Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Buruan, Desa di Kaki Ubud Bali nan Tenang

26 Juni 2024   10:32 Diperbarui: 8 Juli 2024   16:01 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stadion I Wayan Dipta sebagai home based klub Bali united, kebanggaran warga Bali (dok. pribadi)

Sebagian orang menganggap ke Bali sama artinya menikmati pantai, menonton tari kecak, menikmati cafe pinggir pantai malam hari dan berbelanja pernak-pernik dsb. Umumnya, hotel terkonsentrasi di Denpasar, Nusa Dua, Sanur dan wilayah pantai lain.

Saya belum pernah menginap di luar daerah tersebut. Kali ini, saya berbagi lokasi menginap di Bali -- selain diatas--, tak jauh dari Denpasar namun memiliki nuansa unik khas perdesaan Bali. 

Desa Adat Yang Menenangkan

Hamparan sawah padi menghijau membentang di kiri dan kanan jalan sepanjang kendaraanku melaju.

Semenjak keluar jalan utama dari Bandara I Gusti Ngurai Rai, pengemudi membelokkan kendaraanku memasuki jalan kecil yang membelah perkampungan, persawahan dan perkebunan.

Gundukan pegunungan dengan pepohonan, disusul persawahan terasiring menjadi pemandangan perjalanan. "Maaf nih pak, saya memilih jalan alternatif guna menghindari macet", seloroh driver mobil memecah lamunanku.

Desa Buruan, kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, itulah tujuanku. Perjalanan dari bandara international Bali ke sana, kutempuh 1 jam 30 menit.

Bila tidak macet, saya menggapainya 1 (satu) jam an dengan motor. Kegiatanku pada akhir April hingga awal Mei 2024 berlangsung disana.

Menurut Wikipedia, desa Buruan merupakan salah satu desa tua di Bali, berdiri sejak awal abad ke-11 Masehi, bersamaan pendirian Candi Bhurman di hutan Katri. Ia merupakan desa adat dengan tingkat keluasan sekitar 4,21 km (421 Ha) dan memiliki total penduduk 6.488 jiwa (Sensus BPS 2010).

Kontur desa indah, eksotik, lengkap dengan bentangan sawah berkelok mengikuti aliran air di pinggirnya. Jalan kecil -- cukup dua mobil -- beraspal dilengkapi gorong gorong di kiri dan kanannya sebagai jalan air hujan melengkapi kerapian.

Dari atas jalan di tengah perkampungan, saya melihat panorama bukit mungil dengan kontur rimbunan pohon jauh di depan.

Dengan topografi tata ruang seperti itu, udara pagi segar mudah didapat.

Rabu, 1 Mei 2024, pukul 06.00 pagi, kala matahari beranjak naik di pojok sawah, saya keluar penginapan untuk berolahraga dan menghirup udara. Kudengar gemercik air di sawah mengalir deras.

Kulihat para pencari rumput untuk hewan ternak, hilir mudik di pinggir sawah. Murid sekolah beserta orang tua bergegas membuka pintu rumah segera berangkat ke sekolah.

Dari jalanan utama menuju permukiman penduduk yang dikelilingi sawah, saya menelusuri detak kehidupan warga dan arsitek bangunan menarik perhatianku.

Kulihat tempat ibadah biasa disebut "pura" berukuran kecil dan sedang tersebar di beberapa pojok pemukiman. Di tengah kesegaran suasana pagi, bangunan itu memancarkan aura magis. Makin lama kupandang, seolah energiku tersetrum untuk berkosentrasi ke arahnya. Ini mungkin isyarat bagiku untuk sedikit melepaskan segala kepenatan hidup.

Hingga konsentrasiku terjaga setelah kehadiran pemilik dengan dupa yang hendak dibakar.

Pagi itu, suasana lenggang dan saya berdiri sendiri diantara pura di tengah pemukiman. Takut menganggu kekhusyu'an orang beribadah, saya menjauh darinya. Setelahnya kudapati pura lain yang memancarkan aura spiritualitas senada di pojok pemukiman lain.

Bagi warga Bali umumnya, desa Buruan bukan lokasi asing. Tak jauh dari desa ini, berdiri pura terkenal bagi umat Hindu Bali bernama Pura Bukit Dharma Durga Kutri.

Ditilik dari prasasti Bali, Pura Bukit Dharma Durga Kutri berdiri kira-kira sejak 835 caka, dimana saat itu Pulau Bali diperintah Raja Sri Kesari Warmadewa.

Saat berbincang dengan driver mobil on line, ia berkata bahwa puri ini salah satu yang tertua di Bali. Makanya saat tiba waktu khusus dalam kelender Hindu, pengunjungnya datang dari berbagai wilayah di Bali. Saya menyaksikan bagaimana jalan utama dialihkan untuk lahan parkir kendaraan yang berkunjung ke sana.

Menariknya, meski warga desa kuat kuat menjalankan ritual agama dan kepercayaan, mereka saling menghargai dan hidup rukun terhadap warga pemeluk agama lain di desa.

Kulihat penduduk khususnya perempuan berhijab sebagai pertanda muslim berdagang makanan di pinggir jalan pagi, dan berjualan pecel lele dan ayam di malam hari yang kebanyakan dari Jawa Timur.

Stadion I Wayan Dipta sebagai home based klub Bali united, kebanggaran warga Bali (dok. pribadi)
Stadion I Wayan Dipta sebagai home based klub Bali united, kebanggaran warga Bali (dok. pribadi)

Pesona lain, keberadaan stadion I Wan Dipta sebagai home base klub sepak bola Bali United di sini. Stadion ini berdiri di tengah persawahan dan rumah penduduk.

Stadion menjadi pusat kebugaran dan olah raga warga . Banyak jalan besar dan kecil yang berujung menuju kepadanya. Dari jalan raya yang menghubungkan Denpasar ke kawasan Ubud, pengunjung mudah mengaksesnya.

Penulis rasakan kala berlari pagi, tak terasa kakiku menyusuri jalan yang menuju stadion.

Beberapa cafe kecil dan warung makan berdiri di depan stadion. Beberapa orang berlari pagi mengelilingi stadion. Sejumlah anak muda sedang belajar sepeda dan motor persis di depan stadion. Gemercik air mengalir di persawahan di areal samping kiri dan kanan jalan menuju ke sana.

Nyaman Sebagai Lokasi Kos

Selain situasi desa nyaman, adem, dan tentram, harga menu makanan dan minuman juga nyaman di kantong turis lokal. Kala sore, saat baru tiba dan hendak mencari makanan, saya tak kesulitan mendapatkannya.

Di bangunan untuk aktifitas program desa, saya membeli bakso dan ketoprak dengan harga murah. Sebagai contoh, harga satu gorengan masih Rp 1.000,- dan nasi kuning tanpa telor seharga Rp 7.000,-

Hari ini 1 Mei 2024 yang bertepatan hari Buruh International, mendorong penyelenggara mempercepat waktu meeting hingga jam 12.00 siang.

Untuk mengisinya, saya berdikusi dengan teman kemana enaknya senja hari ini. Diputuslah arah tujuan hang out kawasan Ubud, yang tak jauh dari desa Buruan.

Dari berbagai informasi, kawasan Ubud dikenal sebagai pusat tarian dan kerajinan tradisonal. Ia terkenal dengan ketenangan yang terdiri dari hutan hujan dan persawahan padi terasiring, serta pura dan tempat pemujaan, sebagai landskap Bali. Ada situs suci kuno berupa Goa Gajah dan Gunung Kawi, yaitu lokasi pemujaan yang diukir dari batu.

Selain itu, Ubud dikenal sebagai lokasi diselenggarakannya "Ubud Writers and Readers Festival" (UWRF), yaitu festival sastra tahunan sejak 2004. Ia merupakan festival sastra terbesar di Asia Tenggara hingga mampu mendatangkan 170 penulis dan senina dari seluruh dunia.

Di kalender UWRF tahun ini, event akan diadakan pada 23-27 Oktober 2024. Dalam benakku, Ubud sepertinya menawarkan sisi lain dari pulau Dewata.

Atas dasar itu, kami berangkat ke Ubud selepas makan siang. Dengan kendaraan on line, kami berangkat melewati jalan utama Gianyar Ke Ubud di tengah udara panas.

Jalan menanjak ke Ubud, padat merayap. Kendaraan di depan mobulku bagai tak bergerak. Berjalan beberapa meter, berhenti lalu melambat tak bergerak. Apalagi pas kami sampai di kaki kawasan Ubud, antrian kendaraan di jalan raya total tak beranjak.

"Inilah kawasan Ubud Pak. Kini jalanan arahnya sering macet. Welcome to Ubud", ucap driver sambil menyupir. Kami heran dengan situasi, padahal hari ini bukan akhir pekan atau long weekend.

Matahari perlahan tenggelam di ujung persawahan. Saya memandangnya perlahan warna sinarnya kemerah-merahan. Sementara kendaraanku tak beranjak dan masih jauh dari pusat keramaian Ubud.

