Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buta Aksara dan Pembangunan Manusia

14 September 2016   21:45 Diperbarui: 15 September 2016   11:25 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan miskin akar rumput merupakan kelompok rentan terhadap buta aksara. Dokpri

Tanggal 8 September selalu diperingati sebagai hari keaksaraan global. Hari itu, media nasional selalu memberitakan event dan kegiatan –atau minimal komentar tokoh pendidikan dan pejabat Kementerian Pendidikan Nasional – untuk mengingatkan pentingnya keaksaraan bagi manusia. Pelan-pelan saya amati berita dan kampanye bertema anti buta aksara sepanjang itu.

Ternyata –minimal sepengetahuanku – tak satu pun media yang memberitakan “pengingatan” kalau hari itu adalah hari “keaksaraan” bagi manusia. Pertanda apa ini? Apakah warga Indonesia sudah bebas buta aksara? Sehingga hari itu tidak lagi diperlukan “pertanda”, “pengingat” atau semacam “peringatan” lah? Tanyalah pada sang pemilik kuasa negeri

Klaim bahwa di hari keaksaraan global tak diperingati pemerintah karena “buta huruf” sudah menipis, kurang tepat. Bahkan buta aksara masih menjadi “hantu” negara yang terus mengelayuti untuk ditanggulangi. 

Data terbaru buta aksara menurut Kemendiknas, bahwa jumlah buta aksara per tahun 2016 sebesar 5.984.075 (Jawa Post, 10 september 2016). Kelihatan menurun sih, bila dilihat angka buta aksara tahun 2010, yang diakui sendiri Kemendiknas –melalui olahan data BPS 2010 --, sejumlah 7.7552.627 orang. Di mana buta aksara perempuan berjumlah 4.936.420 orang dan laki-laki 2.816.207 orang. Meskipun data ini masih diragukan, namun baiklah kita memakai data ini.

Selama 5 tahun dengan bermilyar-milyar dana dan program penurunan buta aksara, hanya 1 jutaan manusia terentaskan. Sangat menyedihkan. Perlu ada evaluasi dan refleksi terhadap strategi dan program keaksaraan pemerintah selama ini.

Strategi dan program keaksaraan selama lima tahun itu minim trobosan, monoton, dan tanpa refleksi dan evaluasi. Hingga kini, pemerintah – sepengetahuanku (kalau salah tolong dikoreksi) –belum memiliki ”grand desain” keaksaraan warga negara yang di dalamnya ada strategi pemberantasan buta aksara.

Pengalamanku tahun 2011 mengonfirmasi kondisi keaksaraan warga seperti terungkap di atas (lihat). Kejadian tersebut lama, namun kelihatannya tetap relevan. Dalam satu workshop keaksaraan, 25 peserta dari 8 Provinsi Indonesia mengaku bahwa orang sekitarnya buta huruf, yang terdiri dari orang tuanya atau kakek dan tetangga di lingkungannya.

Hanya dua orang peserta mengaku bahwa orang sekelilingnya bebas buta aksara. Mereka berasal dari DKI Jakarta. Namun ada tambahannya, peserta DKI pun menyatakan bahwa penduduk buta aksara mengelilinginya. 

Bisa dibayangkan bahwa dari orang yang berjumlah tidak begitu banyak dan beberapa propinsi, tergambar bagaimana situasi buta aksara Indonesia. Apakah ini miniatur Indonesia di mana jumlah buta akasaranya masih tinggi –namun diakui pemerintah terus menurun setiap tahun. 

Bahkan peserta Jakarta berani menyatakan bahwa di setiap 20an masyarakat miskin kota ada 3-5 orang yang buta huruf. Silahkan Anda cermati sendiri orang-orang di sekitar Anda. Apakah mereka juga buta huruf?

Di tingkat global, UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) ikut mengofirmasi dengan memperkirakan jumlah penduduk yang buta aksara hampir mendekati dua milyar. 64 % (enam puluh empat persen) nya dihuni perempuan dengan 1/5 (seperlima)nya penduduk generasi muda berumur antara 15–24 tahun. 

Yang menyedihkan, sebanyak 474 juta darinya, bermukim di India, Tiongkok, Bangladesh, Pakistan dan Indonesia (EFA, GMR, 2006). Memang itu kondisi tahun 2006. Namun melihat grafik pembangunan manusia Indonesia –bila dilihat dari trennya, seperti tergambar di IPM, GDI, dsb -sepertinya tak terlampau menggembirakan. Silahkan pihak yang berwenang mengecek kebenaran datanya.

Buta Aksara di Indonesia; Perempuan Terbesar

Buta aksara yang dimaknai Indonesia dengan istilah ”buta huruf” (sehingga ada program pemberantasan buta huruf), sebenarnya memuat arti luas, yaitu; sebagai ketidakmampuan manusia untuk menggunakan ketrampilan membaca, menulis serta kemampuan berhitung. 

Hal ini belakangan memuculkan kritik terhadap istilah keaksaraan yang hanya memusatkan ”buta aksara latin”. Padahal penduduk Indonesia yang multikultur memiliki aksara sendiri (seperti Arab melayu, Tiongkok, dsb), namun tidak bisa menggunakan huruf latin (ini kayaknya pembahasan lain yg menarik jadi bahan diskusi selanajutnya….)

Ada faktor yang menyebabkan tingginya buta aksara di kalangan perempuan. Pertama, nilai sosial dan budaya, serta kultur patriarkal yang menjadikan perempuan makhluk nomor dua di pendidikan. 

Situasi ini berpengaruh bagi perempuan, sehingga mereka sulit menjangkau pendidikan, dan akhirnya memilih berhenti sekolah ditengah jalan atau tidak bersekolah. Ini bisa dilihat dari prosentasi perempuan desa yang putus sekolah di SD mencapai 14,39%, tingkat SLTP 14,57 %, serta pada tingkat SMU mencapai 23,65%. Kedua, seringkali anak perempuan dipaksa untuk menikah usia muda, sebagai tuntutan ekonomi keluarga. 

Data yang ada menggambarkan bahwa perempuan yang memutuskan untuk menikah muda di tingkat SD sebanyak 5,13%, tingkat SMP sejumlah 16,72%, dan tingkat SMU sebesar 30,76%. Hal itu ditambah dengan makin banyaknya perempuan yang bekerja maupun sebagai pelaku usaha mikro di pedesaan. Kementerian Pemeberdayaan Perempuan dan Anak menaksir 60% usaha mikro di pedesaan, dilakukan perempuan.

Kondisi di atas menyedihkan, mengingat peran penting keaksaraan bagi manusia, terutama perempuan –yang menempati jumlah terbesar. Apalagi penduduk usia dewasalah yang menjadi buta aksara. 

Bila ini dibiarkan, berdampak kepada pengembangan kesehatan dan pendidikan –khususnya perempuan kepada anaknya. Karena semakin tinggi pendidikan orang tua –sang ibu --, maka semakin berkurang angka kematian bayi dan akan meningkatkan kesehatan anak. 

Sebaliknya, semakin banyak orang dewasa – terutama kaum ibu yang buta-aksara, jumlah kematian ibu melahirkan dan bayi makin tinggi. Karena melek aksara merupakan ”pintu” masuk untuk mengkses informasi, pengetahuan, dan program pemerintah bagi rakyat. Maka tak heran, dengan angka buta aksara yang tinggi, Indonesia menempati nomor 3 terbesar dalam angka kematian ibu melahirkan di Asia Tenggara. 

Bagi perempuan miskin, melek aksara mimiliki arti penting untuk mengurangi ketimpangan gender selama bertahun-tahun. Perempuan yang mempunyai kemampuan baca-tulis dan angka, meningkatkan partisipasinya, baik di ruang privat dan publik. 

Mereka mampu mengembangkan diri dalam pergaulan di lingkungan dan masyarakat, serta mampu berprtisipasi dalam pengambilan keputusan secara aktif. Situasi keaksaraan merupakan ”pupuk” yang dibutuhkan pembangunan dan pengembangan demokrasi, untuk tumbuh dengan akar yang kuat.

Melek aksara penting bagi pembangunan manusia dan peningkatan kesejahteraan bangsa. Semakin meningkatnya angka melek aksara (leterasi), otomatis membawa benefit ekonomis signifikan bagi individu dan negara. Pengalaman mengungkapkan bahwa ada hubungan antara tingkat melek aksara dengan pertumbuhan Pendapat Kotor Domistik (PDB) per kapita negara. 

Apa mau dikata? Buta aksara masih tinggi di negara ini. Akibatnya terlihat, penduduk miskin kesulitan mengakses program pemerintah, seperti; peningkatan kehidupan, pedapatan, perlindungan lingkungan, penyediaan air bersih, program partisipasi masyarakat sipil dan demokrasi substantif, serta program pemberantasan penyakit mematikan. Akibatnya jelas terlihat, program pemerintah berjalan tidak sesuai harapan.

Dituntut Peran Aktif Negara    

Kalau begitu pentingnya peran keaksaraan, negara dituntut perannya. Sebab ia yang diberi amanat rakyat untuk mengelola pembangunan kesejahteraan rakyat. Namun bagaimana peran negara selama ini dalam program keaksaraan? 

Menurut penulis, ada hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan peran negara terhadap keaksaran. Pertama, perlu diadakan revisi terus menerus program pemberatasan buta aksara. Program bernama ”keaksaraan fungsional” sepertinya perlu ditinjau ulang. Sebab program tersebut terkesan penyeragaman dan bersifat ”top down”. 

Buta aksara orang dewasa antara satu wilayah dengan lain berbeda karakteristiknya. Sehingga program pembelajaranya bisa berbeda. Selain dari itu, pendidikan keaksaraan merupakan pembelajaran yang terus menerus, bukan proyek yang sekali jadi. Pernah satu kali, seorang ibu yang sudah mengikuti program ”keaksaraan fungsional”, berujar bahwa ia tidak bisa membaca kembali setelah satu tahun. Nah loh!

Kedua, negara selayakanya mengalokasikan anggaran yang cukup bagi program pemberatasan buta aksara. Dana yang selama ini ada sekitar 0,7% dari total APBN untuk pendidikan, jauh dari memadai. Apalagi bila dana dikorupsi. 

Menurut kesepakatan global, anggaran minimal pemberatasan buta aksara sebesar 3 (tiga) persen dari total budget pendidikan suatu negara. Ketiga, negara melalui kementrian pendidikan memastikan kerjasama antar instansi dari berbagai kementrian yang relevan untuk bisa saling menunjang dalam pemberatansan buta akasara.  

Keempat, dengan  keterbatasan dana misalnya, pemerintah sejatinya dituntut untuk bekerja sama dengan kelompok masyarakat atau organisasi non pemerintah yang melakukan pendidikan keaksaraaan (dengan model pendidikan alternatif), supaya saling melengkapi. Bila perlu, pemerintah mengidentifikasi kelompok masyarakat yang selama ini melakukan pendidikan, kemudian membiayainya.

Sebagai catatan penutup, situasi ketidakakasaraan (buta aksara) merupakan pelanggaran hak dasar atas pendidikan. Sebab pendidikan sendiri merupkan hak azasi manusia. 

Bila pemerintah masih membiarkan situasi ketidakaksaraan dan lambat menanganinya, maka ia sebenarnya mengingkari hak asazi manusia. Apalagi pemberantasan buta aksara menjadi salah satu kesepakatan dunia, seperti target EFA (aducation for all) di Dakar tahun 2000, dan SDGs goal 4, DUHAM, dan ECOSOC serta UUD 1945.

Ayolah semua – terutama pemerintah -- , di hari keaksaraan dunia ini penuhilah hak keaksaraan semua warganya dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun