Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buta Aksara dan Pembangunan Manusia

14 September 2016   21:45 Diperbarui: 15 September 2016   11:25 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan miskin akar rumput merupakan kelompok rentan terhadap buta aksara. Dokpri

Mereka mampu mengembangkan diri dalam pergaulan di lingkungan dan masyarakat, serta mampu berprtisipasi dalam pengambilan keputusan secara aktif. Situasi keaksaraan merupakan ”pupuk” yang dibutuhkan pembangunan dan pengembangan demokrasi, untuk tumbuh dengan akar yang kuat.

Melek aksara penting bagi pembangunan manusia dan peningkatan kesejahteraan bangsa. Semakin meningkatnya angka melek aksara (leterasi), otomatis membawa benefit ekonomis signifikan bagi individu dan negara. Pengalaman mengungkapkan bahwa ada hubungan antara tingkat melek aksara dengan pertumbuhan Pendapat Kotor Domistik (PDB) per kapita negara. 

Apa mau dikata? Buta aksara masih tinggi di negara ini. Akibatnya terlihat, penduduk miskin kesulitan mengakses program pemerintah, seperti; peningkatan kehidupan, pedapatan, perlindungan lingkungan, penyediaan air bersih, program partisipasi masyarakat sipil dan demokrasi substantif, serta program pemberantasan penyakit mematikan. Akibatnya jelas terlihat, program pemerintah berjalan tidak sesuai harapan.

Dituntut Peran Aktif Negara    

Kalau begitu pentingnya peran keaksaraan, negara dituntut perannya. Sebab ia yang diberi amanat rakyat untuk mengelola pembangunan kesejahteraan rakyat. Namun bagaimana peran negara selama ini dalam program keaksaraan? 

Menurut penulis, ada hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan peran negara terhadap keaksaran. Pertama, perlu diadakan revisi terus menerus program pemberatasan buta aksara. Program bernama ”keaksaraan fungsional” sepertinya perlu ditinjau ulang. Sebab program tersebut terkesan penyeragaman dan bersifat ”top down”. 

Buta aksara orang dewasa antara satu wilayah dengan lain berbeda karakteristiknya. Sehingga program pembelajaranya bisa berbeda. Selain dari itu, pendidikan keaksaraan merupakan pembelajaran yang terus menerus, bukan proyek yang sekali jadi. Pernah satu kali, seorang ibu yang sudah mengikuti program ”keaksaraan fungsional”, berujar bahwa ia tidak bisa membaca kembali setelah satu tahun. Nah loh!

Kedua, negara selayakanya mengalokasikan anggaran yang cukup bagi program pemberatasan buta aksara. Dana yang selama ini ada sekitar 0,7% dari total APBN untuk pendidikan, jauh dari memadai. Apalagi bila dana dikorupsi. 

Menurut kesepakatan global, anggaran minimal pemberatasan buta aksara sebesar 3 (tiga) persen dari total budget pendidikan suatu negara. Ketiga, negara melalui kementrian pendidikan memastikan kerjasama antar instansi dari berbagai kementrian yang relevan untuk bisa saling menunjang dalam pemberatansan buta akasara.  

Keempat, dengan  keterbatasan dana misalnya, pemerintah sejatinya dituntut untuk bekerja sama dengan kelompok masyarakat atau organisasi non pemerintah yang melakukan pendidikan keaksaraaan (dengan model pendidikan alternatif), supaya saling melengkapi. Bila perlu, pemerintah mengidentifikasi kelompok masyarakat yang selama ini melakukan pendidikan, kemudian membiayainya.

Sebagai catatan penutup, situasi ketidakakasaraan (buta aksara) merupakan pelanggaran hak dasar atas pendidikan. Sebab pendidikan sendiri merupkan hak azasi manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun