Istilah Ahlussunnah wal Jamaah adalah sebuah istilah yang sering kita dengar ditengah-tengah masyarakat. Bahkan istilah ini lebih jauh dikenal oleh hampir seluruh mayoritas umat Muslim di seluruh penjuru dunia.Â
Jika pembaca mencoba berkeliling dunia dan bertanya tentang i'tiqad yang dianut kepada setiap Muslim yang pembaca datangi, maka pasti mayoritas umat Muslim akan menjawab beri'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Namun kadang, kita tidak paham istilah Ahlussunnah wal Jamaah itu sendiri. Atau mungkin kita bingung definisi Ahlussunnah wal Jamaah yang tepat itu seperti apa dan bagaimana wujud nyata Ahlussunnah wal Jamaah di zaman ini.
Ditengah-tengah banyaknya aliran dan firqah-firqah yang ada di dalam realitas masyarakat muslim saat ini, nama Ahlussunnah wal Jamaah seolah-olah bagaikan magnet untuk dijadikan tameng bagi perlindungan diri dari ganasnya zaman yang memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan ini.Â
Beraneka macam aliran muncul, dari yang hanya bid'ah belaka, sesat, bahkan sampai tingkatan kafir yang jauh dari nilai-nilai syahadatain. Saling curiga pun muncul antara satu golongan dengan golongan yang lain, antara satu aliran dengan aliran yang lain, antara satu sekte dengan sekte yang lain. Terjadilah antar golongan itu saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya.
Untuk mencari aman diantara situasi buruk semacam itu, tidak sedikit kelompok yang berlindung di bawah nama Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, kelompoknya tidak dengan mudah di curigai oleh kelompok lain.Â
Nama Ahlussunnah wal Jamaah memang dianggap sebagai sebuah bahasa universal dalam dunia Islam, yang dengan nama itu, kita bisa berjalan dengan leluasa tanpa merasa di buntuti oleh musuh.
Baca juga: 12 Imam Dalam Hadits-hadits Ahlu Sunnah: Siapakah Mereka?
Tapi dengan pengklaiman ajaran Ahlussunnah wal Jamaah oleh sekian banyak golongan, aliran, maupun sekte dalam Islam, kini membuat bingung masyarakat muslim awam pada umumnya, seperti apa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya.
Golongan Ahlussunnah wal Jamaah ialah golongan yang menganut i'tiqad sebagaimana dianut oleh nabi Muhammad saw., dan para sahabat. I'tiqad nabi dan para sahabat itu telah termaktub dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah Rasul secara terpisah, belum tersusun secara rapi dan teratur. Kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama besar Ushuluddin, yaitu imam Abu Hasan al-Asy'ari.
Dalam kitab al-Mausu'ah al-Arabiyah al-Muyassarah, sebuah Ensiklopedia ringkas, memberikan definisi Ahlussunnah sebagai berikut:
Ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari nabi Muhammad saw., dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu').Â
Diantara mereka ada yang disebut sebagai Salaf, yakni generasi awal mulai dari para sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in, dan ada juga yang disebut Khalaf, yaiitu generasi yang datang kemudian. Diantara mereka ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, dan ada pula yang membatasi peran akal secara ketat. Diantara mereka juga ada yang bersifat reformatif (mujaddidun) dan diantaranya lagi bersifat konservatif (muhafidhun). Golongan ini merupakan mayoritas umat Islam.
Jika kita melihat dari sejarah, asal penggunaan nama Ahlussunnah wal Jamaah terjadi perdebatan. Sengaja disini penulis mengatakan lahirnya nama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan lahirnya kelompok Ahlussunnah wal Jamaah, karena golongan Ahlussunnah wal Jamaah merupakan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.Â
Jadi hakikat ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tidak lain adalah ajaran yang disampaikan oleh nabi kepada umatnya. Hanya saja dengan berjalannya waktu, terjadilah cerai berai dalam ilmu agama, hingga kemudian harus kembali di satu padukan dalam sebuah kerangka teori. Setidaknya penulis menemukan ada 4 versi yang menggambarkan kemunculan nama Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu :
1. Ada pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya nama Ahlussunnah wal Jamaah telah ada dari zaman nabi Muhammad. Salah satu dalilnya adalah hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi. Banyak kalangan yang menganggap hadits ini dhaif, tapi karena banyak yang meriwayatkan, status haditsnya pun berganti menjadi kuat. Demikian menurut ilmu mushthalah hadits.
2. Kelompok kedua mengatakan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah lahir pada akhir windu kelima tahun hijriah, yang dikenal sebagai 'amul jamaah (tahun persatuan).
3. Pendapat ketiga menjelaskan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah muncul pada abad II hijriah, yaitu di masa sedang puncaknya perkembangan ilmu teologi Islam atau ilmu kalam, yang ditandai dengan munculnya pemikiran rasionalisme Islam yang dipelopori oleh golongan Muktazilah.Â
Untuk mengimbangi itu, muncullah orang bernama Abu Hasan al-Asy'ari yang membentengi umat dari pemikiran rasional orang-orang Muktazilah. Hanya saja, perlu juga kita pahami, ada yang tidak menyukai teologi al-Asy'ari seperti golongan Salafi Wahabi, dan menyebutnya hanya sebagai madzhab Asy'ariyah.
4. Kemunculan nama Ahlussunnah wal Jamaah tidak bisa dilepaskan dari munculnya Syiah dan Khawarij dari sejak perang Shifin antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Muawiyah.Â
Karena fenomena saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya, ulama pun menyatakan netral dan menyatakan kembali kepada Sunnah nabi. Kemudian barulah kita mengenal istilah Ahlussunnah wal Jamaah atau dikalangan sekarang lebih terkenal dengan sebutan Sunni.
Dari berbagai macam perbedaan pendapat, penulis mencoba menengahi dari setiap pendapat yang ada. Secara umum, landasan berpikir dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tentu telah ada dari zaman nabi Shallallahualaihi wa Sallam. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Ibnu Taimiyah dalam bukunya Minhaju as-Sunnah yang mengatakan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah telah ada jauh sebelum Imam madzhab lahir.Â
Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan Islam sedikit demi sedikit digerogoti dengan politik-politik golongan, hingga memunculkan banyak aliran. Dengan kenyataan itulah, jelas peran nama Ahlussunnah wal Jamaah harus kembali disuarakan dan di dengungkan di dunia Islam. Maka melalui prakarsa pemikiran Imam al-Asy'ari, nama Ahlussunnah wal Jamaah itu kembali bergema.
Baca juga: Cakupan Materi Ilmu Aqidah "Ahlu Sunnah Wal Jama'ah"
I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah yang disusun oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari terbagi dalam enam bagian sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan ditulis dalam Sahih Muslim Juz I halaman 22, yaitu :
1. Ketuhanan
2. Malaikat
3. Kitab suci
4. Rasul
5. Hari Kiamat
6. Qadla dan Qadar
Mengenai ketuhanan, kita diwajibkan untuk mempercayai 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Kita juga diwajibkan untuk mempercayai adanya malaikat yang jumlahnya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, dan hanya diwajibkan untuk mengetahui minimal 10 malaikat.
Begitupun dengan kitab suci, kita diwajibkan untuk mempercayai kitab Zabur, Taurat, Injil, dan al-Quran. Demikian termasuk kita harus mengakui dan meyakini seluruh nabi dan rasul dari sejak Adam hingga ditutup oleh nabi Muhammad. Dan kita juga harus meyakini akan kedatangan hari Kiamat dan adanya kewenangan Allah dalam mengatur keseimbangan alam raya ini, yang kita sebut sebagai Qadla dan Qadar.
Kembali kepada latar belakang di permulaan tulisan ini, ditanyakan bahwa apakah pengertian Ahlussunnah wal Jamaah bisa sesempit itu? Penulis menyatakan tidak. Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya adalah ajaran nabi itu sendiri.Â
Jika nabi mengajarkan A, maka Ahlussunnah pun akan mengatakan A. Ahlussunnah secara bahasa memang diartikan sebagai golongan yang mengikuti sunnah nabi. Sementara istilah Jamaah, mengacu pada orang-orang setelah nabi, yaitu khulafaurrasyidin dan ulama-ulama tabi'in.
Dari sinilah akar permasalahan itu muncul. Bagaimana bisa kita mendalami ajaran nabi tanpa melalui perantara ulama antar generasi? Jelas tidak mungkin. Secara logika sederhana, jika kita ingin mendalami ajaran yang dibawa nabi (yang terpaut angka 1400-an tahun), kita harus belajar kepada kiai di tempat ngaji.Â
Kiainya tentu mendapatkan ilmunya dari ulama sebelumnya. Ulamanya mendapatkan ilmunya dari ulama sebelumnya lagi. Terus hingga mendapatkan ilmu dari ulama tabi'in.
Perlu di pahami disini, bahwa ulama tabi'in adalah patokan kita. Mengapa? Karena di zaman inilah perpecahan besar dalam dunia Islam muncul. Dari sejak lahirnya aliran-aliran Syiah, Khawarij, Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan segala macamnya, lahir di masa ini dan masa setelahnya.Â
Maka jelas, nama-nama ulama tabi'in akan menjadi patokan dasar kebenaran untuk mengantarkan kita menuju pemahaman para sahabat dan puncaknya hingga kepada nabi. Tidak heran, di zaman ini pula-lah, bermunculan madzhab-madzhab hebat dalam dunia Islam.
Dengan kenyataan itu, walau sesungguhnya ajaran Ahlussunnah wal Jamaah merupakan ajaran nabi, tapi untuk mencapai itu, kita harus melewati zaman tabi'in. Salah menentukan ulama, jelas kesananya akan berbeda. Tidak percaya? Sekarang kita ambil 1 contoh. Jika ada pertanyaan, dimana Allah? Maka jawabannya akan berbeda-beda.Â
Baca juga: Siapa "Ahlu Sunnah Wal Jamaah?"
Orang yang ketika meriwayatkan ilmunya melewati jalur Tabi'in dengan berkiblat kepada Ibnu Taimiyah, jelas akan mengatakan bahwa nabi dan sahabatnya meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy sesuai dengan firmanNya.Â
Tapi bagi orang yang meriwayatkan ilmunya lewat jalur al-Asyari dan al-Maturidi, mereka akan mengklaim bahwa nabi dan sahabatnya yakin bahwa Allah itu tidak bertempat karena menyandang sifat mukholafatu lil hawadits. Maka penting sekali mengenal madzhab-madzhab dalam Islam. Karena melalui madzhab inilah, hakikat dan makna ajaran nabi akan sampai kepada kita.
Oleh karena itu, sekali lagi penulis menyanggah bahwa hanya menjadikan al-Quran dan Hadits saja sebagai sumber hukum, jelas akan jauh menyesatkan.
Terbukti, dengan gerakan inilah memunculkan banyak perselisihan karena mereka menafsirkan al-Quran dan Hadits dengan gayanya sendiri, dengan ilmunya sendiri, dengan latar belakangnya sendiri. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menetapkan sebuah panduan bagi diri kita sendiri. Karena melalui ulama-ulama di masa Tabi'in dan Tabiut Tabi'in, ajaran nabi akan jelas terlihat.
Dan tentu saja, kita harus mengakui bahwa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ajaran nabi, dan menjadi rujukan bagi mayoritas umat muslim di dunia, adalah apa yang disampaikan dan di konsep oleh Imam Abu Hasan al-Asy'ari. Dengan memahami apa yang telah menjadi pembahasan Imam al-Asy'ari, setidaknya membuka peluang bagi kita untuk memahami konsep tauhid yang benar-benar menjadi pegangan nabi dan para sahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H