Menyikapi tuntutan siksaan yang pedih dikalangan masyarakat terhadap oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi, jika ditinjau secara yuridis, masih perlu dicari alasan pembenarnya, mengingat alasan korupsi telah diakui sebagai perbuatan species tertentu secara yuridis.Â
Sekalipun di Indonesia, korupsi telah diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka siksaan yang pedih itu harus pula diterjemahkan sebagai penghukuman atau pengganjaran, dan bukan membuat derita dengan melawan hukum, atau tidak semata-mata hanya mengedepankan pada kebencian. Oleh karenanya, syarat pemidanaanya juga bertolak pada asas legalitas, dan penghormatan, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Â Â
      Syarat pemindanaan yang bertolak pada asas legalitas ini perlu ditegakkan, mengingat siapapun yang melakukan kejahatan, termasuk koruptor, wajib melalui sistem peradilan yang memiliki kredibiltas.Â
Sedangkan syarat pemidanaan yang bertolak pada penghormatan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, merupakan prinsip yang wajib dipenuhi, mengingat stigma narapidana merupakan cap yang berkonotasi buruk, dan menakutkan, serta dapat menyebabkan narapidana ditolak dilingkungan masyarakat, sehingga stigma narapidana yang diberikan oleh masyarakat menurut Soerjono Soekanto layaknya seperti hukuman mati.Â
Dan hal ini dapat bertentangan dengan sifat Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa manusia yang hidup di dunia selalu diberikan kesempatan untuk bertaubat atau memperbaiki dirinya.
Â
PERUBAHAN AKIBAT JUDICIAL REVIEWÂ
     Beranjak dari syarat pemindanaan tersebut, maka telah diketahui bahwa pembebasan bersyarat terhadap 23 orang koruptor oleh Direktorat Jenderal Permasyarakatan ditahun 2022, telah melalui penghukuman melalui sistem peradilan yang memiliki kredibiltas sesuai UU Korupsi sebagai primary legislation.Â
Dengan demikian, penanganan koruptor setelah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum telah di distribusikan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU 22/2022) sebagai primary legislation, dan Perarturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintan No. 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan (PP WBP) sebagai delegated legislation.Â
Dimana, PP WBP sebagai delegated legislation ini sebetulnya telah dilakukan perubahan kedua, sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 (PP 99/2012). Sehingga syarat pembebasan bersyarat untuk koruptor mermerlukan rekomendasi Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
     Persyaratan pembebasan bersyarat untuk koruptor mengandung pula persyaratan kumulasi, sehingga tidak hanya ditentukan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, melainkan harus pula melibatkan Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi.Â