Mohon tunggu...
Rial Roja
Rial Roja Mohon Tunggu... Editor - Digital Marketing/Content Writer

Mari berbagi cerita dan inspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Gengsi Mengalahkan Logika, Fenomena Pernikahan Berbiaya Tinggi

23 November 2024   17:48 Diperbarui: 26 November 2024   22:42 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan. (Sumber: porstooleh/ Freepik via kompas.com) 

Banyak orang memandang pernikahan sebagai peristiwa sekali seumur hidup yang harus dirayakan dengan cara yang unik. Namun, di dunia media sosial yang glamor, esensi sakral dari pernikahan sering kali digantikan oleh fokus pada kesombongan dan persaingan status. 

Tak jarang perayaan pernikahan menguras sumber keuangan dan berujung pada utang yang besar. Tren pernikahan beranggaran tinggi ini bukan hanya fase sementara; ini mencerminkan budaya yang semakin terobsesi dengan citra.

Pernikahan Impian yang Menguras Kantong

Banyak pasangan muda kini menganggap pernikahan mereka sebagai kesempatan utama untuk menunjukkan kesuksesan mereka. 

Mereka memilih lokasi eksklusif, dekorasi mewah, pakaian desainer, dan memanfaatkan teknologi canggih untuk dokumentasi, yang semuanya dianggap penting. Sayangnya, kebutuhan finansial elemen-elemen tersebut seringkali melebihi kemampuannya.

Ironisnya, banyak masyarakat yang merasa harus mengadakan perayaan mewah karena norma sosial. Mereka takut pesta yang lebih sederhana akan membuat mereka tampak tidak mampu menafkahi atau menghargai pasangannya. Hal ini mengakibatkan keputusan keuangan yang seharusnya sederhana menjadi terjerat dalam masalah status.

Media Sosial dan Standar Tidak Realistis

Peran media sosial sangat penting dalam mendorong tren pernikahan mahal. Dengan postingan dari pernikahan selebriti dan influencer pernikahan yang memamerkan detail luar biasa, platform ini menciptakan cita-cita yang tidak realistis bagi pasangan pada umumnya. 

Gambar-gambar indah yang dihias dengan bunga-bunga mahal dan para tamu yang berpakaian elegan dapat mendorong banyak orang untuk meniru kemewahan tersebut, meskipun itu berarti melampaui batas finansial mereka.

Selain itu, ada peningkatan tekanan untuk "melestarikan" momen-momen ideal ini di media sosial. Tidaklah cukup hanya dengan mengadakan pernikahan; acara tersebut harus ramah Instagram dan menerima banyak suka. Di sinilah dorongan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi online terkadang mengalahkan alasan logis.

Utang untuk Momen Satu Hari

Foto Cincin Pernikahan. (Sumber: qimono)
Foto Cincin Pernikahan. (Sumber: qimono)

Masalah ini tidak hanya menguras tabungan tetapi juga mendorong banyak pasangan untuk meminjam uang. Mulai dari menggunakan kartu kredit hingga meminjam dari bank atau anggota keluarga, utang sering kali merupakan solusi cepat untuk menutupi pengeluaran pesta. 

Namun dampak jangka panjangnya seringkali diabaikan. Usai hajatan, seringkali pasangan harus menghadapi kendala keuangan yang dapat mempengaruhi stabilitas rumah tangganya.

Alih-alih memulai hidup bersama atas dasar stabilitas, banyak pasangan malah terjebak dalam siklus stres akibat masalah keuangan. Hal ini menimbulkan kontradiksi yang mencolok: hari yang dimaksudkan untuk merayakan kegembiraan, ironisnya, bisa menjadi sumber ketidakbahagiaan mereka.

Apakah Gengsi Selalu Harus Mengalahkan Logika?

Menelaah fenomena ini bukan berarti menentang kemegahan pernikahan. Setiap pasangan hendaknya mempunyai kebebasan untuk merayakan cintanya sesuai dengan impian dan kemampuannya. Namun, penting untuk mengingat tujuan sebenarnya dari pernikahan: komitmen antara dua orang bukan kompetisi sosial.

Menyesuaikan besaran perayaan dengan kemampuan finansial bisa menjadi solusi cerdas, dengan tetap menjaga sentuhan personal. Misalnya, pernikahan yang bersifat convenience tidak hanya lebih hemat namun juga lebih signifikan, karena hanya melibatkan teman dan keluarga terdekat. Ini tentang merayakan kisah cinta Anda, bukan membuktikan status sosial Anda.

Mengubah Narasi Budaya

Untuk mengatasi situasi ini diperlukan perubahan narasi budaya. Pernikahan harus menjadi perayaan sejati, bukan ajang untuk membuktikan diri kepada orang lain. 

Edukasi finansial juga tak kalah pentingnya, terutama bagi pasangan muda. Mereka harus menyadari bahwa kebahagiaan hidup berkeluarga bukan ditentukan oleh seberapa mewah pernikahan mereka, namun oleh kuatnya hubungan mereka ke depan.

Selain itu, kita harus menyadari pentingnya peran media dan industri pernikahan. Daripada berfokus secara eksklusif pada kemewahan, mungkin inilah saatnya bagi mereka untuk mempromosikan pilihan pernikahan yang lebih inklusif dan ramah anggaran. 

Tren ini perlahan mulai muncul, dengan semakin populernya pernikahan ramah lingkungan karena harganya yang terjangkau dan dampak positifnya terhadap masyarakat.

Refleksi untuk Generasi Mendatang

Fenomena pernikahan mewah menunjukkan bagaimana masyarakat kita saat ini fokus pada penampilan. Namun, seiring semakin banyaknya orang yang menyadari nilai kebahagiaan sejati, terdapat optimisme bahwa tren ini akan terus berkembang. 

Penting bagi generasi mendatang untuk memahami bahwa pernikahan adalah tentang membangun masa depan bersama, bukan hanya menghabiskan seluruh sumber daya mereka pada satu hari istimewa.

Yang terakhir, kita harus merenungkan pertanyaan penting ini: haruskah kesombongan lebih diutamakan daripada logika? Jika kita bisa menjawab dengan tulus, kita mungkin mulai mendapatkan perspektif yang lebih sehat tentang cara kita merayakan cinta dan komitmen.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun