Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Marano, Desa di Atas Awan nan Indah

31 Juli 2023   12:26 Diperbarui: 1 Agustus 2023   19:43 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalanan sempit, menanjak, dan jurang di kiri-kanan mengiringi akses ke Marano (dok. pribadi)

Marano namanya. Di Google, istilah itu merujuk ke bahasa Spanyol, Italia, dan juga tertulis di kamus bahasa Yahudi. 

Dari free dictionary, bahasa Spanyol menamainya dengan binatang Babi atau pantangan kaum yahudi untuk mengkonsumsi daging babi (Spanish, pig, Marrano {from the Jewish prohibition against eating pork}).

Namun, bukan itu yang saya ceritakan. Marano merupakan desa di ketinggian 900 an meter dari permukaan laut nan indah, tapi terpencil. Ia berada di kec. Kalukku, kab. Mamuju, Sulawesi Barat, dan menyendiri di dataran tinggi. 

Darinya, dengan jelas kita memandang daerah bawahnya termasuk kota Mamuju. Kabut sore dan pagi biasa turun menghiasi kawasan sekitar. 

Hawa dingin tipis-tipis menyergap kulit badan kala malam tiba. Untuk mencapai desa, diperlukan perjuangan ekstra dan nyali tak bernadi.

Rentan longsor, jalan menanjak nan curam, yang kelilingi jurang menganga hiasan disampingnya sepanjang perjalanan. Jalanan sempit, hanya untuk sepeda motor dan beronak duri di beberapa titiknya. Kondisi cuaca -- hujan dan panas -- menentukan lama dan cepatnya perjalanan.

Apalagi bulan Juni 2023, hujan, mendung, terik panas tiba-tiba, disusul hujan sesaat berikutnya. Itulah cuaca yang kurasakan kala tinggal sebulan di pegunungan provinsi Sulawesi Barat. 

Beruntung, kala mendaki ke Marano dengan motor, cuacanya terang. Sorenya baru hujan turun deras. Perihnya perjalanan, terbayar dengan panorama desa yang menakjubkan. Berikut kisah perjalanan dan tinggal 4 malam di sana.

Perjalanan Ekstrim dan Bernyali

8 Juni 2023 jam 09.00 WIT, mobil penjemputku tiba di penginapan kota Mamuju, Sulawesi Barat. Setengah jam kemudian, kami sampai di masjid Nurul Ikhsan, kelurahan Bebanga, kec. Kalukku, di pertigaan jalan poros Mamuju, menunggu ojek kiriman desa Marano. 

Sebelumnya kami mengontak orang lokal tentang kedatangan ini. Ada saung nyaman depan pintu kanan masjid sebagai lokasi pemberhentian, sebelum ke pegunungan. Marano salah satu desa di sana.

Dari sini, saya melihat gugusan pegunungan berjejer nun jauh di sana. Rimbunan pohon dan semak belukar hijau menutup pegunungan. Kami duduk selonjoran sambil berbaring menungu. Setelah 1 jam menunggu, Jam 11.30, tiga ojek motor tiba dan bergegas makan siang bersama sebelum star berkendara.

Waktu menunjukan jam 12.30, kala kami naik ojek. Langit cerah namun udaranya panas menyengat. Tas ransel kami taruh di motor bagian depan. 

Saya duduk di belakang pengojek. Perjalanan ini mendebarkanku. Mulutku tak berhenti memanjatkan doa selama duduk diatas motor. Kepalaku tak terbungkus dengan helm standar. Pakain dan celana juga asal menutup badan. Wajar, kekhawatiran ini membumbung tinggi.

Jalanan sempit, menanjak, dan jurang di kiri-kanan mengiringi akses ke Marano (dok. pribadi)
Jalanan sempit, menanjak, dan jurang di kiri-kanan mengiringi akses ke Marano (dok. pribadi)

Jalan yang kami lalui terjal. Menanjak dan terkadang licin karena bekas hujan kemarin. Jalanan cukup untuk satu motor di beberapa titik. 

Sebelumnya, mobil bertipe jeep off road mampu melewati, namun longsoran tanah menyulitkannya. 

Beberapa titik perjalanan kami hampir terpental, namun saya peluk sopirnya guna menahan guncangan. Terkadang, kiri-kanannya jurang curam. Makin naik perjalanan, makin seram kedalaman jurang di samping jalan.

Hampir 45 menit jantung kami berdebar. Di depan jembatan kami berhenti. Itu pertanda setengah perjalan dilalui. Jembatan itu lengang. Pertanda sudah lama tak ada mobil lagi melewatinya. Beberapa jalan tanah lebar cukup mobil berguguran longsor, sehingga tak memungkinkan kendaraan roda empat melewatinya.

Sepanjang perjalanan, pemandangannya berupa: lembah, hutan dan pegunungan. Dari satu deratan lembah pegunungan merembet ke lembah lain. Di satu titik terkadang ada perkampungan. Namun itu beberapa rumah saja. Selanjutnya hutan rimbun. Sepi dan bila panas seperti sekarang, teriknyap luar biasa panas. Bila kondisinya hujan, bisa jauh mengerikan. Licin dan longsor tanhanya, sehingga mengakibatkan tergelincir ke jurang.

Karena jalan menanjak lurus, motor yang kunaiki terkadang hendak berhenti -- ini mungkin karena asupan mesin dari busi -- maka pengojek menghentikan motor cepat dengan memiringkannya. Berhenti sebentar. Terus berjalan lagi.

Kepala kami tak memakai halem. Pakaian pun seadanya -- bukan stelan pembalap. Untung, kami memakai celana tebal dan bersepatu olahraga. Kalau tidak, mungkin kulit kaki beradarah karena berserempetan duri dan ranting pohon. Kalau bukan orang desa Marano yang mengendarai motor mungkin nasibnya berbeda. Perlu teknik dan keahlian khusus untuk mengendarai motor di medan seperti itu.

Hampir satu setengah jam kami lalui perjalan ekstreem. Sebelum sampai tujuan, motor kami menuruni jalan yang curam sekali. Jantungku sekali lagi berdetak tak karuan. Alhamudlillah, kami tiba di Marano jam 15.00 sore, di rumah seorang penduduk.

Negri di Atas Awan yang Terpencil

Marano memiliki sejarah panjang jauh sebelum menjadi provinsi baru di tanah Sulawesi. Ia awalnya Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), di kec Kalukku, Sulbar. Karena masih berbentuk UPT, maka proses menuju sebagai pemerintah desa sedang berlangsung. 

Kini, kantor UPT kosong melompong. Tak ada pihak pengampu yang berkunjung ke UPT -- melalui kantornya. Khabarnya, Kementrian Transmigrasi telah melimpahkan wewenangnya kepada pemerintah daerah. Kini, kantor perwakilannya kosong melompong.

Penduduknya beragam. Suku sunda, Makasar, dan mamuju, serta Jawa Timur memenuhi komposisi etnis di desa. Makanya disana ada lorong Bandung dan lorong Subang. Penduduk transmigrasi kini telah berganti generasi ketiga sedari awal pembangunannya.

Ia berlokasi terpencil. Di tengah duduk di kendaraan ojek motor, mataku tak melihat posisi rumah-rumah desa. Ia seperti bersembunyi di balik pegunungan. 

"Itu pak.. ada potongan gambar putih kecil di kejauhan sana. Itulah desa yang akan kita tuju...," ungkap supir ojek kepadaku memecah pembicaraan di tengah ketegangan perjalanan.

Marano laksana negri di atas awan di tempat terpencil (dok. pribadi)
Marano laksana negri di atas awan di tempat terpencil (dok. pribadi)

Kontur desa terpencil dan jauh dari jalan poros, tak membuat Marano kehilangan pesona. Udara segar, sejuk, dan turunnya kabut kala senja menjelang malam satu pertanda kelestarian alamnya terjaga. 

Spot-spot lahan untuk rumah atau villa (tempat peristirahatan) yang memanjakan mata saat memandang keluar melalui pintu rumah sangat eksotis. Persis cottage, villa, atau penginapan di puncak raya Bogor, Jawa Barat. 

Kini, beberapa pejabat luar desa memiliki tanah di sana. Salah satunya sedang dibangun rumah peristirahatan dengan sudut pandang ke matahari terbit. Bila rumahnya selesai, pasti indah sekali...

Walau jalan penghubung desa penuh kerikil dan tanah, serta berkontur turun-naik, namun panoramanya asri nan elok. Justru karena bergelombang itulah, view dan posisi tanah untuk pembangunan rumah unik. Dari jauh, rumah-rumah penduduk bagai gubuk untuk burung dara di alam bebas.

Diantara dataran pegunungan itulah kami menemukan spot indah di pagi hari. Bila senja sore mengundang kabut yang mendinginkan suasana, awan berkabut putih merangkak di kaki pegunungan saat pagi hari. 

Awan putih berarak dari bawah ke atas pegunungan perlahan. Kami menyaksikan iringan awan putih seolah melindungi pegunungan di bawah Marano. Indah sekali panorama itu. Marano bagai negri diatas awan.

Gumpalan awan putih berarak makin jelas, karena matahari pagi bersinar terang. Warna putih langit pun bercampur merah-muda. Sementara dibawahnya pegunungan hitam dengan rerimbunan pohon menghampar sebagai alasnya. Saya mengintip pemadangan pagi dari balik pepohonan di satu sudut spot favorit desa.

Sudut pandang indah bagai surga panorama bagi yang memiliki villa dengan arah jendela langsung ke matahari terbit. Warga desa menganggap keajaiban pemandangan sebagai hal biasa, karena mereka menemukannya setiap hari. Sebaliknya bagi pendatang hal itu menakjubkan. Makanya kini banyak warga luar sedang mengincar tanah di sana.

Lokasi rumah penduduk berjauhan antar blok satu dengan lainnya. Tanah warga luas membentang. Setiap rumah memiliki pekarangan lebar. Berbagai tanaman sayuran dan buah-buahan, seperti: durian, nanas, markisa, kentang, kacang, kol, alpukat, salak, stroberi jamak tumbuh di sekitarnya. 

Di sudut lain ada empang berisi: ikan mas, Nila, lele, gabus. Kambing, sapi, ayam sebagai bahan protein tumbuh juga bebas berkeliaran.

Buah duriannya besar sekali seperti montong. Alpukatnya berjenis mentega. Manis dan legit. Sore kala berkunjung ke rumah penduduk, kami menikmatinya yang baru dipetik dari pohon. Wuih enaknya. Hanya sawah padi yang belum ditanam penduduk desa.

Kisah Pejuang yang Menolak Menyerah

Kami menginap di salah satu penduduk desa. Pemiliknya berprofesi penyuluh (pendamping) lapang pertanian dari perusahaan swasta besar. Ia ahli secara otodidak budidaya berbagai tanaman. Terlihat di lahan sekitarnya: buah durian, kentang, markisa, dsb tumbuh subur. Cerita kegigihan sebagai warga transmigran inspiratif bagiku.

Deretan rumah warga seperti tempat tinggal burung dara di alam bebas (dok. pribadi)
Deretan rumah warga seperti tempat tinggal burung dara di alam bebas (dok. pribadi)

Saat malam hari, sambil santai saya ngobrol dengannya sejarah kehidupannya hingga berhasil mengelola berbagai tanaman hotikultura di Marano. Dengan nada tersedak -- pertanda emosional -- ia berkisah detail bagaimana awal mula hingga sampai ke sini.

Kisah bermula tahun 2007. Ia mendengar khabar ada program transmigrasi di wilayah Mamuju. Kala itu ia baru pulang dari daerah transmigrasi di kab. Nunukan, Kalimantan Utara. Dengan berbagai pertimbangan, ia menjual rumah di Nunukan dan pulang kampung, di Makasar, Sulawesi Selatan. Jiwa perantaunya bergejolak dan ia putuskan ke Mamuju sebagai wilayah transmigran.

Dengan bus dari Makasar, ia berangkat dan turun di Tasiu -- daerah persimpangan di Masjid kel Bebanga. Setelah dalat informasi dari warga, ia naik motor hingga jembatan dan berjalan kaki sekitar 2 km ke UPT Marano. Di sana sepi dan lenggang. Letak rumah berjauhan satu dengan lainnya. Salah satunya, tertera tulisan di depan pintu, "Dijual rumah siap huni dan pekarangnnya, hb no hp...".

Dalam benaknya, mumpung masih sepi dan feelingnya mengatakan bahwa tanahnya subur dan cocok bagi berbagai tanaman. Ia pun menghubungi no hp dan bernegosiasi harganya. 

Singkat cerita, ia membeli rumah dan pekarangan yang sepi dengan dicicil. Dengan sisa uang hasil penjualan tanah di Nunukan, Ia pergunakan sebagai uang muka. Sisanya ia lunasi dari hasil menanam cabe.

Potret salah satu rumah transmigran yang ditinggal penghuninya (dok.pribadi)
Potret salah satu rumah transmigran yang ditinggal penghuninya (dok.pribadi)

Sambil menerawang ke hutan yang gelap di depannya, ia berujar bahwa tak ada rumah di samping kiri dan kanan. Hanya satu bangunan jauh 200 an meter dari rumahnya. Darinya ia meminjam golok untuk menebang alang-alang, dan membersihkan tananam di depan rumah. Awalnya ia menanam cabe yang diangkat sendiri dan jual ke pasar di Tasiu.

Singkatnya, dari cabe ia perlahan membudidayakan apa saja yang ada di Marano. Dalam hatinya kala itu berkata, tidak mungkin tanaman mati di lahan ketinggian. Buktinya banyak tanaman subur, hujan turun berkala, dan berbagai binatang berkeliaran hidup di sana. Berbagai upaya ia coba dalam pertanian. Segala macana jenis bibit ia tanam dengan berbagai ramuan pupuk. Bertanya ke penyuluh dari dinas dan informasi medos, hingga menemukan ramuan sendiri. 

Hasilnya, sekitar rumahnya tumbuh: Kentang, Durian, Alpukat, Cherry, Markisa, Nanas, dsb. Ia juga kini memiliki sarang burung wallet, bebek, ayam. Luas tanahnya makin melebar dengan membeli pekarangan sekitar perlahan. Istri dan anaknya yang berkeluarga menempati rumah yang dibangun beberapa meter dari rumahnya.

Laju ekonominya makin kencang karena kehadiran tanaman Nilam yang menghasilkan minyak, yang awalnya dikembangkan seorang babinsa. Dengan bantuan perusahaan yang membeli minyak dari petani lokasl, ekonomi dan warga lain perlahan berkembang baik.

Lain lagi cerita Bu Kaswati (bukan nama asli), warga transmigran asli Trenggalek, Jawa Timur. Saya berkunjung ke rumahnya kala sore hari. Ia hidup bersama suami dan dua orang anak. Lokasi rumahnya menyendiri. Jalan ke arahnya beberapa meter dari rumah penginapan munurun jauh dari kantor UPT.

Buah durian yang besar subur tumbuh di Marano (dok.pribadi)
Buah durian yang besar subur tumbuh di Marano (dok.pribadi)

Rindang dan asri. Berbagai pohon buah-buahan subur tumbuh pekaranganya. Selain itu, ramai kicauan aneka burung dalam sangkar meramaikan suasana. 

Saya serasa bagai di kebun binatang burung alami. Burungnya didapat dari petani lokal yang menemukan di hutan dan yang mampir di kebun tanahnya. Ia hadir di Marano melalui alih pindah rumah transmigrasi dari penghuni sebelumnya. Hampir 5 tahunan keluarganya tinggal di sana.

Tak mudah bagi keluaganya memulai kehidupan bertani di lahan baru. Segala macam duka dan penderitaan ia alami bersama suami dan anak. Berbekal pengalaman bertani di Jawa dan kegigihan, menempanya dan perlahan bangkit sehingga hidup mandiri.

Sehingga, meski lokasi rumahnya berjarak dari keramaian, mereka tak gentar berjuang hidup di sana. Bersama suami, mereka berocok tanam dan buah di sekitar rumah. Ada buah alpukat, salak, cabe, dsb. Alpukat mentega yang matang pohon itulah mereka suguhi saat kami bertamu. Enak sekali rasanya.

Kini, suaminya mengolah tanah di lahan yang jauh dari rumahnya untuk dijadikan kebun sayur kol, bayam, dsb. Menurutnya, lokasi itu cocok untuk perkebunan sayur. Pasarnya terbuka lebar. Sementara bu Kaswati, menanam Nilam guna menghasilkan minyak untuk dijual. Intinya, istri-suami berjuang bersama mengolah sumberdaya alam untuk keberlanjutan hidup. Alam terpencil tak membuatnya gentar.

Empat malam sudah saya bermalam disana. Lamunanku di malam akhir mengemuka. Akses jalan rusak dan rentan longsor serta terpencil menghambat orang luar ke sana, dan menurunkan nilai harga tanah dan produk. 

Di sisi lain, Marano dilimpahi sumberdaya alam yang teramat kaya. Anehnya lagi, sebagian tanah desa telah dimiliki orang luar. Penduduk desa mencurigai lambannya pembangunan jalan, penuh agenda tersembunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun