Situ Cisanti yang berada di kaki gunung Wayang merupakan sumber mata air purba. Usianya sampai saat ini diprkirakan sekitar 12 juta tahun. Ada tujuh mata air yang mengairi Situ Cisanti, yaitu, Pangsiraman, Cikoleberes, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadane, Cihaniwung, dan Cisanti. Mata air Situ Cisanti dipercaya memiliki khasiat, karena situ ini pernah menjadi petilasan Prabu Siliwangi.
Oleh karena itu, ada yang suka berziarah dan mengambil mata airnya dengan terlebih dahulu meminta izin dan disertai oleh kuncennya. Dengan demikian, Situ Cisanti selain sebagai objek wisata ekologis, juga objek wisata sejarah.
Untuk memasuki areal situ, pengunjung dikenakan tiket masuk Rp 12.000 per orang. Ketika memasuki lingkungan situ, suasana sejuk akan terasa, karena banyak pepohonan yang rindang. Di bagian depan tersedia tempat parkir yang cukup luas, beberapa warung, kantor pengelola, dan sebuah tempat pertemuan. Untuk menuju ke lokasi situ, dari pintu gerbang, pengunjung perlu berjalan, menuruni anak tangga beberapa meter, lalu akan melihat situ yang cukup luas.
Tulisan "Citarum Kilometer 0" terlihat di seberang situ. Di tengah situ ada pengunjung yang sedang mengelilingi situ dengan menaiki perahu sewaan. Â Saya sendiri memilih berjalan kaki mengelilingi situ seluas 5 hektar tersebut searah jarum jam, dari arah kiri ke arah kannan. Di lingkungan situ, ada spot-spot yang menarik untuk mengambil foto, tentunya dengan latar utamanya adalah air situ Cisanti dan tulisan "Citarum Kilometer 0" yang menjadi spot yang paling diminati.Â
Saya pun berhenti sebentar untuk mengambil foto di belakang tulisan tersebut, untuk kenang-kenangan. Di dekat situ ada yang sengaja cucurak (makan-makan) bekal dari rumah. Mereka tampak bergembira dan menikmati santapan yang tersaji di atas tikar.
Sambil berjalan mengelilingi situ, saya memperhatikan mata air Cikawedukan, salah satu mata air yang mengairi situ Cisanti. Airnya jernih, bersih, dan segar. Sedangkan air di situ, walau jernih, tapi terlihat hijau gelap karena terpengaruh rumput-rumput yang ada di dalam situ.
Lalu saya melanjutkan berkeliling hingga sampai ke sebuah bangunan yang dipercaya sebagai petilasan Dipati Ukur yang dijaga oleh seorang kuncen bernama Atep. Saya pun berbincang-bincang sejenak dengannya. Â Dia baru sekitar empat tahun menjadi kuncen, melanjutkan tugas ayahnya.
Peziarah yang berkunjung ke tempat tersebut bukan hanya dari Bandung dan wilayah Jawa Barat saja, tetapi luar provinsi seperti dari Bali pun ada. Di dekat petilasan ada musala dan beberapa mata air yang bisa digunakan oleh pengunjung. Untuk masuk ke lingkungan petilasan, ada tata cara dan etikanya. Hal yang pertama dilakukan adalah memberitahukan dan meminta izin kepada kuncen. Setelah itu, kuncen menemani masuk ke dalam petilasan, dan memimpin doa.
Setelah berbincang dengan kuncen penunggu petilasan, saya lanjut mengelilingi situ hingga sampai ke saluran tempat keluarnya air dari situ Cisanti ke bawah menuju sungai Citarum. Di situ saya berhenti sejenak, memperhatikan aliran air yang mengalir deras ke melalui saluran keluar. Airnya jernih, dan bersih. Bisa dikatakan layak pakai dan layak konsumsi.
Sambil melihat air yang mengalir, saya merenung, air dari situ Cisanti ini mengalir sepanjang sungai Citarum. Dulu, sekian tahun silam, digunakan untuk mengairi sawah dan dan untuk kebutuhan air bersih masyarakat. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, kondisi air sungai Citarum sudah tercemar limbah pabrik dan limbah rumah tangga. Kotor, bau, jadi sumber penyakit.Â
Jangankah digunakan untuk kebutuhan hidup manusia, ikan-ikan pun banyak yang mati. Padahal alam telah memberikan air yang begitu jernih dan bersih. Ini semua karena kejahatan, keserakahan, dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan.