Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buta Aksara dan Pembangunan Manusia

14 September 2016   21:45 Diperbarui: 15 September 2016   11:25 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan miskin akar rumput merupakan kelompok rentan terhadap buta aksara. Dokpri

Yang menyedihkan, sebanyak 474 juta darinya, bermukim di India, Tiongkok, Bangladesh, Pakistan dan Indonesia (EFA, GMR, 2006). Memang itu kondisi tahun 2006. Namun melihat grafik pembangunan manusia Indonesia –bila dilihat dari trennya, seperti tergambar di IPM, GDI, dsb -sepertinya tak terlampau menggembirakan. Silahkan pihak yang berwenang mengecek kebenaran datanya.

Buta Aksara di Indonesia; Perempuan Terbesar

Buta aksara yang dimaknai Indonesia dengan istilah ”buta huruf” (sehingga ada program pemberantasan buta huruf), sebenarnya memuat arti luas, yaitu; sebagai ketidakmampuan manusia untuk menggunakan ketrampilan membaca, menulis serta kemampuan berhitung. 

Hal ini belakangan memuculkan kritik terhadap istilah keaksaraan yang hanya memusatkan ”buta aksara latin”. Padahal penduduk Indonesia yang multikultur memiliki aksara sendiri (seperti Arab melayu, Tiongkok, dsb), namun tidak bisa menggunakan huruf latin (ini kayaknya pembahasan lain yg menarik jadi bahan diskusi selanajutnya….)

Ada faktor yang menyebabkan tingginya buta aksara di kalangan perempuan. Pertama, nilai sosial dan budaya, serta kultur patriarkal yang menjadikan perempuan makhluk nomor dua di pendidikan. 

Situasi ini berpengaruh bagi perempuan, sehingga mereka sulit menjangkau pendidikan, dan akhirnya memilih berhenti sekolah ditengah jalan atau tidak bersekolah. Ini bisa dilihat dari prosentasi perempuan desa yang putus sekolah di SD mencapai 14,39%, tingkat SLTP 14,57 %, serta pada tingkat SMU mencapai 23,65%. Kedua, seringkali anak perempuan dipaksa untuk menikah usia muda, sebagai tuntutan ekonomi keluarga. 

Data yang ada menggambarkan bahwa perempuan yang memutuskan untuk menikah muda di tingkat SD sebanyak 5,13%, tingkat SMP sejumlah 16,72%, dan tingkat SMU sebesar 30,76%. Hal itu ditambah dengan makin banyaknya perempuan yang bekerja maupun sebagai pelaku usaha mikro di pedesaan. Kementerian Pemeberdayaan Perempuan dan Anak menaksir 60% usaha mikro di pedesaan, dilakukan perempuan.

Kondisi di atas menyedihkan, mengingat peran penting keaksaraan bagi manusia, terutama perempuan –yang menempati jumlah terbesar. Apalagi penduduk usia dewasalah yang menjadi buta aksara. 

Bila ini dibiarkan, berdampak kepada pengembangan kesehatan dan pendidikan –khususnya perempuan kepada anaknya. Karena semakin tinggi pendidikan orang tua –sang ibu --, maka semakin berkurang angka kematian bayi dan akan meningkatkan kesehatan anak. 

Sebaliknya, semakin banyak orang dewasa – terutama kaum ibu yang buta-aksara, jumlah kematian ibu melahirkan dan bayi makin tinggi. Karena melek aksara merupakan ”pintu” masuk untuk mengkses informasi, pengetahuan, dan program pemerintah bagi rakyat. Maka tak heran, dengan angka buta aksara yang tinggi, Indonesia menempati nomor 3 terbesar dalam angka kematian ibu melahirkan di Asia Tenggara. 

Bagi perempuan miskin, melek aksara mimiliki arti penting untuk mengurangi ketimpangan gender selama bertahun-tahun. Perempuan yang mempunyai kemampuan baca-tulis dan angka, meningkatkan partisipasinya, baik di ruang privat dan publik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun