia terlena dengan kejayaan yang dimilikinya.
Anak-anaknya yang sudah hidup dengan penuh kemudahan dan bertabur fasilitas dari orang tuanya, mentalnya lembek, cengeng, mudah menyerah, dan ketergantungan kepada orang tua walau pun sudah dewasa dan berumah tangga. Hidup mengandalkan warisan orang tua, tidak bisa mengelolanya dengan baik, warisan habis, usaha gulung tikar, dan akhirnya jatuh miskin.
Walau demikian, tidak semua orang kaya memanjakan anak-anaknya. Ada juga juga orang kaya yang mendidik anak dengan tegas serta hidup penuh dengan sederhana dan bersahaja. Bill Gates, bos Microsoft, walau dikenal sebagai salah satu orang terkaya di dunia, tetapi mendidik anaknya untuk bekerja keras, disiplin, tidak memanjakannya, menjauhkannya dari gawai sampai berumur 14 tahun.
Pola pikir seperti penjual mie ayam tersebut di atas merupakan modal penting untuk hidup sukses. Dia cepat belajar, tanggap terhadap perubahan, pandai mencari dan memanfaatkan peluang. Oleh karena itu, tidak heran kalau usahanya maju dengan pesat. Dia menyampaikan bahwa dalam sehari, penghasilan bersih dari dua cabang usaha mie ayam yang dikelolanya rata-rata 400-500 ribu rupiah. Bahkan kalau lagi ramai bisa sampai 1 juta rupiah. Sepi-sepinya sehari masih bisa dapat 200 ribu rupiah.
Dia menyampaikan pentingnya keuletan dan passion dalam berusaha. Intinya, bekerja haru dengan hati, jangan setengah-setengah. Dia sudah mengalami pahit getirnya ditipu orang dan jatuh bangun dalam berusaha. Dan passionnya ternyata berjualan mie ayam. Dan hebatnya, dia bisa membeli gerobak mie ayam orang yang dulu dijadikannya sebagai "guru" berdagang mie ayam. Sebelum berpisah, dia pun menekankan tentang pentingnya menjauhi rentenir, karena banyak temannya yang usahanya sulit berkembang bahkan bangkrut karena terjerat oleh rentenir. Dalam hati saya bicara "ini tukang mie ayam punya jiwa dakwah juga ternyata."
Terima kasih mas penjual mie ayam atas ilmu dan pengalamanya. Semoga usahamu makin maju dan cita-citamu tercapai. Melihat semangat dan keuletanmu, tidak mustahil anda akan jadi bos atau juragan mie ayam. Dalam hati, saya bertanya apakah harus ikut-ikutan jualan mie ayam? Ah tidak juga, karena setiap orang punya jalan hidup masing-masing. Wallaahu a'lam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H