Penasaran dengan kemacetan, saya iseng mengecek informasi di kanal on line. Ternyata di saat bersamaan, ada event besar bernama BaliSprit Festival (BSF) 2024 berlangsung 1-5 Mei 2024, yang menghadirkan 2.000 turis, 90% dari luar negeri.

BSF merupakan event global yang mempertemukan pegiat dan pelaku yoga, meditasi dan aktifitas lain berhubuyngan pengembangan dalam diri manusia. 

Ada 150 agenda selama festival yang meliputi; lokakarya, yoga, meditasi, penyembuhan, dan pengembangan diri, serta pertunjukan music dan seni (Kompas, 5 Mei 2024). Hatiku berguman, mungkin karena BSF -- salah satunya -- sehingga jalanan ke Ubud tak bergerak.

Wyah Ubud berlokasi di pegunungan Ubud jadi lokasi hangout yang super nyaman (dok. pribadi)
Wyah Ubud berlokasi di pegunungan Ubud jadi lokasi hangout yang super nyaman (dok. pribadi)

Begitu melihat cafe di pinggir jalan dengan panorama sawah nan indah, secepatnya kendaraanku melipir. Di cafe bernama "Kedai D'sawah" berada di kaki kawasan Ubud, akhirnya kami menikmati senja.

Suasananya sejuk, semilir angin sepoi-poi menerpa wajah, persawahan luas penuh bebek berkeliaran mencari makan, dan kesibukan petani menumbuk gabah bergantian.

Kursi dan meja diatur menghadap ke sawah. Saung khusus pribadi berderet di pojok dengan hiasan anggrek ungu dan putih.

Ada kursi bantal besar sebagai alas duduk sambil tiduran persis di tegalan sawah mengadap senja. Nyaman dan membuat pikiran dan situasi psikologi pengunjung releks.

Seluruh udara seolah mendukung semesta menciptakan orang terasa nyaman untuk ngobrol dan hangout bersama kerabat. Kami tertawa lepas membicangkan berbagai hal. Dari kisah lucu hingga cerita dibalik pekerjaan kantor. Harga menu makanan pun ramah dengan kantong.

Hingga di sini, saya masih penasaran Ubud sebagai center ketenangan raga.

Hingga akhirnya Jum'at, 4 Mei 2024, saat kegiatan di desa Buruan kelar, bersama teman saya berhasil menggapai satu tempat hang out terkenal di Ubud, yaitu cafe "Wyah Ubud". Tempat nongkrong ini berada persis di tikungan pegunungan.

Landskap meja dan kursinya dibuat eksotik dan nyaman. Ada saung-saung dimana pengunjung bisa memandang suasana pegunungan dan semak hijau dedaunan.

Keunikan dan ketenangan situasinya berbeda dengan cafe di pinggir sawah. Di sini tak ada pemandangan sawah. Alam keheningan pegunungan beserta bunyi binatang khas hutan mengiringi suasana café.

Sore menjelang malam kala tiba, saya masih menyaksikan para pengunjung asyik berdiskusi di saung dan pojok kursi persis menghadap rimbunan pohon. 

Mereka menyebar di sejumlah pojok. Dari jauh terlihat seperti rumah burung dara yang bergelantung di pohon dan tebing kemiringan.

Di ruang lain terdapat kursi dan meja tertata kekinian, dan di situ anak muda berbicara serius dengan lap top di mejanya.

Pemandangan indah sudut cafe Wyah Ubud, kini jadi lokasi favorit pengunjung (sumber: Stirword.com)
Pemandangan indah sudut cafe Wyah Ubud, kini jadi lokasi favorit pengunjung (sumber: Stirword.com)

Kami langsung mencari lokasi terbaik begitu tiba. Seorang teman mengajak rekannya berdiskusi tema presentasi untuk meeting besok hari.

Saya membaca artikel koran nasional langgananku yang lama belum kubaca. Temanku lain membuka laptop untuk mengecek bahan laporan bulanan proyek.

Menu makanan dan minuman beraneka ragam, dari roti-rotian, kopi, hingga jus buah dsb. Secara umum, caf ini nyaman buat kerja dan membaca buku serta asyik untuk berdiskusi.

Hari perlahan beranjak malam. Gelap pun mewarnai lingkungan cafe. Kini suasana rimbunan hutan terasa. Kala saya pulang dari Ubud ke penginapan, suasana jalan beranjak lenggang. Tak terasa saya terlelap di mobil karena capek.

Hingga kini, suasana desa Buruan dengan ketentramannya dan kawasan sekitar Ubud tak cepat hilang dari ingatan. Rasa tenang dengan balutan spiritualitas kehidupan, serta keseimbangan alam dalam memandang hidup pelajaran tak terlupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun