Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pesan Ekologis dari Situ Cisanti

21 Juni 2018   17:41 Diperbarui: 21 Juni 2018   18:08 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PESAN EKOLOGIS DARI SITU CISANTI

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

Nama situ (danau) Cisanti yang berada di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung Jawa Barat makin dikenal sejak Presiden Joko Widodo berkunjung ke tempat tersebut bulan Februari 2018 untuk mencanangkan gerakan Citarum Harum sekaligus menanam pohon di tempat tersebut. Saya pun penasaran ingin berkunjung ke tempat tersebut. Dan tiga hari yang lalu (19/06/2018), saya berkesempatan untuk berkunjung ke tempat tersebut.

Untuk mencapai lokasi tersebut, ada dua jalur yang dapat digunakan, yaitu melalui jalur Ciparay, Pacet, Kertasari, atau jalur Banjaran, Cimaung, Pangalengan Kertasari. Walau memutar dan butuh waktu tempuh lebih lama, sekitar 2,5 jam dari Soreang, saya lebih memilih mengambil jalur via pangalengan, karena disamping jalannya yang tidak terlalu macet, jalurnya pun menyajikan pemandangan yang indah. Jalannya relatif mulus, berkelok-kelok, melewati perkebunan teh dan bangunan tua peninggalan Belanda.

Dalam perjalanan menu ke situ Cisanti dari arah Pangalengan, biasanya para wisatawan berhenti atau beristirahat di sekitar perkebunan teh Malabar Pangalengan atau pabrik teh Kertasarie untuk sekedar berfoto-foto.  Walau demikian, jalan dari perkebunan teh Malabar menuju Situ Cisanti memang masih ada yang kondisinya rusak dan berlubang. Oleh karena itu, warga ada yang suka melakukan perbaikan secara swadaya dan biasanya ada pemberian alakadarnya dari pengguna jalan yang lewat.

Situ Cisanti dikenal sebagai Nol-kilometer-nya sungai Citarum, karena dari sanalah sumber air yang mengaliri sepanjang sungai Citarum. Saat ini situ Cisanti tengah ditata dan dijaga oleh TNI dan beberapa instansi pemerintah dan BUMN dalam rangka Gerakan Citarum Harum. Gerakan ini sebagai bagian dari kegiatan menyelamatkan dan membersihkan sungai Citarum.

Sebagaimana diketahui bahwa kondisi sungai Citarum sepanjang 300 Km sangat mengenaskan. Kotor dan bau dipenuhi oleh limbah pabrik dan rumah tangga. Bahkan, karena kondisinya tersebut, tahun 2010 sebuah studi World Bank menjadikan sungai Citarum dijuluki sebagai sungai terkotor di dunia. Dalam sehari, 100 ton tinja masuk ke sungai Citarum, ditambah 280 ton limbah beracun dari pabrik. (Sumber: www.idntimes.com).

Hal ini tentunya sangat memalukan sekaligus memprihatinkan. Air sungai bukannya menjadi sumber kehidupan, tetapi menjadi sumber penyakit. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk membersihkan sungai Citarum. 

Selain penegakkan hukum terhadap pabrik yang membuang sampah ke sungai Citarum, juga ada program edukasi dan sosialisasi kepada warga masyarakat terhadap pentingnya menjaga kebersihan sungai. Harus diakui, upaya-upaya tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil. Walau demikian, sedikit demi sedikit kondisi sungai Citarum terus dibenahi.

Situ Cisanti yang berada di kaki gunung Wayang merupakan sumber mata air purba. Usianya sampai saat ini diprkirakan sekitar 12 juta tahun. Ada tujuh mata air yang mengairi Situ Cisanti, yaitu, Pangsiraman, Cikoleberes, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadane, Cihaniwung, dan Cisanti. Mata air Situ Cisanti dipercaya memiliki khasiat, karena situ ini pernah menjadi petilasan Prabu Siliwangi.

Oleh karena itu, ada yang suka berziarah dan mengambil mata airnya dengan terlebih dahulu meminta izin dan disertai oleh kuncennya. Dengan demikian, Situ Cisanti selain sebagai objek wisata ekologis, juga objek wisata sejarah.

Untuk memasuki areal situ, pengunjung dikenakan tiket masuk Rp 12.000 per orang. Ketika memasuki lingkungan situ, suasana sejuk akan terasa, karena banyak pepohonan yang rindang. Di bagian depan tersedia tempat parkir yang cukup luas, beberapa warung, kantor pengelola, dan sebuah tempat pertemuan. Untuk menuju ke lokasi situ, dari pintu gerbang, pengunjung perlu berjalan, menuruni anak tangga beberapa meter, lalu akan melihat situ yang cukup luas.

Tulisan "Citarum Kilometer 0" terlihat di seberang situ. Di tengah situ ada pengunjung yang sedang mengelilingi situ dengan menaiki perahu sewaan.  Saya sendiri memilih berjalan kaki mengelilingi situ seluas 5 hektar tersebut searah jarum jam, dari arah kiri ke arah kannan. Di lingkungan situ, ada spot-spot yang menarik untuk mengambil foto, tentunya dengan latar utamanya adalah air situ Cisanti dan tulisan "Citarum Kilometer 0" yang menjadi spot yang paling diminati. 

Saya pun berhenti sebentar untuk mengambil foto di belakang tulisan tersebut, untuk kenang-kenangan. Di dekat situ ada yang sengaja cucurak (makan-makan) bekal dari rumah. Mereka tampak bergembira dan menikmati santapan yang tersaji di atas tikar.

Sambil berjalan mengelilingi situ, saya memperhatikan mata air Cikawedukan, salah satu mata air yang mengairi situ Cisanti. Airnya jernih, bersih, dan segar. Sedangkan air di situ, walau jernih, tapi terlihat hijau gelap karena terpengaruh rumput-rumput yang ada di dalam situ.

Lalu saya melanjutkan berkeliling hingga sampai ke sebuah bangunan yang dipercaya sebagai petilasan Dipati Ukur yang dijaga oleh seorang kuncen bernama Atep. Saya pun berbincang-bincang sejenak dengannya.  Dia baru sekitar empat tahun menjadi kuncen, melanjutkan tugas ayahnya.

Peziarah yang berkunjung ke tempat tersebut bukan hanya dari Bandung dan wilayah Jawa Barat saja, tetapi luar provinsi seperti dari Bali pun ada. Di dekat petilasan ada musala dan beberapa mata air yang bisa digunakan oleh pengunjung. Untuk masuk ke lingkungan petilasan, ada tata cara dan etikanya. Hal yang pertama dilakukan adalah memberitahukan dan meminta izin kepada kuncen. Setelah itu, kuncen menemani masuk ke dalam petilasan, dan memimpin doa.

Setelah berbincang dengan kuncen penunggu petilasan, saya lanjut mengelilingi situ hingga sampai ke saluran tempat keluarnya air dari situ Cisanti ke bawah menuju sungai Citarum. Di situ saya berhenti sejenak, memperhatikan aliran air yang mengalir deras ke melalui saluran keluar. Airnya jernih, dan bersih. Bisa dikatakan layak pakai dan layak konsumsi.

Sambil melihat air yang mengalir, saya merenung, air dari situ Cisanti ini mengalir sepanjang sungai Citarum. Dulu, sekian tahun silam, digunakan untuk mengairi sawah dan dan untuk kebutuhan air bersih masyarakat. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, kondisi air sungai Citarum sudah tercemar limbah pabrik dan limbah rumah tangga. Kotor, bau, jadi sumber penyakit. 

Jangankah digunakan untuk kebutuhan hidup manusia, ikan-ikan pun banyak yang mati. Padahal alam telah memberikan air yang begitu jernih dan bersih. Ini semua karena kejahatan, keserakahan, dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan.

Banyak manusia yang bisanya cuma merusak lingungan, dan abai untuk memeliharanya, padahal air sungai Citarum adalah titipan anak cucu kita. Kalau bagi orang yang sadar terhadap pentingnya kelestarian dan kebersihan lingkungan, kondisi seperti itu tentunya sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Saya bertaya dalam hati, apakah setiap pengunjung ke situ Cisanti berpikir sampai ke sana atau hanya sekedar berwisata saja?

Pemerintah provinsi Jawa Barat pernah menargetkan tahun 2018 air sungai Citarum layak diminum, tetapi faktanya kondisi air sungai Citarum masih kotor. Saling tuding pun terjadi antara pemerintah kabupaten dan kota yang teraliri sungai Citarum, tentang siapa penyebab dan siapa pihak yang harus bertanggung jawab memelihara sungai Citarum.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah pusat mengambil alih tata kelola pemulihan sungai Citarum program Citarum Harum.  Targetnya,  tahun 2025 sungai Citarum bersih dan airnya layak untuk diminum. Hal ini merupakan hal yang patut didukung, walau tentunya memerlukan keseriusan dari semua pihak, mulai dari pemerintah, aparat-aparat yang terlibat, pabrik-pabrik dan warga yang bermukim dari di sepanjang sungai Citarum. 

Penegakkan hukum bagi pabrik yang membuang sampah ke harus benar-benar dilaksanakan. Masyarakat pun harus diedukasi untuk tidak membuang sampah sembarangan ke sungai Citarum.

Pesan Ekologis

Melihat beningnya air yang mengalir dari beberapa mata mata air yang mengairi situ Cisanti. Saya merenung, inilah air yang menjadi sumber kehidupan manusia sepanjang sungai Citarum. Apa yang akan terjadi jika mata air ini kering? Tentunya masyarakat pun akan terkena dampak negatifnya. Oleh karena itu, gunung dan pohon-pohon yang ada di sekitarnya harus dijaga, jangan ditebang untuk kelangsungan mata-mata air tersebut.

Manusia jangan hanya mengeksploitasi alam untuk kepentingan ekonomi, tetapi harus bertanggung jawab menjaganya. Manusia modern harus banyak belajar kepada kepada masyarakat-masyarakat adat untuk menjadikan alam sebagai sumber kehidupan sekaligus menjaga, merawat, dan memeliharanya untuk warisan bagi generasi masa depan.

Andai Situ Cisanti bisa bicara,  mungkin dia berpesan kepada semua orang bahwa harus sadar terhadap pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan, utamanya air sebagai sumber kehidupan. Saya berpikir, suatu saat pengusaha pabrik orang-orang yang suka membuang sampah sembarangan ke sungai Citarum perlu datang ke situ Cisanti dan melihat langsung jernihnya mata-mata air yang mengiri situ Cisanti sampai ke sungai Citarum. 

Apakah mereka masih tega mencemari sungai Citarum ketika alam telah menganugerahkan air bersih kepada manusia? Semoga pesan ini dibaca oleh semua orang yang masih memiliki nurani untuk menyelamatkan dan memelihara lingkungan, utamanya situ Cisanti dan sungai Citarum. Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun