Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Political Will Penanganan Koruptor

12 September 2022   09:14 Diperbarui: 12 September 2022   09:14 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dimana pada jaman kerajaan, korupsi telah didominasi oleh kalangan pemegang kekuasaan beserta sanak saudaranya, dengan cara menyunat upeti dan pajak yang tidak ada penanganan pengawasannya. 

Begitu juga pada jaman penjajahan Belanda, korupsi masih didominasi oleh kalangan pemegang kekuasaan wilayah yang seharusnya menyetor upeti dan pajak tetapi tidak menyetorkan kepada VOC, sehingga lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan negeri Belanda.

Sedangkan pada jaman Orde Lama hingga jaman Orde Baru, menurut Wisnu Arsanto yang dikutip oleh OC Kaligis dalam bukunya yang berjudul "Praktik Tebang Pilih Perkara Korupsi", menyatakan bahwa korupsi masih didominasi dikalangan pejabat-pejabat yang memegang kekuasan, sehingga dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), dan Operasi Budhi berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, serta Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. 

Sementara pada jaman Reformasi, korupsi tidak pula lebih baik dari era sebelumnya, bahkan lebih terpuruk, sehingga kemudian melahirkan UU Korupsi. Beranjak dari pengalaman sejarah ini, maka dapat diketahui bahwa para pelaku korupsi lebih dekat dengan pemegang kekuasaan.

KERESAHAN MASYARAKAT

          Terhadap dugaan para pelaku korupsi yang lebih dekat dengan pemegang kekuasaan, merupakan rapot hitam. Hal ini yang terus menjadi perdebatan dikalangan masyarakat maupun dikalangan para pejabat-pejabat yang memegang kekuasaan, sehinga telah menjadi polemik yang tidak berujung layaknya fenomena gunung es. 

Disatu sisi, upaya pencegahan korupsi dikalangan para pejabat-pejabat yang memegang kekuasaan telah diupayakan dengan menaikan gaji dan tunjangan serta fasilitas-fasilitas yang memadai, sehingga para pejabat pemegang kekuasaan mendapat stigma oleh masyarakat telah memperoleh kehidupan yang mewah, layaknya bangsawan dengan perlakuan khusus.

         Namun disisi lainnya, upaya pencegahan korupsi dikalangan para pejabat yang memegang kekuasaan tidak pula mengurangi oknum-oknum para pejabat yang memegang kekuasaan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini karena, tuntutan suatu kesejahteraan dikalangan para pejabat yang memegang kekuasaan masih bersifat relatif atau subyektif, artinya masih banyak varibel dengan berbagai motif yang kompleks dapat mempengaruhinya.

         Terlepas masih belum adanya ukuran yang tepat dalam menjawab tuntutan dari kesejahteraan dikalangan para pejabat yang memegang kekuasaan, setidaknya tidak dapat dipungkiri kalau kehidupan para pejabat masih lebih baik ketimbang kehidupan rakyatnya. 

Dengan adanya ketimpangan sosial inilah yang menunjukan pada satu titik kejenuhan dikalangan masyarakat, jika oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi masih memperoleh perlakuan khusus. Maka, masyarakat masih akan terus menuntut siksaan yang pedih terhadap oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi, ketimbang seperti membuat pengukuhan Declaration of Human Rights terhadap oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi.

TUNTUTAN SIKSAAN YANG PEDIH

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun